Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan

Terdapat perbedaan implementasi ajaran Vicarious Liability terkait kasus pelecehan antara pengaturan di Amerika Serikat dan di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
  1. Suatu kebijakan yang tegas melarang pelecehan seksual;
  2. Definisi yang jelas mengenai pelecehan seksual;
  3. Tata cara pengajuan keluhan;
  4. Aturan disipilin dan hukuman bagi pelaku dan orang yang melakukan tuduhan palsu;
  5. Langkah-langkah perlindungan dan pemulihan bagi korban;
  6. Program-program promosi dan pendidikan untuk menjelaskan kebijakan perusahaan mengenai pelecehan seksual dan untuk meningkatkan kesadaran akan pelecehan seksual dan konsekuensi-konsekuensi yang merugikan bagi para pekerja, penyelia dan manajer perusahaan;
  7. Pemantauan.

 

Selanjutnya pengusaha perlu menyebarluaskan informasi dan mengadakan pelatihan formal untuk memastikan bahwa seluruh pekerja menyadari dan memahami kebijakan perusahaan mengenai pelecehan seksual. Sedangkan perusahaan kecil, dapat langkah yang tepat dengan memberikan salinan kebijakan tersebut kepada para pekerja dan mengadakan diskusi informal dengan para pekerja untuk memastikan para pekerja memahami kebijakan tersebut. Untuk efektivitas pelaksanaan kebijakan pelecehan seksual di tempat kerja, maka dapat diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama sebagai syarat kerja yang harus dipenuhi dengan sanksi berupa tindakan indisipliner apabila tidak dilaksanakan.

 

Dikaitkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka ketentuan Pasal 86 ayat (1) memberikan hak bagi pekerja yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Jika pengusaha gagal memenuhinya maka ia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan ketentuan SE Menakertrans menggariskan suatu kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Jika pengusaha gagal memenuhinya maka ia juga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sepanjang pengamatan penulis, maka banyak perusahaan yang masih belum memiliki sistem pencegahan dan tindakan perbaikan atas terjadinya pelecehan di tempat kerja. Hal ini berarti jika terjadi tindakan pelecehan yang dilakukan atasan terhadap bawahannya, pengusaha rentan untuk diminta pertanggungjawaban.

 

Penutup

Hukum positif Indonesia dan AS sama-sama mengatur bahwa pengusaha dapat bertanggung jawab atas tindakan pelecehan yang dilakukan atasan kepada bawahannya berdasarkan ajaran Vicarious Liability. Perbedaan yang dapat kita identifikasi adalah hukum positif AS memberikan batasan tanggung jawab pengusaha dengan adanya persyaratan kualifikasi “atasan” serta hal-hal yang dapat digunakan oleh pengusaha sebagai pembelaan. Adapun hukum positif Indonesia belum mengatur batasan sedemikian. Pembelaan bagi pengusaha dapat diajukan berdasar konstruksi hukum bahwa jika pengusaha telah menciptakan sistem pencegahan dan pengawasan, maka ia dapat lepas dari tanggung jawab. Namun demikian konstruksi hukum ini masih perlu diuji dan dijadikan norma hukum melalui system yursiprudensi sebagaimana terjadi di AS.

 

Selain berdasarkan ajaran Vicarious Liability, di Indonesia pengusaha juga dapat bertanggung jawab atas tindakan pelecehan yang dilakukan atasan kepada bawahannya berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum ex Pasal 1365 KUHPerdata. Hal ini terjadi jika pengusaha gagal menciptakan sistem pencegahan dan tindakan perbaikan yang efektif atas terjadinya pelecehan di tempat kerja.

Wallahu'alam bishawwab.

 

*)Dr. Nugroho Eko Priamoko, SH MHum, LL.M adalah Pemerhati dan praktisi hubungan industrial, tinggal di Pekanbaru.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

 

[1]    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti,2000), hal.348.

[2]   https://bit.ly/2HMCtAD  (www.eeoc.gov)

[3]    Mohon periksa Black's Law Dictionary, terbitan West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, 1991, hal.1084.

[4]    Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum – Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000), hal.60-65.

[5]    JW Neyers, A Theory of Vicarious Liability, (Makalah disampaikan dalam 2004 SLS Conference, Sheffield).

[6] Hrexaminer (https://bit.ly/2KcbDAb)

[7]    Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2017), hal.181-182.

[8]    Ibid., hal.182-184.

[9]    Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit., hal.62-63.

[10]  Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum – Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal.11.

Tags:

Berita Terkait