Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial
Fokus

Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial

Masyarakat etnis Cina kini bisa leluasa merayakan Tahun Baru Imlek. Namun, masih banyak peraturan yang berbau diskriminasi rasial terhadap orang Cina. Bahkan, disriminasi rasial ini juga dialami oleh "pahlawan" yang telah membela tanah airnya—Indonesia--dalam berbagai pertandingan internasional. Kini, sudah saatnya membuka belenggu diskriminasi rasial itu.

APr
Bacaan 2 Menit

Tidak sejalan

Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebenarnya sudah beberapa kali menegaskan, Departemen Kehakiman dan HAM tidak akan lagi mengeluarkan SBKRI. Bahkan ketika rapat kerja dengan Komisi II DPR pada 10 Juni 2002, Yusril mengemukakan bahwa bukti kewarganegaraan itu cukup kartu tanda penduduk (KTP) dan akte kelahiran.

Akte lahir akan menjadi sumber dari pembuatan KTP. Pada akhirnya, akte lahir bisa menjadi surat keterangan kewarganegaraan. Konsep akte lahir menjadi sumber pembuatan KTP sudah menjadi bagian dari kerjasama antara Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dengan konsorsium RUU Catatan Sipil. Jadi kalau akte lahir sudah lengkap, mestinya tidak lagi diperlukan SBKRI maupun yang lainnya.

Namun, sering kali peraturan yang ada tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Contohnya, kasus pencatatan pernikahan Konghucu pada pasangan Charles-Suryawati dari Surabaya pada 2001. Akte pernikahan pasangan ini sampai saat ini tidak diberikan oleh KCS karena terbentur masalah "Konghucu bukan agama resmi negara".

Surat Edaran Mendagri No.477/75054 tahun 1978 memberikan petunjuk, untuk pengisian kolom agama pada KTP, hanya ada lima agama resmi di Indonesia. Padahal, Surat Edaran Mendagri ini telah dicabut dengan Surat Edaran Mendagri No.477/805 tahun 2002. Meskipun pedoman hanya lima agama tidak berlaku lagi, pada prakteknya birokrat punya alasan untuk tidak menjalankan surat edaran yang baru. Misalnya, karena belum ada petunjuk pelaksanaannya (juklak).

Begitupun dengan SBKRI yang masih menjadi momok bagi masyarakat Cina. Sesuai dengan UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan, SBKRI diperlukan, setidak-tidaknya untuk kontrol. Mereka yang telah turun temurun lahir dan tinggal di Indonesia, sampai sekarang tidak jelas kewarganegaraannya karena adanya peraturan yang dikriminatif. Bahkan, RUU tentang Kewarganegaraan untuk menggantikan UU No. 62/1958 juga masih mengatur bukti kewarganegaraan RI.

Padahal, keefektifan SKBRI telah dicabut melalui Keppres No.56 Tahun 1996. Presiden B.J. Habibie pun telah mengeluarkan Inpres No.4 Tahun 1999 yang menghapuskan SBKRI dan izin pelajaran Bahasa Mandarin. Sayangnya, Inpres tersebut selama ini tidak dilaksanakan. Buktinya, berbagai instansi tetap mensyaratkan SBKRI, seperti KCS, kelurahan, dan kantor imigrasi.

Dalam proses permohonan paspor saja, tetap mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-IZ.03.10 Tahun 1995 dan petunjuk pelaksanaan (Juklak) Dirjen Imigrasi No. F-458.IZ.03.02 Tahun 1997 yang mewajibkan SBKRI sebagai salah satu syarat penerbitan buku paspor. Boleh jadi, urusan SBKRI jadi alot karena menyangkut duit. Maklum, pengurusan SBKRI tergolong mahal, sehingga bisa jadi 'obyekan' yang lumayan.

Tags: