Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial
Fokus

Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial

Masyarakat etnis Cina kini bisa leluasa merayakan Tahun Baru Imlek. Namun, masih banyak peraturan yang berbau diskriminasi rasial terhadap orang Cina. Bahkan, disriminasi rasial ini juga dialami oleh "pahlawan" yang telah membela tanah airnya—Indonesia--dalam berbagai pertandingan internasional. Kini, sudah saatnya membuka belenggu diskriminasi rasial itu.

APr
Bacaan 2 Menit

Selama rezim Orba berkuasa, malah segala sesuatu yang bernuansa kebudayaan Cina haram hukumnya hidup Indonesia. Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 menegaskan bahwa segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat tidak boleh dilakukan secara terbuka. Inpres ini lahir sebagai buntut dari Gerakan 30 September/PKI, karena banyak warga keturunan Cina dianggap menyokong aktivitas PKI. Apalagi, pada akhir kepemimpinan Soekarno, hubungan antara Indonesia dan RRC begitu mesra, hingga tercipta Poros Jakarta-Beijing.

Karena itu, muncul kecurigaan masyarakat enis Cina di Indonesia masih memiliki ikatan kuat dan lebih loyal terhadap tanah leluhurnya. Lalu muncullah Tap MPRS No.32/1966 tentang pelarangan penggunaan bahasa dan aksara mandarin dalam media massa dan dalam nama toko atau perusahaan. Bukan hanya itu, malah ada Keputusan Presidium tentang prosedur penggantian nama keluarga Cina yang asli ke nama Indonesia.

Misalnya, konglomerat Soedono Salim--pendiri Grup Salim--itu bernama asli Liem Soei Liong. Begitu pula dengan konglomerat lainnya, seperti Eka Tjipta Widjaya, Prajogo Pangestu, atau Rachman Halim. Soeharto merangkul para taipan ini dengan memberikan berbagai fasilitas khusus. Pada akhirnya, kekayaan para taipan--yang hanya sedikit, tapi menguasai perekonomian nasional--kerap mengundang kecemberuan dari masyarakat pribumi. Bahkan, tidak sedikit yang mencuat menjadi isu "anti Cina".

Menjelang Soeharto lengser, Jakarta dan Solo dilanda lautan api. Toko milik Cina banyak yang dirusak dan dijarah. Karena itu, rumah dan toko yang ingin selamat lalu buru-buru menempel "asli pribumi". Selama kerusuhan sosial pada 12-14 Mei 1998 itu dikabarkan, puluhan wanita keturunan Cina menjadi sasaran perkosaan dan pelecehan seksual secara sistematis. Komnas HAM malah menyatakan, perkosaan terhadap wanita Cina tersebut dilakukan secara terorganisasi dan terkoordinasi.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No.26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi. Inpres ini keluar sebagai respons atas kerusuhan--terutama yang terjadi di Jakarta, Surakarta, dan Medan--yang bersumber pada berbagai bentuk diskriminasi rasial terhadap golongan Tionghoa. Inpres ini memberikan arahan agar pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warganegara.

Masyarakat Cina menyambut gembira ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 yang mencabut Inpres No14/1967. Sejak saat itu, atraksi Barongsai dan Liong ditampilkan dalam berbagai upacara, termasuk perayaan Imlek. Apalagi, setelah Presiden Megawati menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Masyarakat Cina pun kini bisa bebas mengungkapkan, "Gong Xi Fai Cai" (selamat tahun baru, semoga sejahtera).  Orang juga sudah bisa menikmati koran dan siaran TV berbahasa Mandarin.

Meskipun sudah ada kebijakan yang lebih manusiawi, belenggu diskriminasi terhadap masyarakat Cina belum dihapuskan sepenuhnya. Tampaknya, apa yang terjadi baru simbolik dan pada wilayah permukaan. Sementara di sisi lain, masyarakat Cina tetap memperoleh perlakuan-perlakuan "khusus" yang bertentangan dengan HAM, khususnya berkaitan dengan catatan sipil.

Tags: