Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Feature

Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Sulit diprediksi. Sejak reformasi sama-sama sudah ada dua hakim agung dan dua hakim konstitusi menjadi pesakitan di Komisi Pembarantasan Korupsi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit

Mengenai pola rekrutmen hakim termasuk hakim agung, Hatta memberi catatan menarik. “Tes calon hakim agung sebaiknya dilakukan oleh sebuah panitia seleksi yang tidak diragukan kemandirian dan objektivitasnya. Tidak perlu dibawa ke lembaga politik agar tidak ada beban bagi peserta calon hakim agung,” kata Hatta.

Hatta menilai soal rekrutmen calon hakim termasuk calon hakim agung memang perlu diperketat antara lain dalam tes kejiwaan.  Mengenai rekrutmen calon hakim agung ia menilai sebaiknya Komisi Yudisial lebih banyak berkoordinasi dengan Mahkamah Agung. “Karena yang paling tahu integritas dan kualitas para hakim karier adalah MA sebab sudah memantau perjalanan kariernya sejak masih hakim pada tingkat pertama,” ujarnya.

Tita menambahkan memperketat rekrutmen calon hakim agung termasuk pada laporan harta kekayaan. Namun, yang lebih penting memberantas korupsi di pengadilan juga harus mereformasi lembaga penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, kejaksaan, advokat. “Modus korupsi dalam perkara biasanya terjadi mulai dari hilir sampai hulu. Persoalan korupsi jelas bukan masalah yang unik di pengadilan saja, tapi juga terjadi di lembaga lain,” kata Tita.

Pengawalan Dunia Akademik juga Diperlukan

Azhe menilai dunia akademik yang paling tepat ikut menjaga kualitas dan integritas hakim agung dan hakim konstitusi. “Dunia akademik harus aktif meninjau kualitas putusan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Jadi, mereka merasa sedang diawasi oleh publik,” kata Azhe. Kritik akademik sangat diperlukan untuk menilai putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kritik dunia akademik ini dinilai yang paling tepat karena kerja hakim agung dan hakim konstitusi pada dasarnya di level filosofis dan teori hukum. Mahkamah Agung sebagai pengadilan atas penerapan hukum tidak lagi memeriksa fakta seperti pengadilan tingkat di bawahnya.

Oleh karena itu, kritik atas kualitas putusan hakim agung dan hakim konstitusi sangat tepat diberikan kalangan akademisi. Kritik itu pun tidak harus menunggu kasus-kasus besar. Kasus apa saja yang diputus Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus diberi penilaian.

“Artinya, Mahkamah Agung bisa menyusun penafsiran yang konsisten untuk mengadili pola perkara yang serupa,” ujar Azhe melanjutkan. Konsistensi itu sangat bernilai keilmuan hukum yang bisa dikaji serius oleh dunia akademik. Hal yang sama juga berlaku pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Catatan lain dari Azhe adalah perlunya memastikan pendidikan yang lebih serius bagi hakim karier yang kelak berpeluang menjadi hakim agung. “Tidak semua yang sudah masuk pendidikan dan latihan calon hakim harus lulus diterima jadi hakim. Sejak awal mereka harus disaring kualitasnya,” katanya.

Dafi melanjutkan hal lain yang penting adalah membangun sistem kerja internal dan eksternal peradilan yang baik. “Sistem kerja penyelesaian perkara harus akuntabel dan transparan agar mudah diawasi banyak pihak. Namun, soal masa jabatan hakim agung terbuka saja untuk didiskusikan,” kata Anggota Komisi Yudisial ini.

Usia pensiun hakim agung dan hakim konstitusi Indonesia saat ini adalah 70 tahun. Sejak diangkat, para hakim di puncak peradilan itu akan terus menjabat sampai pensiun atau berhenti karena alasan lain yang diatur undang-undang.

Lantas, apakah semua usulan langkah tadi bisa menjamin serial skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi bisa berhenti? Entahlah.

Tags:

Berita Terkait