Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Feature

Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Sulit diprediksi. Sejak reformasi sama-sama sudah ada dua hakim agung dan dua hakim konstitusi menjadi pesakitan di Komisi Pembarantasan Korupsi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Wajahnya tertunduk saat bolak-balik masuk gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa. Hanya beberapa minggu saja, Gazalba Saleh sudah menggunakan rompi oranye tersangka korupsi alih-alih toga oranye kebanggaan Hakim Agung. Ia menyusul Sudrajad Dimyati, kolega sesama hakim agung yang kini menjadi sesama pesakitan agung. Kasus keduanya bahkan sekarang menyeret nama Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan yang juga ditetapkan tersangka.

“Selama 50 tahun terakhir, kehakiman Indonesia mengalami erosi standar profesional,” kata Sebastiaan Pompe dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2005 dalam bahasa Inggris. Judulnya The Indonesian Supreme Court , A Study of Institutional Collapse. Hasil riset disertasi hukum awal tahun 90-an yang diuji sahih di Universitas Leiden itu sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung.

Rupanya erosi yang disebut Pompe belum berakhir. Terkini di tahun 2023 Indonesia mendapati dua hakim agung terjerat kasus korupsi. Tidak hanya mereka berdua, Sekretaris Mahkamah Agung pun ditetapkan tersangka untuk kasus yang sama. Perlu diingat, pada tahun 2019 lalu pun Sekretaris Mahkamah Agung sebelumnya terjerat kasus korupsi dan sedang menjalani hukuman penjara.

Baca Juga:

Pompe menggambarkan bagaimana keunggulan para hakim agung di masa lalu terus memudar. Kualitas standar profesional mereka berganti dengan apa yang diungkapkan Pompe secara blak-blakan, “Para hakim Mahkamah Agung menjadi lebih sadar politik, lebih memahami arti penting status, dan akibatnya, barangkali, lebih terbuka pada korupsi…,” kata peneliti asal Belanda yang karyanya berhasil memotret fenomena Mahkamah Agung dalam sejarah hukum Indonesia modern.

Hukumonline menghimpun sejumlah kasus yang menjerat hakim-hakim di puncak peradilan—yaitu Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi—sejak awal reformasi 1998. Jumlahnya memang tidak fantastis. Bahkan, jika ditambah dengan hakim-hakim yustisial yang bertugas di Mahkamah Agung pun hanya mencapai 10 nama dalam tabel di bawah ini.

Hukumonline.com

Namun, daftar ini akan bertambah enam kali lipat jika memasukkan hakim tingkat pertama, hakim tingkat banding, serta pegawai pengadilan yang terlibat korupsi di pengadilan. Laporan riset Indonesia Corruption Watch misalnya mencatat jajaran Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Negeri, Wakil Ketua Pengadilan Negeri, hingga Panitera juga terjerat korupsi. Belum lagi hakim-hakim ad hoc di pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang justru menerima suap untuk mengakali putusan kasus korupsi.

Tim Riset Hukumonline mencatat setidaknya ada 60 lebih jumlah tersangka dan terdakwa kasus korupsi oleh pejabat dan pegawai di pengadilan sejak tahun 2001. Apakah formula reformasi peradilan selama ini gagal? Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Dian ‘Tita’ Rositawati mengaku kesimpulannya tidak seburuk itu.

“Saya tidak akan mengatakan dengan mudah bahwa reformasi peradilan telah gagal,” kata Tita kepada Hukumonline.

Reformasi peradilan resmi dicanangkan sebagai program jangka panjang sejak diluncurkannya Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003. Tidak berhenti di situ, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 diluncurkan sebagai penyempurnaan. Mahkamah Agung terlihat berupaya dengan terencana untuk mempertajam arah dan langkah dalam mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Cetak biru versi terakhir dirancang untuk jangka waktu yang panjang yaitu 25 tahun.

Tita mengatakan reformasi peradilan pada dasarnya sudah berjalan sejak kepemimpinan Hakim Agung Bagir Manan. Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2003 adalah warisan yang sangat baik dan mulai menunjukkan hasilnya. “Tentu dibandingkan dengan sebelum reformasi telah banyak perubahan terjadi untuk mencegah praktik korupsi,” kata Tita.

Ia mencontohkan putusan sudah dapat diakses publik dan proses persidangan dapat diakses pencari keadilan secara elektronik, sehingga menekan peluang jual beli informasi. Rekrutmen hakim juga dinilai Tita membaik. Ia melihat lebih banyak hakim-hakim yang berintegritas di pengadilan. Sistem pengawasan internal oleh Badan Pengawasan dan eksternal oleh Komisi Yudisial juga berjalan. “Mungkin pengadilan adalah salah satu lembaga yang paling banyak pengawasnya dibanding lembaga lain,” ujarnya.

Lalu di mana letak masalahnya? Apakah gaya hidup hedonis menjadi penyebab korupsi bahkan oleh hakim? “Saya rasa kita harus mendefinisikan dulu apa yang dimaksud hedonis itu,” kata Bagir Manan saat diwawancara Hukumonline. Bagir adalah sosok yang berperan besar untuk memulai reformasi peradilan di masa kepemimpinannya.

Bagir keberatan jika memiliki barang bagus semisal tas dan aset harta disebut hedonis. “Pejabat dengan jenjang karier tertentu wajar punya pemasukan yang membuat dia punya harta. Saya kira bukan semacam itu yang perlu dimasalahkan,” kata Bagir. Di sisi lain, ia setuju bahwa tidak benar jika pejabat semacam hakim dan aparat penegak hukum memperlihatkan kekayaannya secara sengaja. Ia meyakini kepekaan atas kesenjangan sosial harusnya lebih tinggi dimiliki kalangan pejabat.

Pompe memang mengatakan perkara kekayaan semacam kendaraan sudah menjadi soal serius di kalangan hakim agung. Hanya pada era 50-an saja hakim agung yang bersepeda bisa diterima sebagai kearifan dan berwibawa. Gagasan tentang para hakim agung yang bersepeda sungguh tidak bisa diterima oleh kehidupan Indonesia modern.

“Para hakim agung saat ini umumnya berupaya keras untuk bisa mendapatkan mobil dinas….Sesekali ada hakim agung yang masih pergi pulang bekerja naik bus kota, tetapi hal tersebut harus dilakukan demikian rupa agar tidak sampai diketahui koleganya, atau bahkan diketahui sesama penumpang bus,” kata Pompe. Tentu saja soal hakim agung yang pergi pulang bekerja naik bus kota adalah temuan riset Pompe di tahum ‘90-an.

Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, mengatakan skandal korupsi bahkan sudah menjangkiti lembaga reformis seperti Mahkamah Konstitusi begitu dini. Mahkamah Konstitusi yang berdiri tahun 2003 mengalami gonjang-ganjing pertama dalam isu Hakim Konstitusi Muhammad Arsyad Sanusi tahun 2011.

Anak kandung Arsyad terbukti punya andil menjanjikan kemenangan perkara di Mahkamah Konstitusi. Arsyad dinilai Majelis Kehormatan Hakim terbukti melanggar kode etik meski tidak terlibat sama sekali. Arsyad memilih segera mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi.

“Hakim-hakim konstitusi yang bermasalah berkontribusi pada penurunan kepercayaan publik,” ujar Susi. Masalah yang ia maksud mulai mencolok sejak kasus korupsi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di tahun 2013. Akil terbukti menerima suap dalam perannya mengatur isi putusan sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah.

Kasus Akil bisa dikatakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia. Ia bahkan terbukti melakukan pencucian uang korupsinya itu mencapai ratusan miliar rupiah. Hukumonline mencatat di Indonesia belum pernah terjadi skandal hakim sekaligus Ketua pada puncak peradilan seperti Akil. Lebih dari itu, Akil tertangkap tangan pula. Perlu dicatat, Akil adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi.

Beberapa tahun kemudian, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang terjerat kasus korupsi pada 2017. Secara angka, jumlah skandal korupsi hakim konstitusi di sudah bersaing dengan hakim agung. Padahal Mahkamah Konstitusi baru berdiri di era reformasi dan baru mulai memasuki usia 20 tahun.

Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung 2012-2020 enggan menanggapi soal skandal terkini di Mahkamah Agung. “Soal sekretaris dan hakim agung yang ditahan saya tidak komentar dulu karena belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap tentang terbukti atau tidaknya,” kata Hatta.

Di Amerika Serikat pun Skandal Terjadi

Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Clarence Thomas belum lama ini terjerat skandal gratifikasi. Thomas awalnya dilaporkan untuk fasilitas perjalanan mewah dari pengusaha pendonor Partai Republik.

Gratifikasi itu ia dapat selama dua dekade sejak menjadi hakim agung. Laporan investigasi media massa ProPublica terus berkembang pada gratifikasi lainnya berupa penerimaan pembayaran biaya sekolah untuk cucunya dan transaksi jual beli mencurigakan dari pengusaha yang sama.

Perlu dicatat, sistem masa jabatan hakim agung di Amerika Serikat berlaku seumur hidup sejak diangkat. Thomas mulai menjabat pada tahun 1991 pada usia 43 tahun hingga kini. Pada saat itu, Thomas sudah diisukan punya skandal soal pelecehan seksual. Toh, ia tetap lolos uji kepatutan oleh parlemen Amerika Serikat dan menjabat hakim agung.

“Formula masa jabatan seumur hidup atau punya batas waktu tertentu tidak ada yang pasti bisa menghindarkan hakim dari perilaku koruptif,” kata Peneliti LeIP lainnya, Muhammad Tanziel ‘Azhe’ Aziezi kepada Hukumonline. Azhe menilai bahwa integritas hakim agung atau hakim konstitusi di puncak peradilan tidak bisa dikontrol dengan sistem masa jabatan. “Pelajaran dari Clarence Thomas adalah menyaring ketat sejak awal calon hakim agung. Periksa laporan harta kekayaannya dan integritasnya,” ujar Azhe mengusulkan.

Pendapat yang sama diungkapkan Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial, Binziad ‘Dafi’ Kadafi. Ia mengatakan, “Pengaturan soal masa jabatan itu berpengaruh besar untuk menghindari intervensi hakim, tapi itu bukan satu-satunya faktor masalahnya”. Dafi menilai apa yang dialami Clarence Thomas tidak lepas dari adanya kesempatan. Pengawasan di antara sesama hakim sendiri sangat dibutuhkan.

Baik Azhe maupun Dafi sepakat bahwa pola pembatasan masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia saat ini masih bisa diandalkan. Catatan penting justru diarahkan pada seleksi sosok yang akan mengisi jabatan penting tersebut.

Mengenai pola rekrutmen hakim termasuk hakim agung, Hatta memberi catatan menarik. “Tes calon hakim agung sebaiknya dilakukan oleh sebuah panitia seleksi yang tidak diragukan kemandirian dan objektivitasnya. Tidak perlu dibawa ke lembaga politik agar tidak ada beban bagi peserta calon hakim agung,” kata Hatta.

Hatta menilai soal rekrutmen calon hakim termasuk calon hakim agung memang perlu diperketat antara lain dalam tes kejiwaan.  Mengenai rekrutmen calon hakim agung ia menilai sebaiknya Komisi Yudisial lebih banyak berkoordinasi dengan Mahkamah Agung. “Karena yang paling tahu integritas dan kualitas para hakim karier adalah MA sebab sudah memantau perjalanan kariernya sejak masih hakim pada tingkat pertama,” ujarnya.

Tita menambahkan memperketat rekrutmen calon hakim agung termasuk pada laporan harta kekayaan. Namun, yang lebih penting memberantas korupsi di pengadilan juga harus mereformasi lembaga penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, kejaksaan, advokat. “Modus korupsi dalam perkara biasanya terjadi mulai dari hilir sampai hulu. Persoalan korupsi jelas bukan masalah yang unik di pengadilan saja, tapi juga terjadi di lembaga lain,” kata Tita.

Pengawalan Dunia Akademik juga Diperlukan

Azhe menilai dunia akademik yang paling tepat ikut menjaga kualitas dan integritas hakim agung dan hakim konstitusi. “Dunia akademik harus aktif meninjau kualitas putusan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Jadi, mereka merasa sedang diawasi oleh publik,” kata Azhe. Kritik akademik sangat diperlukan untuk menilai putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kritik dunia akademik ini dinilai yang paling tepat karena kerja hakim agung dan hakim konstitusi pada dasarnya di level filosofis dan teori hukum. Mahkamah Agung sebagai pengadilan atas penerapan hukum tidak lagi memeriksa fakta seperti pengadilan tingkat di bawahnya.

Oleh karena itu, kritik atas kualitas putusan hakim agung dan hakim konstitusi sangat tepat diberikan kalangan akademisi. Kritik itu pun tidak harus menunggu kasus-kasus besar. Kasus apa saja yang diputus Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus diberi penilaian.

“Artinya, Mahkamah Agung bisa menyusun penafsiran yang konsisten untuk mengadili pola perkara yang serupa,” ujar Azhe melanjutkan. Konsistensi itu sangat bernilai keilmuan hukum yang bisa dikaji serius oleh dunia akademik. Hal yang sama juga berlaku pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Catatan lain dari Azhe adalah perlunya memastikan pendidikan yang lebih serius bagi hakim karier yang kelak berpeluang menjadi hakim agung. “Tidak semua yang sudah masuk pendidikan dan latihan calon hakim harus lulus diterima jadi hakim. Sejak awal mereka harus disaring kualitasnya,” katanya.

Dafi melanjutkan hal lain yang penting adalah membangun sistem kerja internal dan eksternal peradilan yang baik. “Sistem kerja penyelesaian perkara harus akuntabel dan transparan agar mudah diawasi banyak pihak. Namun, soal masa jabatan hakim agung terbuka saja untuk didiskusikan,” kata Anggota Komisi Yudisial ini.

Usia pensiun hakim agung dan hakim konstitusi Indonesia saat ini adalah 70 tahun. Sejak diangkat, para hakim di puncak peradilan itu akan terus menjabat sampai pensiun atau berhenti karena alasan lain yang diatur undang-undang.

Lantas, apakah semua usulan langkah tadi bisa menjamin serial skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi bisa berhenti? Entahlah.

Tags:

Berita Terkait