Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Kolom

Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah

Sektor pertambangan Indonesia pernah menjadi primadona. Banyak investor asing menggali kekayaan alam dari dalam perut bumi pertiwi, sehingga gemerincing dollar pun banyak masuk ke pundi kas negara. Namun kini pada era otonomi daerah, bisnis pertambangan tengah di persimpangan jalan. Tarik menarik pusat dan daerah sangat kuat dalam pengelolaan pertambangan. Dalam era transisi, investor menunggu kepastian hukum di sektor pertambangan.

Bacaan 2 Menit
Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Hukumonline

Indonesia pernah jaya dalam bisnis pertambangan dunia. Sebelum badai krisis ekonomi menerpa, Indonesia pernah tercatat sebagai produsen timah nomor dua di dunia, produsen nikel nomor lima, produsen tembaga nomor tiga, dan penghasil emas nomor sembilan dunia. Bumi Indonesia sangat kaya akan mineral, sehingga investor asing pun banyak yang mengincar sektor pertambangan Indonesia. Apalagi saat itu, kondisi keamanan pun amat mendukung bagi investor.

Namun, kondisi mulai berubah setelah terjadi perubahan ekonomi dan politik nasional. Kini, masa depan industri pertambangan sedang menghadapi masa suram karena adanya pukulan ganda secara beruntun yang menerpa bisnis pertambangan. Pada 2000 saja, sudah ada 25 perusahaan penambangan yang meminta agar kontrak karyanya ditangguhkan. Permintaan penundaan kontrak karya ini sebagian besar datang dari KK generasi VI dan VII yang baru berumur tiga tahun

Padahal perusahaan penambangan telah banyak menanamkan investasi. Gara-gara menghentikan eksplorasi, jadwal konstruksi dan produksi pun ikut tertunda. Perusahaan pertambangan asing ini menunda operasinya dalam jangka pendek karena merasa iklim investasi dan perundangan yang ada tidak lagi mendukung operasionalnya. Apalagi harga komoditas pertambangan di pasar dunia juga kerap berfluktuasi.

Dari catatan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM), sudah ada 7 perusahaan pertambangan yang sudah meninggalkan Indonesia. Jika makin banyak investor asing yang cabut, tentu saja Indonesia akan kehilangan pemasukan kas negara. Berdasarkan Survei Pertambangan Indonesia (SPI) pada 2000, Indonesia akan kehilangan sedikitnya ASS8,5 miliar dari pemasukan devisa dari sektor pertambangan. Kontribusi makin menciut karena semakin sedikit perusahaan yang memberikan royalti dan setoran pajak dari laba bersih mereka.

Tantangan berat yang dihadapi bisnis pertambangan Indonesia pada saat ini dan di masa depan adalah otonomi daerah. UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah membuka peluang bagi daerah untuk mengelola sumberdaya alam.  UU ini menyangkut desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom, yaitu pemerintahan daerah/kota.

Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa daerah mempunyai kewenangan utuh dan bulat dalam menyelenggarakannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi untuk bidang-bidang tertentu. Selain itu, perolehan pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan sumberdaya alam pertambangan sudah pula diatur dalam penjelasan  UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Investor masih menunggu pelaksanaan dari UU Pemerintah Daerah. Walaupun sudah ada PP No. 25/2000 sebagai penjabaran UU Otonomi Daerah, belum menjadi jaminan untuk menarik modal asing. Apalagi Keppres yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah sampai sekarang belum selesai. Karena itu, banyak yang memperkirakan  investasi di sektor pertambangan akan menurun dalam dua tiga tahun ini. Kini masalahnya, bagaimana menyiasati berbagai kendala dan tantangan otonomi daerah sambil mencari peluang di masa depan?

Potret buram

Naik turunnya investasi di pertambangan amat ditentukan oleh besar kecilnya kemudahan dan fasilitas yang diberikan. Modal asing dalam industri pertambangan juga bergantung kepada kondusif tidaknya perkembangan usaha dan peraturan pendukungnya. Investor asing tentu tidak mau mempertaruhkan modalnya dengan percuma. Maklum, investasi di pertambangan butuh modal besar teknologi tinggi,  waktu lama, serta risiko yang amat besar.

Setiap pertambangan membutuhkan waktu eksplorasi lama sebelum dapat menikmati hasil. Prosesnya dimulai dari pengurusan perizinan hingga membangun konstruksi. Apalagi tingkat keberhasilan usaha pertambangan di bawah 10%. Bisa saja investor mundur karena konsesi yang mereka peroleh ternyata tidak mengandung mineral untuk dieksplorasi atau karena sudah habis masa eksplorasinya. Merosotnya kegiatan eksplorasi jelas berpengaruh bagi prospek bisnis pertambangan di tanah air.

Anjloknya investasi di sektor pertambangan juga dipengaruhi  oleh kebijakan yang tidak mendukung operasional perusahaan. Contohnya, UU Kehutanan No. 1/1999 yang melarang beroperasinya penambangan umum di kawasan hutan lindung. Akibatnya, banyak investor pertambangan yang meminta kontrak karyanya ditangguhkan. Pasalnya, UU Kehutanan dikeluarkan setelah konsesi penambangan dibagi-bagi. Repotnya lagi, banyak perusahaan pertambangan yang terlambat mengetahui karena UU Kehutanan tidak disosialisasikan dengan baik ke perusahaan pertambangan

Belum lagi situasi keamanan di beberapa daerah di Indonesia juga amat memukul bisnis pertambangan. Pergolakan di Aceh telah memaksa PT Mineralindo Mas Aceh dan PT Woyla Aceh Mineral untuk menunda kegiatan eksplorasinya. Sementara kerusuhan di Maluku juga telah membuat PT Inglod Maluku Satu untuk menunda kegiatan eksplorasinya.

Investor asing merasakan keadaan Indonesia pada era transisi ini kurang aman lagi bagi modalnya. Pergantian pucuk pimpinan nasional dan pejabat  berarti perubahan kebijakan dan peraturan yang harus diikuti oleh para pemodal asing. Selain eforia reformasi, kondisi ini juga diperburuk oleh pungli yang makin merajalela, lambannya birokrasi, dan tuntutan masyarakat yang makin gemuruh.

Newmont Minahasa Raya terpaksa menghentikan kegiatan operasinya karena dipermalukan soal penggelapan pajak dan pencemaran lingkungan serta pemblokiran jalan masuk ke lokasi oleh masyarakat. Masyarakat di sekitar lokasi pertambangan menuntut haknya dengan berbagai cara, mulai dari negoisasi sampai tindakan kekerasan. Masyarakat  menghalangi operasi dengan melakukan pemogokan seperti yang terjadi di PT Kaltim Prima Coal (KPC) satau menutup akses jalan seperti di PT Kellian Equatorial Mining (KEM).

Sebenarnya sebelum reformasi bergulir, suara sumbang terhadap ketimpangan pembagian pendapatan antara pusat dan daerah sudah ada. Namun pada rezim Orde Baru, masyarakat yang berdemo langsung ditindak. Protes dari masyarakat mencuat karena adanya kenyataan taraf hidup masyarakat di sekitar lokasi pertambangan masih banyak yang terbelakang. Ironisnya, pekerja tambang menikmati hasil tambang secara mencolok, sehingga menimbulkan kesenjangan yang dalam antara kedua komunitas itu.

Tuntutan dari rakyat ini berkaitan dengan community development. Jadi perusahaan tambang mestinya harus bisa merebut hati masyarakat. Program ini sangat penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa kehadiran perusahaan pertambangan yang akan beroperasi dan menguasai sumberdaya alam di wilayah itu akan memberikan kompensasi bagi masyarakat. Community development menjadi sangat penting untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial.

Penambangan tanpa izin (peti) juga masih menjadi momok bagi investor pertambangan yang sudah mengantungi ijin. Selain tidak memiliki ijin, peti merusak harga produksi di pasaran, merusak kelestarian lingkungan, dan membuat investor jera menanamkan modalnya. Parahnya, peti merambah hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada 1995-1998 saja, kegiatan peti ada di 15 propinsi. Akibat penambang liar, perusahaan tambang dari Taiwan, Chung Hwa, hengkang dari Kalimantan Timur.

Menunggu kepastian hukum

Investor pertambangan asing kini mulai melihat Indonesia kurang atraktif lagi untuk bisnis pertambangan. Pangkalnya, ketidakpastian hukum dan kurang kondusifnya bisnis pertambangan. Instrumen hukum dan perundang-undangan di Indonesia bagi sebagian investor pertambangan dinilai kontraproduktif dan tidak mendukung bagi sebuah iklim investasi yang baik. Misalnya, peraturan tentang ketenagakerjaan dan lingkungan hidup yang kerap tidak kompetitif.

Ada juga undang-undang yang memiliki substansi yang tumpang tindih dengan undang-undang yang lain dan ketika diundangkan justru mengancam kegiatan eksplorasi tambang yang sudah berjalan.  Misalnya, UU Kehutanan yang melarang dilakukannya eksplorasi tambang di hutan lindung. Akibatnya, Indonesia makin tenggelam dalam konstelasi pertambangan dunia.

UU Pertambangan yang baru sebagai pengganti UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sangat ditunggu pelaku usaha pertambangan. RUU Pertambangan  ini sudah berkali-kali berganti materi dan tampaknya belum akan rampung dalam jangka dekat. Apalagi perhatian pemerintah kini sedang terfokus pada UU Migas dan UU Kelistrikan.

Dampak dari terkatung-katungnya UU Pertambangan  membuat investor menunggu kepastian hukum. Walaupun pemerintah menyatakan bahwa sebelum UU pertambangan yang baru, kegiatan usaha pertambangan mengacu pada UU Pertambangan yang lama.

Namun, siapa yang akan mengambil resiko untuk berinvestasi berdasarkan undang-undang yang sebentar lagi sudah tidak berlaku lagi. Tanpa ada kepastian hukum, jangan harap investor akan menanamkan modalnya, baik untuk investasi baru maupun untuk proyek perluasan. Bahkan, ada perusahaan yang sudah memasuki tahap eksplorasi pun menghentikan kegiatannya.

Meskipun UU No. 11/1967 secara hukum formal masih berlaku, orang akan berpegang pada UU No. 22/1999. UU No.11/1967  bersifat sentralistik, sedangkan UU No. 22/1999 yang bersifat desentralistik tidak menjamin investasi asing. Apalagi isi UU No.11/1967 banyak yang sudah tidak seirama dengan perkembangan bisnis pertambangan.  Karena itu, pemerintah mestinya memprioritaskan penerbitan UU Pertambangan yang baru sebagai pengganti UU No 11/1967.

Di sisi lain, euforia otonomi daerah telah mendorong banyak daerah untuk membuat berbagai peraturan daerah yang bisa menghambat aktifitas pertambangan. Kasus Newmont Minahasa Raya (NMR) telah menjadi pengalaman pahit bagi industri pertambangan nasional. Awalnya, Pemda Minahasa, Sulut, meminta NMR untuk membayar pajak atas pengerukan tanah overburden (galian penutup tambang) sebesar AS$2,8 juta karena dianggap sebagai bahan galian golongan C.

Namun, NMR menolak dengan alasan hal itu tidak diatur dalam kontrak kerja. Karena menolak membayar, Bupati Minahasa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tondano. NMR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan arbitrase inbternasional menyusul keputusan PN Tondano yang memerintahkan penutupan kegiatan operasional NMR. 

DESDM menilai, putusan PN Tondano atas operasi pertambangan NMR tidak sesuai dengan kontrak kerja yang ada. Pasalnya, berdasar kontrak kerja, pihak yang bisa menutup kontrak adalah Mentamben. Itu pun dengan catatan, perusahaan gagal melaksanakan kewajiban kontrak. Dengan putusan PN Tondano ini, kontrak karya yang sifatnya internasional dan mempunyai dasar hukum lebih tinggi dikalahkan oleh peraturan lebih rendah berupa Perda.

Kasus ketidakdakpastian hukum inilah yang mendorong 16 investor Penanaman Modal Asing (PMA) mengajukan permintaan berhenti pada pemerintah Indonesia. Belakangan, entah karena tekanan dari pusat, Pemda Minahasa mencabut gugatannya dengan konsekuensi NMR memberikan konsesi tambahan community development dan tetap membayar pajak galian C meskipun nilainya tidak sebesar tuntutan semula.

Agar kondisi ketidakpastian hukum ini tidak berlarut-larut dan untuk mencegah kaburnya investor asing, pemerintah sebenarnya tengah menyusun sistem hukum di bidang pertambangan umum. Sistem hukum ini akan diserahkan ke pemda sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Penyusunan sistem hukum ini dimungkinkan karena permerintah telah mengambil kebijakan toleransi dengan menetapkan batas waktu pelimpahan wewenang segala bentuk perizinan kepada daerah.

Kebijakan ini diambil karena tidak semua sumberdaya manusia di daerah siap mengambil alih sepenuhnya kewenangan yang selama ini ditangani pusat. Pasalnya, ternyata baru sekitar 10% daerah yang benar-benar siap mengambil alih wewenang pusat. Misalnya, kontrak karya bidang mineral serta perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang menyangkut kontrak dengan pihak asing.

Jika perusahaan asing mengeluh terhadap kelangsungan investasinya, sebenarnya lebih pada tuntutan konsistensi peraturan dan hukum. Pasalnya, mereka tidak gampang mencari substitusi sumber tambang yang begitu kaya dan murah biaya eksploiatasinya seperti di Indonesia. Investor asing mau menanamkan modalnya tentu karena melihat potensi besar pertambangan Indonesia.

Karena itu, bila ada protes dari investor asing, seharusnya pemerintah cepat meresponsnya. Bukan setelah perusahaan itu banyak dikecam dan menutup operasinya, baru kemudian pemerintah bertindak. Pemerintah yang memberikan izin KK, sehingga mestinya pemerintah juga yang harus menyelesaikan bila ada masalah agar investor bisa betah di Indonesia.

Masalah kepastian hukum jangan dianggap sepele karena tanpa kepastian hukum dan kejelasan peraturan, investor asing bisa pindah ke negara lain. Saat ini, bisnis pertambangan Indonesia mulai disaingi oleh negara tetangga yang telah membuka diri.

China misalnya, telah meluncurkan serangkaian kebijakan untuk mengefektifkan kegiatan pertambangan yang lama tertidur.  Rencananya, pemerintah China akan membuka kembali sektor pertambangan dengan memberikan izin kepada perusahaan asing untuk melakukan ekspedisi sumberdaya mineral sendiri atau bersama mitra lokal

Rebutan rezeki

Sektor pertambangan termasuk bagian yang akan dikelola oleh daerah sejalan dengan tuntutan desentralisasi dan semangat otonomi daerah. Namun ini tentu tidak mudah karena garapan desentralisasi pertambangan tidak hanya menyangkut masalah teknis ekonomis, tetapi juga masalah politis. Paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.

Karena semangat otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) kini berlomba merayu investor. Pemda memberikan iming-iming lahan gratis sampai kemudahan perijinan dengan memamerkan potensi daerah masing-masing. Apalagi dengan berlakunya UU Otonomi Daerah mulai Januari 2001, daerah diberi wewenang untuk mengatur pemerintahan dan anggaran sendiri.

Namun, tidak semua kewenangan diberikan ke daerah. Dalam Pasal 7 UU No 22/1999 disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama, yang tetap dipegang oleh pusat. Selain itu, pusat juga tetap berwenang membuat kebijakan perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi dan lembaga perekonomian negara, pemberdayaan sumberdaya manusia, serta pendayagunaan sumberdaya alam.

Pasal 10 UU No.22/1999 menyebutkan bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya yang berada di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan hidupnya sesuai dengan undang-undang. Tapi karena peraturan pelaksana (PP)-nya belum ada, kesempatan daerah untuk mengelolanya belum bisa terjembatani. Karena tidak segera ditindaklanjuti dengan PP, pemerintah daerah pun bergerak sendiri-sendiri.

Pemerintah daerah merasa berhak mengelola kekayaan alamnya yang selama ini ditangani pusat. Selama ini, mereka hanya menjadi penonton dari kegiatan eksplorasi pertambangan di wilayahnya. Daerah sudah tidak sabar ingin mengelola sumberdaya di wilayahnya dengan harapan akan mendapat bagian pemasukan yang memadai. Daerah pun kini menuntut porsi yang lebih besar. Misalnya dalam UU tentang Nangroe Aceh Darusasalam, pembagian kekayaan alam minyak dan gas bumi menjadi 70% untuk daerah dan 30% untuk pusat.

Masing-masing daerah kini berlomba menggali potensi yang ada di wilayahnya dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang memungkinkan tergalinya potensi tersebut. Tidak kurang dari 3.000 perda telah disusun oleh 324 kabupatan/ kota dan 30 propinsi. Akibatnya, banyak investor asing pertambangan yang kini kebingungan untuk mengurus ijin. Birokrasi makin panjang, sehingga biaya mengurus perijinan  makin membengkak.

Kebijakan otonomi daerah bisa membuat investor asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya, sektor pertambangan di daerah akan terkena 326 perda di tingkat II dan 34 perda di tingkat I. Perda ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi daerah lain atau pusat sekalipun. Misalnya, perda tentang pungutan bagi kendaraan yang berada di kawasan eksplorasi pertambangan.  Banyaknya pungutan pajak telah menyebabkan ongkos  produksi sektor pertambangan.

Syukurlah, pemerintah pusat mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah, antara lain dengan mencabut lebih dari 100 perda karena bertentangan dengan ketentuan perpajakan dan retribusi nasional. Memang, sebagian Perda itu dibuat oleh anggota DPRD yang kurang kompeten dalam membuat produk perundang-undangan. Perda itu kemudian dicabut karena dinilai bertentangan dengan produk hukum di atasnya maupun produk hukum yang sejajar.

Terlepas dari plus minusnya, UU Pemerintah Daerah telah menjadi tonggak awal pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Sayangnya meskipun pusat telah menetapkan beleid otonomi daerah, pelaksanannya masih menjadi tanda tanya besar. Pasalnya, konsep operasional dan perangkat peraturan otonomi daerah belum disiapkan secara matang.

Tampaknya, pusat masih setengah hati dan belum serius untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Buktinya, pusat banyak mengeluarkan peraturan yang tidak aspiratif dan tidak mendukung pelimpahan wewenang pusat kepada daerah karena masih berpikir sentralistik.

Betul bahwa dengan otonomi daerah, masyarakat diharapkan bisa ikut menikmati limpahan rezeki. Namun, konteks otonomi daerah hendaknya diletakkan dalam kerangka negara kesatuan RI. Jadi bukan semata-mata untuk menaruk keuntungan sebesar-besarnya.

Agenda ke depan

Banyak investor yang kini menunggu perkembangan otonomi daerah dan UU Pertambangan yang baru. Pada saat kesempatan menunggu inilah, sebenarnya peluang bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Misalnya menyangkut pengawasan dan pengendalian kuasa pertambangan, baik kontrak karya (KK) maupun Perjanjian Kontrak Karya Penguasaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari pusat ke dati I, terutama bagi Dati II yang belum sepenuhnya siap dengan otonomi daerah.

Dengan adanya otonomi daerah, terhadap kontrak karya akan dilakukan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah. Pelimpahan itu harus ditandatangani oleh semua pihak yang terkait agar segi hukumnya jelas. Jadi sebenarnya, otonomi bukan disinsentif bagi kegiatan investasi pertambangan sejauh peraturan dan perangkat hukumnya jelas.

Untuk memberi ketenangan usaha kepada investor asing dan untuk menarik masuknya modal baru, pada masa transisi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan penundaan atau pengalihan secara bertahap.

DESDM telah mengeluarkan kebijakan pengalihan pengawasan dan pengendalian Kuasa Pertambangan (KP) yang masih berlaku ke pemerintah daerah tingkat I. Untuk KP, KK, dan PKP2B yang sudah berjalan, masih dikendalikan pemerintah pusat melalui perwakilannya di tingkat propinsi. Sementara untuk perizinan dan pengelolaan KP yang baru, diserahkan kepada pemda tingkat II.

Namun untuk mengalihkan kuasa pertambangan, baik KK maupun PKP2KB dari pusat ke daerah, pemerintah pusat berpendapat masih diperlukan masa transisi yang cukup lama. Penundaan ini, menurut Menteri Energi dan Sumberdata Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, terkait dengan kontrak-kontrak yang ditandatangani secara internasional. Bila kelak timbul perselisihan, akan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Apalagi para investor juga meminta penundaan karena mereka tidak mau "berjudi" dengan aturan yang belum jelas.

Dalam PP No 25/2000 Pasal 5 dinyatakan bahwa perjanjian internasional yang sudah dan akan dibuat pemerintah itu juga berlaku di daerah. Selanjutnya, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa seluruh kerjasama yang dilakukan antara pemerintah dengan pihak ketiga tetap berlaku sampai masa berakhirnya masa kerja sama itu. Apalagi berdasarkan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, keuangan dari royalti dan pendapatan lain langsung didistribusikan ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, investor tidak perlu khawatir dengan ketidakpastian hukum.

Potensi pertambangan di Indonesia sebenarnya masih sangat besar. Karena itu, UU Pertambangan yang baru diharapkan akan memikat investor dengan memberikan prasyarat agar iklim investasi pertambangan tetap menarik. Misalnya, ada kepastian bahwa investor kontraknya dijamin berlanjut hingga selesai.

Kontrak karya yang ada sebelum era otonomi daerah harus dihormati. Karena itu, perlu ada koordinasi antara DESDM, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan instansi terkait dalam penyusunan kebijakan pertambangan nasional di masa depan.

Nah untuk memudahkan investasi sektor pertambangan, perlu ada pusat informasi kawasan pertambangan di setiap daerah, terutama yang mempunyai potensi pertambangan. Tentunya, investor asing akan kerepotan mencari informasi potensi dan berbagai peraturan pendukungnya tanpa didukung informasi yang cukup bagi mereka. Selama ini, memang semua urusan dan informasi dilakukan di tingkat pusat. Pemberdayaan daerah ini sesuai dengan semangat undang-undang otonomi daerah, sehingga daerah merasa dihargai sebagai pemilik potensi pertambangan.

Namun, yang terpenting adalah membangun komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk mengurangi tarik ulur antara pusat dan daerah.

Pemerintah sebagai pengawas dan pembina, sedangkan daerah tidak asal menuntut dan mengeluarkan peraturan daerah secara terburu-buru. Pada saat yang sama, investor juga menyadari tugas kemasyarakatannya. Masyarakat tidak lagi menjadi komunitas yang lahannya menjadi obyek eksploitasi, tetapi juga turut dikutsertakan dalam pengelolaan pertambangan.

A.                

               A. Priyanto adalah wartawan hukumonline.com

 

Artikel ini adalah Juara I (wartawan) Kontes Penulisan Pertambangan Nasional "Peluang dan Tantangan Desentralisasi Pertambangan di Indonesia" yang diadakan oleh Indonesian Mining Association (IMA) pada November 2001.

Tags: