Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan

Terdapat perbedaan implementasi ajaran Vicarious Liability terkait kasus pelecehan antara pengaturan di Amerika Serikat dan di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

Kondisi pertama adalah jika pelaku pelecehan adalah atasan dari korban. Definisi atasan masih merujuk pada perkara Burlington Industries, Inc. v. Ellerth dan Faragher v. City of Boca Raton, yaitu haruslah atasan yang memiliki kewenangan atas karir pekerja atau memiliki kewenangan memberikan perintah kerja. Jika kondisi pertama tersebut tidak dipenuhi, pengusaha tetap bertanggung jawab jika dipenuhi kondisi kedua, yaitu jika pengusaha gagal menciptakan sistem yang efektif mencegah terjadinya pelecehan, atau mengetahui (sepatutnya mengetahui) terjadinya pelecehan tetapi tidak mencegah atau melakukan koreksi.[6]

 

Dari paparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab pengusaha sehubungan dengan tindakan pelecehan terhadap pekerja cukup diatur secara rinci. Bahkan telah diatur pula batasan-batasan dimana pengusaha dapat melakukan pembelaan dan melepaskan diri dari tanggung jawab. Dengan sistem judge made law, memang memungkinkan sistem hukum AS adaptif dengan perkembangan keadaan. Setiap ada perkembangan yang perlu direspon dapat diakomodasi dalam bentuk putusan pengadilan. Hal ini jauh lebih mudah dibandingkan jika harus melalui proses perumusan undang-undang.

 

Pengaturan di Indonesia

Indonesia ternyata juga menerapkan ajaran Vicarious Liability. Hal tersebut kita temukan dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang berbunyi: “seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya”. Khusus mengenai tanggung jawab pengusaha atas tindakan pekerjanya diatur dalam ayat (1) yang berbunyi: “Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu”. 

 

Namun demikian ternyata terdapat perbedaan implementasi ajaran Vicarious Liability terkait kasus pelecehan antara pengaturan di AS dan di Indonesia. Sistem hukum AS telah mengatur secara rinci tanggung jawab pengusaha atas tindakan pelecehan yang dilakukan pekerjanya. Adapun di Indonesia hal tersebut belum diatur secara spesifik, namun tunduk pada ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata yang berlaku umum. Perbedaan pengaturan ini tentu membawa konsekuensi yang berbeda, terutama terkait pembatasan tanggung jawab.

 

Sebagaimana diuraikan di atas, di AS telah diatur pembatasan tanggung jawab pengusaha secara cukup rinci dari aspek kualifikasi “atasan” serta hal-hal yang dapat digunakan oleh pengusaha sebagai pembelaan. Hal yang demikian tidak kita temukan di hukum positif Indonesia. Bahkan ketentuan batasan tanggang jawab yang disediakan di bawah Pasal 1367 ayat (5) ternyata juga tidak berlaku dalam hubungan pengusaha dan pekerja. Pasal tersebut mengatur bahwa orang tua, wali, guru dan kepala tukang tidak bertanggung jawab, jika perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang di bawah pengawasannya memang tidak dapat dicegahnya.

 

Terkait hal ini, Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi menguraikan bahwa rumusan pasal tersebut memang menggunakan istilah “kepala tukang” namun tidak dalam konteks pengusaha dan pekerja. Dari teks Bahasa Belanda yang dimaksud dengan “kepala tukang” adalah pengelola magang yang mengawasi anak-anak yang bekerja magang. Benang merah dari redaksional pasal ini adalah bahwa tanggung jawab dibatasi hanya kepada mereka yang masih belum dewasa dan masih berada di bawah pengawasan.[7] Dengan konteks yang demikian dapat dipahami bahwa pasal ini memang tidak dibuat untuk membatasi tanggung jawab pengusaha atas tindakan pelecehan yang dilakukan pekerjanya.

 

Bila kita perhatikan redaksional Pasal 1367 ayat (1), kita menemukan frasa “dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan”. Kita akan menyimpulkan bahwa frasa tersebut membatasi tanggung jawab pengusaha hanya dalam koridor perbuatan melawan hukum dilakukan dalam kaitan melaksanakan pekerjaan yang diberikan saja. Tetapi rupanya para sarjana terkemuka memiliki pandangan yang tidak sama mengenai hal ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait