Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Kolom

Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah

Sektor pertambangan Indonesia pernah menjadi primadona. Banyak investor asing menggali kekayaan alam dari dalam perut bumi pertiwi, sehingga gemerincing dollar pun banyak masuk ke pundi kas negara. Namun kini pada era otonomi daerah, bisnis pertambangan tengah di persimpangan jalan. Tarik menarik pusat dan daerah sangat kuat dalam pengelolaan pertambangan. Dalam era transisi, investor menunggu kepastian hukum di sektor pertambangan.

Bacaan 2 Menit

Jika perusahaan asing mengeluh terhadap kelangsungan investasinya, sebenarnya lebih pada tuntutan konsistensi peraturan dan hukum. Pasalnya, mereka tidak gampang mencari substitusi sumber tambang yang begitu kaya dan murah biaya eksploiatasinya seperti di Indonesia. Investor asing mau menanamkan modalnya tentu karena melihat potensi besar pertambangan Indonesia.

Karena itu, bila ada protes dari investor asing, seharusnya pemerintah cepat meresponsnya. Bukan setelah perusahaan itu banyak dikecam dan menutup operasinya, baru kemudian pemerintah bertindak. Pemerintah yang memberikan izin KK, sehingga mestinya pemerintah juga yang harus menyelesaikan bila ada masalah agar investor bisa betah di Indonesia.

Masalah kepastian hukum jangan dianggap sepele karena tanpa kepastian hukum dan kejelasan peraturan, investor asing bisa pindah ke negara lain. Saat ini, bisnis pertambangan Indonesia mulai disaingi oleh negara tetangga yang telah membuka diri.

China misalnya, telah meluncurkan serangkaian kebijakan untuk mengefektifkan kegiatan pertambangan yang lama tertidur.  Rencananya, pemerintah China akan membuka kembali sektor pertambangan dengan memberikan izin kepada perusahaan asing untuk melakukan ekspedisi sumberdaya mineral sendiri atau bersama mitra lokal

Rebutan rezeki

Sektor pertambangan termasuk bagian yang akan dikelola oleh daerah sejalan dengan tuntutan desentralisasi dan semangat otonomi daerah. Namun ini tentu tidak mudah karena garapan desentralisasi pertambangan tidak hanya menyangkut masalah teknis ekonomis, tetapi juga masalah politis. Paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.

Karena semangat otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) kini berlomba merayu investor. Pemda memberikan iming-iming lahan gratis sampai kemudahan perijinan dengan memamerkan potensi daerah masing-masing. Apalagi dengan berlakunya UU Otonomi Daerah mulai Januari 2001, daerah diberi wewenang untuk mengatur pemerintahan dan anggaran sendiri.

Namun, tidak semua kewenangan diberikan ke daerah. Dalam Pasal 7 UU No 22/1999 disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama, yang tetap dipegang oleh pusat. Selain itu, pusat juga tetap berwenang membuat kebijakan perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi dan lembaga perekonomian negara, pemberdayaan sumberdaya manusia, serta pendayagunaan sumberdaya alam.

Pasal 10 UU No.22/1999 menyebutkan bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya yang berada di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan hidupnya sesuai dengan undang-undang. Tapi karena peraturan pelaksana (PP)-nya belum ada, kesempatan daerah untuk mengelolanya belum bisa terjembatani. Karena tidak segera ditindaklanjuti dengan PP, pemerintah daerah pun bergerak sendiri-sendiri.

Pemerintah daerah merasa berhak mengelola kekayaan alamnya yang selama ini ditangani pusat. Selama ini, mereka hanya menjadi penonton dari kegiatan eksplorasi pertambangan di wilayahnya. Daerah sudah tidak sabar ingin mengelola sumberdaya di wilayahnya dengan harapan akan mendapat bagian pemasukan yang memadai. Daerah pun kini menuntut porsi yang lebih besar. Misalnya dalam UU tentang Nangroe Aceh Darusasalam, pembagian kekayaan alam minyak dan gas bumi menjadi 70% untuk daerah dan 30% untuk pusat.

Masing-masing daerah kini berlomba menggali potensi yang ada di wilayahnya dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang memungkinkan tergalinya potensi tersebut. Tidak kurang dari 3.000 perda telah disusun oleh 324 kabupatan/ kota dan 30 propinsi. Akibatnya, banyak investor asing pertambangan yang kini kebingungan untuk mengurus ijin. Birokrasi makin panjang, sehingga biaya mengurus perijinan  makin membengkak.

Kebijakan otonomi daerah bisa membuat investor asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya, sektor pertambangan di daerah akan terkena 326 perda di tingkat II dan 34 perda di tingkat I. Perda ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi daerah lain atau pusat sekalipun. Misalnya, perda tentang pungutan bagi kendaraan yang berada di kawasan eksplorasi pertambangan.  Banyaknya pungutan pajak telah menyebabkan ongkos  produksi sektor pertambangan.

Syukurlah, pemerintah pusat mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah, antara lain dengan mencabut lebih dari 100 perda karena bertentangan dengan ketentuan perpajakan dan retribusi nasional. Memang, sebagian Perda itu dibuat oleh anggota DPRD yang kurang kompeten dalam membuat produk perundang-undangan. Perda itu kemudian dicabut karena dinilai bertentangan dengan produk hukum di atasnya maupun produk hukum yang sejajar.

Terlepas dari plus minusnya, UU Pemerintah Daerah telah menjadi tonggak awal pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Sayangnya meskipun pusat telah menetapkan beleid otonomi daerah, pelaksanannya masih menjadi tanda tanya besar. Pasalnya, konsep operasional dan perangkat peraturan otonomi daerah belum disiapkan secara matang.

Tampaknya, pusat masih setengah hati dan belum serius untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Buktinya, pusat banyak mengeluarkan peraturan yang tidak aspiratif dan tidak mendukung pelimpahan wewenang pusat kepada daerah karena masih berpikir sentralistik.

Betul bahwa dengan otonomi daerah, masyarakat diharapkan bisa ikut menikmati limpahan rezeki. Namun, konteks otonomi daerah hendaknya diletakkan dalam kerangka negara kesatuan RI. Jadi bukan semata-mata untuk menaruk keuntungan sebesar-besarnya.

Agenda ke depan

Banyak investor yang kini menunggu perkembangan otonomi daerah dan UU Pertambangan yang baru. Pada saat kesempatan menunggu inilah, sebenarnya peluang bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Misalnya menyangkut pengawasan dan pengendalian kuasa pertambangan, baik kontrak karya (KK) maupun Perjanjian Kontrak Karya Penguasaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari pusat ke dati I, terutama bagi Dati II yang belum sepenuhnya siap dengan otonomi daerah.

Dengan adanya otonomi daerah, terhadap kontrak karya akan dilakukan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah. Pelimpahan itu harus ditandatangani oleh semua pihak yang terkait agar segi hukumnya jelas. Jadi sebenarnya, otonomi bukan disinsentif bagi kegiatan investasi pertambangan sejauh peraturan dan perangkat hukumnya jelas.

Untuk memberi ketenangan usaha kepada investor asing dan untuk menarik masuknya modal baru, pada masa transisi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan penundaan atau pengalihan secara bertahap.

DESDM telah mengeluarkan kebijakan pengalihan pengawasan dan pengendalian Kuasa Pertambangan (KP) yang masih berlaku ke pemerintah daerah tingkat I. Untuk KP, KK, dan PKP2B yang sudah berjalan, masih dikendalikan pemerintah pusat melalui perwakilannya di tingkat propinsi. Sementara untuk perizinan dan pengelolaan KP yang baru, diserahkan kepada pemda tingkat II.

Namun untuk mengalihkan kuasa pertambangan, baik KK maupun PKP2KB dari pusat ke daerah, pemerintah pusat berpendapat masih diperlukan masa transisi yang cukup lama. Penundaan ini, menurut Menteri Energi dan Sumberdata Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, terkait dengan kontrak-kontrak yang ditandatangani secara internasional. Bila kelak timbul perselisihan, akan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Apalagi para investor juga meminta penundaan karena mereka tidak mau "berjudi" dengan aturan yang belum jelas.

Dalam PP No 25/2000 Pasal 5 dinyatakan bahwa perjanjian internasional yang sudah dan akan dibuat pemerintah itu juga berlaku di daerah. Selanjutnya, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa seluruh kerjasama yang dilakukan antara pemerintah dengan pihak ketiga tetap berlaku sampai masa berakhirnya masa kerja sama itu. Apalagi berdasarkan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, keuangan dari royalti dan pendapatan lain langsung didistribusikan ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, investor tidak perlu khawatir dengan ketidakpastian hukum.

Potensi pertambangan di Indonesia sebenarnya masih sangat besar. Karena itu, UU Pertambangan yang baru diharapkan akan memikat investor dengan memberikan prasyarat agar iklim investasi pertambangan tetap menarik. Misalnya, ada kepastian bahwa investor kontraknya dijamin berlanjut hingga selesai.

Kontrak karya yang ada sebelum era otonomi daerah harus dihormati. Karena itu, perlu ada koordinasi antara DESDM, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan instansi terkait dalam penyusunan kebijakan pertambangan nasional di masa depan.

Nah untuk memudahkan investasi sektor pertambangan, perlu ada pusat informasi kawasan pertambangan di setiap daerah, terutama yang mempunyai potensi pertambangan. Tentunya, investor asing akan kerepotan mencari informasi potensi dan berbagai peraturan pendukungnya tanpa didukung informasi yang cukup bagi mereka. Selama ini, memang semua urusan dan informasi dilakukan di tingkat pusat. Pemberdayaan daerah ini sesuai dengan semangat undang-undang otonomi daerah, sehingga daerah merasa dihargai sebagai pemilik potensi pertambangan.

Namun, yang terpenting adalah membangun komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk mengurangi tarik ulur antara pusat dan daerah.

Pemerintah sebagai pengawas dan pembina, sedangkan daerah tidak asal menuntut dan mengeluarkan peraturan daerah secara terburu-buru. Pada saat yang sama, investor juga menyadari tugas kemasyarakatannya. Masyarakat tidak lagi menjadi komunitas yang lahannya menjadi obyek eksploitasi, tetapi juga turut dikutsertakan dalam pengelolaan pertambangan.

A.                

               A. Priyanto adalah wartawan hukumonline.com

 

Artikel ini adalah Juara I (wartawan) Kontes Penulisan Pertambangan Nasional "Peluang dan Tantangan Desentralisasi Pertambangan di Indonesia" yang diadakan oleh Indonesian Mining Association (IMA) pada November 2001.

Tags: