Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan

Terdapat perbedaan implementasi ajaran Vicarious Liability terkait kasus pelecehan antara pengaturan di Amerika Serikat dan di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Nugroho Eko Priamoko. Foto: Dokumen Pribadi
Nugroho Eko Priamoko. Foto: Dokumen Pribadi

Beberapa waktu yang lalu dunia hiburan dikejutkan dengan berita pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang produser film Hollywood terhadap lebih dari 100 artisnya dalam kurun waktu bertahun-tahun. Seorang artis menceritakan bahwa ia dan artis lainnya selama ini bungkam karena takut dengan ancaman sang produser. Kasus pelecehan memang banyak terjadi terhadap seorang yang memiliki posisi lebih inferior, misalnya antara atasan dan bawahan dalam kasus pelecehan di tempat kerja.

 

Selama ini sudah cukup banyak tulisan yang mengulas mengenai kasus pelecehan di tempat kerja, terutama terkait dengan pengertian dan ruang lingkup serta dampak dan penanganan lebih lanjut dari korban. Untuk memperkaya khasanah pemahaman tentang pelecehan di tempat kerja – terutama pelecehan sexual, penulis bermaksud menyampaikan pandangan terkait aspek tanggung jawab hukum pengusaha. Untuk memperkaya wawasan kita penulis akan mengambil perspektif perbandingan hukum.

 

Merujuk pada pendapat Satjipto Rahardjo, metode perbandingan hukum dipergunakan untuk membandingkan sistem hukum positif satu bangsa dengan bangsa lain. Dengan metode ini selain bisa menganalisasi perbedaan dan persamaan, kita juga bisa memikirkan kemungkinan-kemingkinan yang bisa ditarik sebagai kelanjutan studi kita.[1]

 

Pengaturan di AS

Salah satu negara yang cukup maju dalam pengaturan mengenai kasus pelecehan adalah Amerika Serikat. Di negara tersebut dibentuk satu badan yang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindakan diskriminasi yang dilakukan karena faktor ras, warna kulit, agama dan sex, termasuk di dalamnya adalah kasus pelecehan karena keempat faktor tersebut. Badan dimaksud adalah Equal Employment Opportunity Commission (EEOC). Untuk upaya pencegahan EEOC melakukan tindakan edukasi, mengeluarkan panduan dan juga memberikan bantuan teknis. Pada tahun 1999 EEOC mengeluarkan panduan Nomor 915.002[2] yang mengatur tanggung jawab hukum pengusaha atas tindakan pelecehan yang terjadi di lingkungan kerjanya.

 

Panduan tersebut dibuat dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara Burlington Industries, Inc. v. Ellerth dan Faragher v. City of Boca Raton. Seperti diketahui AS adalah negara yang menganut sistem common law di mana sumber hukum utama adalah putusan pengadilan. Dalam panduan disebutkan bahwa pengusaha akan dianggap bertanggung jawab secara vicarious liability atas tindakan pelecehan yang dilakukan oleh para supervisor/atasan di dalam perusahaannya. Vicarious liability adalah doktrin yang meletakkan tanggung jawab hukum kepada seseorang atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang berada di bawah pengawasannya, misalnya pengusaha yang bertanggung jawab atas tindakan pekerjanya.[3]

 

Terkait ajaran Vicarious Liability ini, menarik untuk dikaji mengapa seorang harus bertanggung jawab atas tindakan orang lain, dalam hal ini pengusaha atas tindakan pekerjanya. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa alasannya terletak pada dua sifat hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja. Sifat pertama adalah adanya sifat pengawasan atas pekerja yang diletakkan di atas pundak pengusaha. Sifat kedua adalah sifat pemberian kuasa oleh pengusaha kepada pekerja yang menarik pengusaha dalam risiko perekonomian dari perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh pekerja.[4]

 

Sarjana lain, JW Neyers menyampaikan bahwa ada beberapa alasan mengapa seorang pengusaha harus bertanggung jawab atas tindakan pekerjanya. Antara lain adalah karena pengusaha lah yang mengendalikan aktivitas pekerjanya, dan ia yang memiliki kemampuan ekonomi untuk menanggung ganti rugi serta melakukan upaya pencegahan. Namun alasan yang paling mendasar adalah adanya janji diam-diam (implied promise) yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerjanya melalui perjanjian kerja, bahwa ia akan bertanggung jawab atas risiko hukum yang mungkin dialami oleh pekerja dalam menjalankan pekerjaannya.[5]

 

Kembali pada ketentuan dalam panduan EEOC, perlu dicatat bahwa tidak semua tindakan atasan akan menjadi tanggung jawab pengusaha. Atasan tersebut harus memenuhi satu dari dua syarat, yaitu bahwa ia memiliki kewenangan atas karir pekerja, atau berwenang memberikan perintah kerja. Namun demikian, ada satu kondisi di mana pengusaha dapat juga dianggap bertanggung jawab meskipun atasan yang melakukan tindakan pelecehan tidak memenuhi salah satu dari persyaratan di atas. Kondisi dimaksud adalah jika pekerja yang menjadi korban pelecehan, secara wajar dapat mengira bahwa atasan tersebut memiliki kewenangan-kewenangan sebagaimana diuraikan di atas.

 

Selanjutnya panduan dari EEOC ini membagi tindakan pelecehan dalam dua kategori, yaitu yang berdampak pada karir pekerja dan yang tidak berdampak nyata pada karir pekerja, namun menciptakan lingkungan kerja yang tidak bersahabat (hostile working environment). Untuk   kategori pertama pengusaha selalu dianggap tanggung jawab atas pelecehan yang terjadi dan hanya dapat membela diri dengan membuktikan bahwa pelecehan tidak terjadi. Sedangkan untuk kategori kedua, pengusaha dapat mengajukan pembelaan bahwa ia telah melakukan upaya pencegahan dan koreksi, atau bahwa korban sendiri yang tidak memanfaatkan upaya-upaya pencegahan dan koreksi yang disediakan pengusaha.

 

Terkait  pembelaan yang pertama, pengusaha harus membuat, mensosialisasikan dan menegakkan kebijakan anti pelecehan dan prosedur pelaporan. Bentuk dan kompleksitas kebijakan dan prosedur yang dibuat tentu berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Untuk perusahaan kecil dengan jumlah pegawai sedikit kebijakan dan prosedur dapat saja bersifat sederhana. Namun yang paling penting kebijakan dan prosedur tersebut harus efektif dan konsisten diterapkan.

 

Panduan EEOC juga menentukan bahwa kebijakan anti pelecehan dan prosedur pelaporan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

  • Penjelasan mengenai perilaku yang dilarang, bahwa perusahaan tidak mentolerir tindakan pelecehan atas dasar ras, warna kulit, agama, kebangsaan, umur, sex dan kekurangan fisik.
  • Jaminan bahwa pegawai yang melaporkan tindakan pelecehan atau memberikan informasi akan dilindungi dari setiap tindakan pembalasan yang mungkin timbul.
  • Penjelasan yang rinci mengenai prosedur pelaporan melalui saluran-saluran yang dapat diakses. Prosedur ini harus dirancang sedemikian rupa agar mendorong korban berani melapor.
  • Jaminan bahwa perusahaan akan menjaga kerahasiaan atas laporan yang diajukan.
  • Proses yang menjamin bahwa peyelidikan akan dilakukan secara cepat, menyeluruh dan tidak memihak.
  • Jaminan bahwa perusahaan akan melakukan tindakan korektif secara cepat dan setimpal jika laporan adanya pelecehan terbukti.

 

Mengenai pembelaan yang kedua, biasanya pegawai tidak mengajukan laporan karena ia memandang upayanya untuk mengajukan laporan akan berbuah tindakan pembalasan dari pelaku. Penyebab lain adalah pengawai melihat berbagai kendala untuk membuat laporan, misalnya proses yang berbelit-belit, tidak jelas dan bahkan tidak efektif. Sebagai contoh ia harus menyampaikan laporan melalui atasan, sementara atasannya sendiri terlibat dalam tindakan pelecehan yang hendak dilaporkannya. Agar dapat memenuhi elemen pembelaan yang kedua ini, pengusaha harus membuktikan bahwa alasan-alasan penyebab tidak diajukannya laporan tersebut senyatanya tidak ada dan pengusaha sudah menciptakan sistem yang menjamin hal tersebut.

 

Dalam perkembangannya, di tahun 2013 Mahkamah Agung AS melalui perkara Vance v. Ball State University mengatur ulang ketentuan mengenai tanggung jawab pengusaha dalam kasus pelecehan. Syarat-syarat dan kategori yang ada putusan perkara Burlington Industries, Inc. v. Ellerth dan Faragher v. City of Boca Raton dihilangkan. Pengusaha hanya dapat diminta tanggung jawab atas kasus pelecehan jika terpenuhi dua kondisi.

 

Kondisi pertama adalah jika pelaku pelecehan adalah atasan dari korban. Definisi atasan masih merujuk pada perkara Burlington Industries, Inc. v. Ellerth dan Faragher v. City of Boca Raton, yaitu haruslah atasan yang memiliki kewenangan atas karir pekerja atau memiliki kewenangan memberikan perintah kerja. Jika kondisi pertama tersebut tidak dipenuhi, pengusaha tetap bertanggung jawab jika dipenuhi kondisi kedua, yaitu jika pengusaha gagal menciptakan sistem yang efektif mencegah terjadinya pelecehan, atau mengetahui (sepatutnya mengetahui) terjadinya pelecehan tetapi tidak mencegah atau melakukan koreksi.[6]

 

Dari paparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab pengusaha sehubungan dengan tindakan pelecehan terhadap pekerja cukup diatur secara rinci. Bahkan telah diatur pula batasan-batasan dimana pengusaha dapat melakukan pembelaan dan melepaskan diri dari tanggung jawab. Dengan sistem judge made law, memang memungkinkan sistem hukum AS adaptif dengan perkembangan keadaan. Setiap ada perkembangan yang perlu direspon dapat diakomodasi dalam bentuk putusan pengadilan. Hal ini jauh lebih mudah dibandingkan jika harus melalui proses perumusan undang-undang.

 

Pengaturan di Indonesia

Indonesia ternyata juga menerapkan ajaran Vicarious Liability. Hal tersebut kita temukan dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang berbunyi: “seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya”. Khusus mengenai tanggung jawab pengusaha atas tindakan pekerjanya diatur dalam ayat (1) yang berbunyi: “Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu”. 

 

Namun demikian ternyata terdapat perbedaan implementasi ajaran Vicarious Liability terkait kasus pelecehan antara pengaturan di AS dan di Indonesia. Sistem hukum AS telah mengatur secara rinci tanggung jawab pengusaha atas tindakan pelecehan yang dilakukan pekerjanya. Adapun di Indonesia hal tersebut belum diatur secara spesifik, namun tunduk pada ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata yang berlaku umum. Perbedaan pengaturan ini tentu membawa konsekuensi yang berbeda, terutama terkait pembatasan tanggung jawab.

 

Sebagaimana diuraikan di atas, di AS telah diatur pembatasan tanggung jawab pengusaha secara cukup rinci dari aspek kualifikasi “atasan” serta hal-hal yang dapat digunakan oleh pengusaha sebagai pembelaan. Hal yang demikian tidak kita temukan di hukum positif Indonesia. Bahkan ketentuan batasan tanggang jawab yang disediakan di bawah Pasal 1367 ayat (5) ternyata juga tidak berlaku dalam hubungan pengusaha dan pekerja. Pasal tersebut mengatur bahwa orang tua, wali, guru dan kepala tukang tidak bertanggung jawab, jika perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang di bawah pengawasannya memang tidak dapat dicegahnya.

 

Terkait hal ini, Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi menguraikan bahwa rumusan pasal tersebut memang menggunakan istilah “kepala tukang” namun tidak dalam konteks pengusaha dan pekerja. Dari teks Bahasa Belanda yang dimaksud dengan “kepala tukang” adalah pengelola magang yang mengawasi anak-anak yang bekerja magang. Benang merah dari redaksional pasal ini adalah bahwa tanggung jawab dibatasi hanya kepada mereka yang masih belum dewasa dan masih berada di bawah pengawasan.[7] Dengan konteks yang demikian dapat dipahami bahwa pasal ini memang tidak dibuat untuk membatasi tanggung jawab pengusaha atas tindakan pelecehan yang dilakukan pekerjanya.

 

Bila kita perhatikan redaksional Pasal 1367 ayat (1), kita menemukan frasa “dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan”. Kita akan menyimpulkan bahwa frasa tersebut membatasi tanggung jawab pengusaha hanya dalam koridor perbuatan melawan hukum dilakukan dalam kaitan melaksanakan pekerjaan yang diberikan saja. Tetapi rupanya para sarjana terkemuka memiliki pandangan yang tidak sama mengenai hal ini.

 

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi cenderung berpendapat bahwa pengusaha hanya bertanggung jawab atas tindakan pekerja sebatas ada kaitan dengan melaksanakan pekerjaan. Dijelaskan bahwa sesuai konstruksi hukum atas hubungan pengusaha dan pekerja, sepanjang pekerja melaksanakan perintah yang diberikan maka pengusaha yang harus bertanggung jawab. Dengan mengambil analogi Pasal 1807 tentang pemberian kuasa, dijelaskan bahwa setiap tindakan yang dibuat pekerja atas perintah pengusaha akan menjadi perikatan bagi pengusaha, termasuk di dalamnya perbuatan melawan hukum yang terjadi.[8]

 

Adapun Wirjono Prodjodikoro memiliki pandangan yang berbeda. Dengan mengutip LC Hofmann, disampaikan bahwa pembatasan tanggung jawab pengusaha harus diartikan sedemikian rupa, bahwa pengusaha tidak hanya bertanggung jawab jika sifat pekerjaan secara umum yang ternyata menciptakan suatu kemungkinan timbulnya kerugian, tetapi juga apabila pengusaha memberi perintah yang menciptakan atau membesarkan kemungkinan timbulnya kerugian yang sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan.

 

Ilustrasi dari kondisi pertama adalah seorang tukang solder diperintahkan untuk mengencerkan timah dengan api yang menyala-nyala, lantas mengkibatkan kebakaran rumah. Pengusaha bertanggung jawab atas kerugian akibat kebakaran karena tindakan tukang solder berasal dari perintahnya. Ilustrasi untuk kondisi kedua adalah saat melakukan pekerjaannya tersebut ternyata tukang solder mencuri barang dari pemilik rumah. Pengusaha dianggap bertanggung jawab karena ia tidak memberikan pengawasan secukupnya ataupun mungkin tidak mempertimbangkan latar belakang dan akhlak tukang solder yang dipekerjakannya. Selanjutnya Wirjono menyimpulkan bahwa pembatasan tanggung jawab pengusaha atas perbuatan pekerja hampir atau sama sekali tidak ada. Hal ini konsisten dengan kenyataan bahwa pembatasan dalam Pasal 1367 ayat (5) tidak berlaku untuk hubungan pengusaha – pekerja.[9]

 

Dikaitkan dengan kasus pelecehan yang dilakukan oleh atasan, jika mengikuti alur pikir Wirjono Prodjodikoro, pengusaha akan dianggap bertanggung jawab jika ia gagal menciptakan sistem pencegahan dan pengawasan serta jika dalam rekruitmen telah dilakukan tes atas latar belakang psikologi calon pekerja. Jika kita konstruksikan secara a contrario, jika pengusaha telah melakukan hal-hal tersebut, maka ia harus dianggap lepas dari tanggung jawab. Namun demikian konstruksi yang demikian masih perlu diuji melalui putusan pengadilan agar menjadi yurisprudensi dan norma hukum yang bisa diikuti.

 

Selain Pasal 1367 KUHPerdata, pengusaha juga dapat diminta pertanggungjawaban atas kasus pelecehan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1919 pasca kasus Lindenbaum vs. Cohen, perbuatan melawan melawan hukum ex Pasal 1365 KUHPerdata diartikan secara luas, yang antara lain mencakup juga perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan dan melanggar hak orang lain.[10]

 

Merujuk pada ketentuan Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehaan kerja, moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Sebagai operasionalisasi ketentuan ini dalam kasus pelecehan, khususnya pelecehan di tempat kerja, Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.

 

Pedoman tersebut mewajibkan bahwa setiap pengusaha untuk secara aktif menerapkan tindakan-tindakan pencegahan untuk meminimalisir terjadinya risiko pelecehan seksual dan untuk mengambil tindakan perbaikan yang efektif dan wajar bila terjadi pelecehan seksual. Untuk itu pengusaha harus menciptakan suatu mekanisme yang meliputi unsur-unsur berikut:

  1. Suatu kebijakan yang tegas melarang pelecehan seksual;
  2. Definisi yang jelas mengenai pelecehan seksual;
  3. Tata cara pengajuan keluhan;
  4. Aturan disipilin dan hukuman bagi pelaku dan orang yang melakukan tuduhan palsu;
  5. Langkah-langkah perlindungan dan pemulihan bagi korban;
  6. Program-program promosi dan pendidikan untuk menjelaskan kebijakan perusahaan mengenai pelecehan seksual dan untuk meningkatkan kesadaran akan pelecehan seksual dan konsekuensi-konsekuensi yang merugikan bagi para pekerja, penyelia dan manajer perusahaan;
  7. Pemantauan.

 

Selanjutnya pengusaha perlu menyebarluaskan informasi dan mengadakan pelatihan formal untuk memastikan bahwa seluruh pekerja menyadari dan memahami kebijakan perusahaan mengenai pelecehan seksual. Sedangkan perusahaan kecil, dapat langkah yang tepat dengan memberikan salinan kebijakan tersebut kepada para pekerja dan mengadakan diskusi informal dengan para pekerja untuk memastikan para pekerja memahami kebijakan tersebut. Untuk efektivitas pelaksanaan kebijakan pelecehan seksual di tempat kerja, maka dapat diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama sebagai syarat kerja yang harus dipenuhi dengan sanksi berupa tindakan indisipliner apabila tidak dilaksanakan.

 

Dikaitkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka ketentuan Pasal 86 ayat (1) memberikan hak bagi pekerja yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Jika pengusaha gagal memenuhinya maka ia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan ketentuan SE Menakertrans menggariskan suatu kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Jika pengusaha gagal memenuhinya maka ia juga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sepanjang pengamatan penulis, maka banyak perusahaan yang masih belum memiliki sistem pencegahan dan tindakan perbaikan atas terjadinya pelecehan di tempat kerja. Hal ini berarti jika terjadi tindakan pelecehan yang dilakukan atasan terhadap bawahannya, pengusaha rentan untuk diminta pertanggungjawaban.

 

Penutup

Hukum positif Indonesia dan AS sama-sama mengatur bahwa pengusaha dapat bertanggung jawab atas tindakan pelecehan yang dilakukan atasan kepada bawahannya berdasarkan ajaran Vicarious Liability. Perbedaan yang dapat kita identifikasi adalah hukum positif AS memberikan batasan tanggung jawab pengusaha dengan adanya persyaratan kualifikasi “atasan” serta hal-hal yang dapat digunakan oleh pengusaha sebagai pembelaan. Adapun hukum positif Indonesia belum mengatur batasan sedemikian. Pembelaan bagi pengusaha dapat diajukan berdasar konstruksi hukum bahwa jika pengusaha telah menciptakan sistem pencegahan dan pengawasan, maka ia dapat lepas dari tanggung jawab. Namun demikian konstruksi hukum ini masih perlu diuji dan dijadikan norma hukum melalui system yursiprudensi sebagaimana terjadi di AS.

 

Selain berdasarkan ajaran Vicarious Liability, di Indonesia pengusaha juga dapat bertanggung jawab atas tindakan pelecehan yang dilakukan atasan kepada bawahannya berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum ex Pasal 1365 KUHPerdata. Hal ini terjadi jika pengusaha gagal menciptakan sistem pencegahan dan tindakan perbaikan yang efektif atas terjadinya pelecehan di tempat kerja.

Wallahu'alam bishawwab.

 

*)Dr. Nugroho Eko Priamoko, SH MHum, LL.M adalah Pemerhati dan praktisi hubungan industrial, tinggal di Pekanbaru.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

 

[1]    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti,2000), hal.348.

[2]   https://bit.ly/2HMCtAD  (www.eeoc.gov)

[3]    Mohon periksa Black's Law Dictionary, terbitan West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, 1991, hal.1084.

[4]    Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum – Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000), hal.60-65.

[5]    JW Neyers, A Theory of Vicarious Liability, (Makalah disampaikan dalam 2004 SLS Conference, Sheffield).

[6] Hrexaminer (https://bit.ly/2KcbDAb)

[7]    Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2017), hal.181-182.

[8]    Ibid., hal.182-184.

[9]    Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit., hal.62-63.

[10]  Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum – Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hal.11.

Tags:

Berita Terkait