Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Kolom

Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah

Sektor pertambangan Indonesia pernah menjadi primadona. Banyak investor asing menggali kekayaan alam dari dalam perut bumi pertiwi, sehingga gemerincing dollar pun banyak masuk ke pundi kas negara. Namun kini pada era otonomi daerah, bisnis pertambangan tengah di persimpangan jalan. Tarik menarik pusat dan daerah sangat kuat dalam pengelolaan pertambangan. Dalam era transisi, investor menunggu kepastian hukum di sektor pertambangan.

Bacaan 2 Menit

Tuntutan dari rakyat ini berkaitan dengan community development. Jadi perusahaan tambang mestinya harus bisa merebut hati masyarakat. Program ini sangat penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa kehadiran perusahaan pertambangan yang akan beroperasi dan menguasai sumberdaya alam di wilayah itu akan memberikan kompensasi bagi masyarakat. Community development menjadi sangat penting untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial.

Penambangan tanpa izin (peti) juga masih menjadi momok bagi investor pertambangan yang sudah mengantungi ijin. Selain tidak memiliki ijin, peti merusak harga produksi di pasaran, merusak kelestarian lingkungan, dan membuat investor jera menanamkan modalnya. Parahnya, peti merambah hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada 1995-1998 saja, kegiatan peti ada di 15 propinsi. Akibat penambang liar, perusahaan tambang dari Taiwan, Chung Hwa, hengkang dari Kalimantan Timur.

Menunggu kepastian hukum

Investor pertambangan asing kini mulai melihat Indonesia kurang atraktif lagi untuk bisnis pertambangan. Pangkalnya, ketidakpastian hukum dan kurang kondusifnya bisnis pertambangan. Instrumen hukum dan perundang-undangan di Indonesia bagi sebagian investor pertambangan dinilai kontraproduktif dan tidak mendukung bagi sebuah iklim investasi yang baik. Misalnya, peraturan tentang ketenagakerjaan dan lingkungan hidup yang kerap tidak kompetitif.

Ada juga undang-undang yang memiliki substansi yang tumpang tindih dengan undang-undang yang lain dan ketika diundangkan justru mengancam kegiatan eksplorasi tambang yang sudah berjalan.  Misalnya, UU Kehutanan yang melarang dilakukannya eksplorasi tambang di hutan lindung. Akibatnya, Indonesia makin tenggelam dalam konstelasi pertambangan dunia.

UU Pertambangan yang baru sebagai pengganti UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sangat ditunggu pelaku usaha pertambangan. RUU Pertambangan  ini sudah berkali-kali berganti materi dan tampaknya belum akan rampung dalam jangka dekat. Apalagi perhatian pemerintah kini sedang terfokus pada UU Migas dan UU Kelistrikan.

Dampak dari terkatung-katungnya UU Pertambangan  membuat investor menunggu kepastian hukum. Walaupun pemerintah menyatakan bahwa sebelum UU pertambangan yang baru, kegiatan usaha pertambangan mengacu pada UU Pertambangan yang lama.

Namun, siapa yang akan mengambil resiko untuk berinvestasi berdasarkan undang-undang yang sebentar lagi sudah tidak berlaku lagi. Tanpa ada kepastian hukum, jangan harap investor akan menanamkan modalnya, baik untuk investasi baru maupun untuk proyek perluasan. Bahkan, ada perusahaan yang sudah memasuki tahap eksplorasi pun menghentikan kegiatannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: