Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Feature

Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Sulit diprediksi. Sejak reformasi sama-sama sudah ada dua hakim agung dan dua hakim konstitusi menjadi pesakitan di Komisi Pembarantasan Korupsi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit

Tim Riset Hukumonline mencatat setidaknya ada 60 lebih jumlah tersangka dan terdakwa kasus korupsi oleh pejabat dan pegawai di pengadilan sejak tahun 2001. Apakah formula reformasi peradilan selama ini gagal? Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Dian ‘Tita’ Rositawati mengaku kesimpulannya tidak seburuk itu.

“Saya tidak akan mengatakan dengan mudah bahwa reformasi peradilan telah gagal,” kata Tita kepada Hukumonline.

Reformasi peradilan resmi dicanangkan sebagai program jangka panjang sejak diluncurkannya Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003. Tidak berhenti di situ, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 diluncurkan sebagai penyempurnaan. Mahkamah Agung terlihat berupaya dengan terencana untuk mempertajam arah dan langkah dalam mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Cetak biru versi terakhir dirancang untuk jangka waktu yang panjang yaitu 25 tahun.

Tita mengatakan reformasi peradilan pada dasarnya sudah berjalan sejak kepemimpinan Hakim Agung Bagir Manan. Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2003 adalah warisan yang sangat baik dan mulai menunjukkan hasilnya. “Tentu dibandingkan dengan sebelum reformasi telah banyak perubahan terjadi untuk mencegah praktik korupsi,” kata Tita.

Ia mencontohkan putusan sudah dapat diakses publik dan proses persidangan dapat diakses pencari keadilan secara elektronik, sehingga menekan peluang jual beli informasi. Rekrutmen hakim juga dinilai Tita membaik. Ia melihat lebih banyak hakim-hakim yang berintegritas di pengadilan. Sistem pengawasan internal oleh Badan Pengawasan dan eksternal oleh Komisi Yudisial juga berjalan. “Mungkin pengadilan adalah salah satu lembaga yang paling banyak pengawasnya dibanding lembaga lain,” ujarnya.

Lalu di mana letak masalahnya? Apakah gaya hidup hedonis menjadi penyebab korupsi bahkan oleh hakim? “Saya rasa kita harus mendefinisikan dulu apa yang dimaksud hedonis itu,” kata Bagir Manan saat diwawancara Hukumonline. Bagir adalah sosok yang berperan besar untuk memulai reformasi peradilan di masa kepemimpinannya.

Bagir keberatan jika memiliki barang bagus semisal tas dan aset harta disebut hedonis. “Pejabat dengan jenjang karier tertentu wajar punya pemasukan yang membuat dia punya harta. Saya kira bukan semacam itu yang perlu dimasalahkan,” kata Bagir. Di sisi lain, ia setuju bahwa tidak benar jika pejabat semacam hakim dan aparat penegak hukum memperlihatkan kekayaannya secara sengaja. Ia meyakini kepekaan atas kesenjangan sosial harusnya lebih tinggi dimiliki kalangan pejabat.

Tags:

Berita Terkait