Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Feature

Menanti Akhir Serial Skandal di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Sulit diprediksi. Sejak reformasi sama-sama sudah ada dua hakim agung dan dua hakim konstitusi menjadi pesakitan di Komisi Pembarantasan Korupsi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit

Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung 2012-2020 enggan menanggapi soal skandal terkini di Mahkamah Agung. “Soal sekretaris dan hakim agung yang ditahan saya tidak komentar dulu karena belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap tentang terbukti atau tidaknya,” kata Hatta.

Di Amerika Serikat pun Skandal Terjadi

Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Clarence Thomas belum lama ini terjerat skandal gratifikasi. Thomas awalnya dilaporkan untuk fasilitas perjalanan mewah dari pengusaha pendonor Partai Republik.

Gratifikasi itu ia dapat selama dua dekade sejak menjadi hakim agung. Laporan investigasi media massa ProPublica terus berkembang pada gratifikasi lainnya berupa penerimaan pembayaran biaya sekolah untuk cucunya dan transaksi jual beli mencurigakan dari pengusaha yang sama.

Perlu dicatat, sistem masa jabatan hakim agung di Amerika Serikat berlaku seumur hidup sejak diangkat. Thomas mulai menjabat pada tahun 1991 pada usia 43 tahun hingga kini. Pada saat itu, Thomas sudah diisukan punya skandal soal pelecehan seksual. Toh, ia tetap lolos uji kepatutan oleh parlemen Amerika Serikat dan menjabat hakim agung.

“Formula masa jabatan seumur hidup atau punya batas waktu tertentu tidak ada yang pasti bisa menghindarkan hakim dari perilaku koruptif,” kata Peneliti LeIP lainnya, Muhammad Tanziel ‘Azhe’ Aziezi kepada Hukumonline. Azhe menilai bahwa integritas hakim agung atau hakim konstitusi di puncak peradilan tidak bisa dikontrol dengan sistem masa jabatan. “Pelajaran dari Clarence Thomas adalah menyaring ketat sejak awal calon hakim agung. Periksa laporan harta kekayaannya dan integritasnya,” ujar Azhe mengusulkan.

Pendapat yang sama diungkapkan Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial, Binziad ‘Dafi’ Kadafi. Ia mengatakan, “Pengaturan soal masa jabatan itu berpengaruh besar untuk menghindari intervensi hakim, tapi itu bukan satu-satunya faktor masalahnya”. Dafi menilai apa yang dialami Clarence Thomas tidak lepas dari adanya kesempatan. Pengawasan di antara sesama hakim sendiri sangat dibutuhkan.

Baik Azhe maupun Dafi sepakat bahwa pola pembatasan masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia saat ini masih bisa diandalkan. Catatan penting justru diarahkan pada seleksi sosok yang akan mengisi jabatan penting tersebut.

Tags:

Berita Terkait