Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Kolom

Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah

Sektor pertambangan Indonesia pernah menjadi primadona. Banyak investor asing menggali kekayaan alam dari dalam perut bumi pertiwi, sehingga gemerincing dollar pun banyak masuk ke pundi kas negara. Namun kini pada era otonomi daerah, bisnis pertambangan tengah di persimpangan jalan. Tarik menarik pusat dan daerah sangat kuat dalam pengelolaan pertambangan. Dalam era transisi, investor menunggu kepastian hukum di sektor pertambangan.

Bacaan 2 Menit

Potret buram

Naik turunnya investasi di pertambangan amat ditentukan oleh besar kecilnya kemudahan dan fasilitas yang diberikan. Modal asing dalam industri pertambangan juga bergantung kepada kondusif tidaknya perkembangan usaha dan peraturan pendukungnya. Investor asing tentu tidak mau mempertaruhkan modalnya dengan percuma. Maklum, investasi di pertambangan butuh modal besar teknologi tinggi,  waktu lama, serta risiko yang amat besar.

Setiap pertambangan membutuhkan waktu eksplorasi lama sebelum dapat menikmati hasil. Prosesnya dimulai dari pengurusan perizinan hingga membangun konstruksi. Apalagi tingkat keberhasilan usaha pertambangan di bawah 10%. Bisa saja investor mundur karena konsesi yang mereka peroleh ternyata tidak mengandung mineral untuk dieksplorasi atau karena sudah habis masa eksplorasinya. Merosotnya kegiatan eksplorasi jelas berpengaruh bagi prospek bisnis pertambangan di tanah air.

Anjloknya investasi di sektor pertambangan juga dipengaruhi  oleh kebijakan yang tidak mendukung operasional perusahaan. Contohnya, UU Kehutanan No. 1/1999 yang melarang beroperasinya penambangan umum di kawasan hutan lindung. Akibatnya, banyak investor pertambangan yang meminta kontrak karyanya ditangguhkan. Pasalnya, UU Kehutanan dikeluarkan setelah konsesi penambangan dibagi-bagi. Repotnya lagi, banyak perusahaan pertambangan yang terlambat mengetahui karena UU Kehutanan tidak disosialisasikan dengan baik ke perusahaan pertambangan

Belum lagi situasi keamanan di beberapa daerah di Indonesia juga amat memukul bisnis pertambangan. Pergolakan di Aceh telah memaksa PT Mineralindo Mas Aceh dan PT Woyla Aceh Mineral untuk menunda kegiatan eksplorasinya. Sementara kerusuhan di Maluku juga telah membuat PT Inglod Maluku Satu untuk menunda kegiatan eksplorasinya.

Investor asing merasakan keadaan Indonesia pada era transisi ini kurang aman lagi bagi modalnya. Pergantian pucuk pimpinan nasional dan pejabat  berarti perubahan kebijakan dan peraturan yang harus diikuti oleh para pemodal asing. Selain eforia reformasi, kondisi ini juga diperburuk oleh pungli yang makin merajalela, lambannya birokrasi, dan tuntutan masyarakat yang makin gemuruh.

Newmont Minahasa Raya terpaksa menghentikan kegiatan operasinya karena dipermalukan soal penggelapan pajak dan pencemaran lingkungan serta pemblokiran jalan masuk ke lokasi oleh masyarakat. Masyarakat di sekitar lokasi pertambangan menuntut haknya dengan berbagai cara, mulai dari negoisasi sampai tindakan kekerasan. Masyarakat  menghalangi operasi dengan melakukan pemogokan seperti yang terjadi di PT Kaltim Prima Coal (KPC) satau menutup akses jalan seperti di PT Kellian Equatorial Mining (KEM).

Sebenarnya sebelum reformasi bergulir, suara sumbang terhadap ketimpangan pembagian pendapatan antara pusat dan daerah sudah ada. Namun pada rezim Orde Baru, masyarakat yang berdemo langsung ditindak. Protes dari masyarakat mencuat karena adanya kenyataan taraf hidup masyarakat di sekitar lokasi pertambangan masih banyak yang terbelakang. Ironisnya, pekerja tambang menikmati hasil tambang secara mencolok, sehingga menimbulkan kesenjangan yang dalam antara kedua komunitas itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: