Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Kolom

Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah

Sektor pertambangan Indonesia pernah menjadi primadona. Banyak investor asing menggali kekayaan alam dari dalam perut bumi pertiwi, sehingga gemerincing dollar pun banyak masuk ke pundi kas negara. Namun kini pada era otonomi daerah, bisnis pertambangan tengah di persimpangan jalan. Tarik menarik pusat dan daerah sangat kuat dalam pengelolaan pertambangan. Dalam era transisi, investor menunggu kepastian hukum di sektor pertambangan.

Bacaan 2 Menit

Meskipun UU No. 11/1967 secara hukum formal masih berlaku, orang akan berpegang pada UU No. 22/1999. UU No.11/1967  bersifat sentralistik, sedangkan UU No. 22/1999 yang bersifat desentralistik tidak menjamin investasi asing. Apalagi isi UU No.11/1967 banyak yang sudah tidak seirama dengan perkembangan bisnis pertambangan.  Karena itu, pemerintah mestinya memprioritaskan penerbitan UU Pertambangan yang baru sebagai pengganti UU No 11/1967.

Di sisi lain, euforia otonomi daerah telah mendorong banyak daerah untuk membuat berbagai peraturan daerah yang bisa menghambat aktifitas pertambangan. Kasus Newmont Minahasa Raya (NMR) telah menjadi pengalaman pahit bagi industri pertambangan nasional. Awalnya, Pemda Minahasa, Sulut, meminta NMR untuk membayar pajak atas pengerukan tanah overburden (galian penutup tambang) sebesar AS$2,8 juta karena dianggap sebagai bahan galian golongan C.

Namun, NMR menolak dengan alasan hal itu tidak diatur dalam kontrak kerja. Karena menolak membayar, Bupati Minahasa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tondano. NMR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan arbitrase inbternasional menyusul keputusan PN Tondano yang memerintahkan penutupan kegiatan operasional NMR. 

DESDM menilai, putusan PN Tondano atas operasi pertambangan NMR tidak sesuai dengan kontrak kerja yang ada. Pasalnya, berdasar kontrak kerja, pihak yang bisa menutup kontrak adalah Mentamben. Itu pun dengan catatan, perusahaan gagal melaksanakan kewajiban kontrak. Dengan putusan PN Tondano ini, kontrak karya yang sifatnya internasional dan mempunyai dasar hukum lebih tinggi dikalahkan oleh peraturan lebih rendah berupa Perda.

Kasus ketidakdakpastian hukum inilah yang mendorong 16 investor Penanaman Modal Asing (PMA) mengajukan permintaan berhenti pada pemerintah Indonesia. Belakangan, entah karena tekanan dari pusat, Pemda Minahasa mencabut gugatannya dengan konsekuensi NMR memberikan konsesi tambahan community development dan tetap membayar pajak galian C meskipun nilainya tidak sebesar tuntutan semula.

Agar kondisi ketidakpastian hukum ini tidak berlarut-larut dan untuk mencegah kaburnya investor asing, pemerintah sebenarnya tengah menyusun sistem hukum di bidang pertambangan umum. Sistem hukum ini akan diserahkan ke pemda sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Penyusunan sistem hukum ini dimungkinkan karena permerintah telah mengambil kebijakan toleransi dengan menetapkan batas waktu pelimpahan wewenang segala bentuk perizinan kepada daerah.

Kebijakan ini diambil karena tidak semua sumberdaya manusia di daerah siap mengambil alih sepenuhnya kewenangan yang selama ini ditangani pusat. Pasalnya, ternyata baru sekitar 10% daerah yang benar-benar siap mengambil alih wewenang pusat. Misalnya, kontrak karya bidang mineral serta perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang menyangkut kontrak dengan pihak asing.

Tags: