Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial
Fokus

Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial

Masyarakat etnis Cina kini bisa leluasa merayakan Tahun Baru Imlek. Namun, masih banyak peraturan yang berbau diskriminasi rasial terhadap orang Cina. Bahkan, disriminasi rasial ini juga dialami oleh "pahlawan" yang telah membela tanah airnya—Indonesia--dalam berbagai pertandingan internasional. Kini, sudah saatnya membuka belenggu diskriminasi rasial itu.

APr
Bacaan 2 Menit

Pembaruan hukum

Masyarakat etnis Cina tentu tidak hanya cukup dengan menikmati atraksi Barongsai atau bisa leluasa menggunakan bahasa Mandarin. Namun, yang lebih penting adalah hasrat agar belenggu diskriminasi dalam berbagai produk perundang-undangan itu diperbarui atau dicabut. Selama masih ada perundang-undangan yang diskriminatif, pelanggaran HAM masih tumbuh subur. Produk hukum yang otoriter dan represif sudah saatnya diganti dengan produk hukum yang menjunjung nilai-nilai keadilan, persamaan, kemanusiaan, dan HAM.

Komnas HAM menegaskan bahwa ketimpangan dalam pelaksanaan peraturan, seperti mengenai Catatan Sipil, akibat berlakunya peraturan perundang-undangan produk jaman penjajahan yang jiwanya memecah belah bangsa di dalamnya. Karena itu, sudah waktunya untuk merevisi peraturan mengenai catatan sipil dan melahirkan berbagai undang-undang antidiskriminasi. Rancangan UU itu diharapkan memiliki muatan materi yang berjiwa menghormati dan melindungi hak asasi warga negara untuk menggantikan ordonansi ciptaan kolonial yang lalu.

Kini, tidak ada lagi tempat bagi diskriminasi rasial. Pasalnya, PBB telah mengeluarkan pernyataan tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi, seperti dimaklumkan oleh Resolusi Sidang Umum No. 1904 pada 20 November 1963. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa tidak ada negara, kelompok atau individu yang boleh melakukan diskriminasi apapun dalam HAM dan kemerdekaan asalinya dalam memperlakukan perseorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan ras, warna kulit, atau asal etnik.

Karena itu, dalam Pasal 4 Resolusi itu ditegaskan bahwa semua negara harus mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memperbarui kebijakan-kebijakan pemerintah atau kebijakan publik yang lain. Selain itu, mencabut semua perundang-undangan atau peraturan yang mengakibatkan terciptanya atau melanggengkannya diskriminasi rasial di manapun adanya.

Bagi mereka yang mengalami tindak diskriminatif, seperti dialami Justian atau Hendrawan, sebenarnya dapat mengajukan gugatan. Pasalnya, dalam Resolusi  No.1904 Pasal 7(2) itu dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penyelesaian dan perlindungan atas tindak diskriminatif ataupun yang mungkin ia alami berdasarkan ras, warna kulit, ataupun asal etnik dengan memperhatikan hak-hak dan kemerdekaan asasinya melalui pengadilan nasional yang kompeten menangani hal-hal termaksud.

Soal kesetaraan hukum juga dijamin dalam pernyataan tentang hak-hak golongan minoritas dalam kebangsaan atau etnik, agama dan bahasa yang disahkan oleh Resolusi Sidang Umum No.47/135 pada 18 Desember 1992. Pada Pasal 4 (1) resolusi ini disebutkan, negara harus mengambil langkah yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa golongan minoritas dapat menjalankan HAM dan kemerdekaan asalinya secara penuh dan efektif tanpa diskriminasi apapun dan dengan kesetaraan penuh di hadapan umum.

Pengaturan diskriminasi rasial lebih jelas diatur dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Resolusi Sidang Umum nomor 2106 pada 21 Desember 1965 dan telah disahkan oleh 151 negara. Indonesia sendiri telah mengeluarkan UU No.29/1999 yang mengesahkan Konvensi ini.

Sebagai negara yang ikut mengesahkan Konvensi ini, Indonesia ikut bertanggung jawab untuk tidak melakukan tindakan atau praktek diskriminasi rasial apapun terhadap pribadi, kelompok, atau lembaga dan menjamin bahwa semua otoritas publik dan lembaga publik, nasional maupun lokal, akan tunduk pada kewajiban ini. Selain itu, harus menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yurisdiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial, serta hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi.

Pada Pasal 5 Konvensi dinyatakan bahwa negara penandatangan Konvensi mengambil kewajiban untuk melarang dan menghapuskan diskriminasi rasial dan menjamin hak tiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, kebangsaan atau etnis atas kesetaraan di muka hakim, Terutama, kesempatan menikmati hak-hak setara di hadapan pengadilan. Selain itu, juga kesetaraan dalam hak sipil, seperti hak untuk mendapatkan kewarganegaraan, hak untuk menikah dan memilih pasangan.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang antidiskriminatif ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hukum yang lebih efektif. Sehingga, dapat lebih menjamin hak-hak setiap warga negara untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi rasial, dalam segala bentuk dan manifestasinya. Tidak terkecuali, diskriminasi dalam pengurusan dokumen kewarganegaraan.

Saat ini, Pemerintah bersama DPR juga tengah menggodok RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Masalah yang banyak mendapat sorotan adalah ketentuan mengenai hak dari organisasi nonpemerintah (Ornop) untuk mengajukan gugatan ganti rugi akibat praktek diskriminasi ras dan etnis. Selain itu, apakah kewajiban warga negara untuk mencegah terjadinya praktek diskriminasi juga diikuti dengan sanksi bila kewajiban tersebut tidak dilakukan.

Dalam Pasal 15 RUU Penghapusan Diskriminasi memang diatur bahwa Ornop Anti Diskriminasi Ras dan Etnis berhak mengajukan gugatan untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk diskriminasi. Sementara itu, pasal sebelumnya-- Pasal 14--mengatur bahwa setiap orang yang menjadi korban diskriminasi berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan untuk menuntut ganti kerugian. Jika ketentuan ini diberlakukan, tentunya para pejabat tidak akan bisa main-main lagi membuat kebijakan atau program yang diskriminatif.

Lahirnya UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut bisa jadi momentum agar paradigma pribumi dan nonpribumi peninggalan Belanda dapat dihapuskan. Namun, berbagai peraturan--internasional maupun nasional--tidak ada tajinya, jika masih ada 'belenggu' di masyarakat yang mengobarkan semangat diskriminasi.

Karena itu, perlu ada energi kolektif dan kesadaran dari seluruh anak bangsa. Kesadaran dari masyarakat etnis Cina untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia seutuhnya. Kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat untuk bisa menerima etnis Cina dan etnis lainnya. Kesadaran untuk bebas lepas dari belenggu diskriminasi serta sikap untuk saling menyayangi antarsesama manusia.

 

Tags: