Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial
Fokus

Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial

Masyarakat etnis Cina kini bisa leluasa merayakan Tahun Baru Imlek. Namun, masih banyak peraturan yang berbau diskriminasi rasial terhadap orang Cina. Bahkan, disriminasi rasial ini juga dialami oleh "pahlawan" yang telah membela tanah airnya—Indonesia--dalam berbagai pertandingan internasional. Kini, sudah saatnya membuka belenggu diskriminasi rasial itu.

APr
Bacaan 2 Menit
Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial
Hukumonline

Justian Suhandinata mestinya bahagia karena akan menikahkan putranya. Ya, siapa orangtua yang tidak bahagia, anak kesayangannya akan menempuh hidup baru bersama pasangan pilihannya. Namun, mantan Presiden International Badminton Federation (IBF) justru pusing tujuh keliling. Soal tempat pernikahan  tidak ada masalah. Begitu pun soal undangan, busana pengantin, katering, dan persiapan lainnya sudah OK.

Lalu, apa masalahnya? Justian justru bingung dengan urusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia alias SBKRI. Ia hanya pasrah menghadapi petugas Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta Pusat, yang menyatakan SBKRI menjadi syarat mutlak pengurusan pencatatan perkawinan di KCS. Petugas KCS itu juga menyatakan, tidak akan melaksanakan pencatatan perkawinan selama tidak ada SBKRI. Akhirnya, tokoh bulutangkis itu pun mengemukakan 'unek-unek'-nya ke surat pembaca sebuah harian nasional.

Soelistyawati Soegondo, anggota Komnas HAM, mengaku kaget ketika dikonfirmasi soal kasus yang dihadapi Justian. "Saya baru dengar ini. Karena waktu saya melakukan penelitian di KCS di seluruh Jakarta, tidak pernah ada masalah SBKRI jadi syarat pencatatan," ucap Ketua Konsorsium RUU Catatan Sipil ini kepada hukumonline.

Lis--panggilan akrab Soelistywati Soegondo--berjanji akan melakukan pengecekan atas informasi ada KCS yang mensyaratkan SBKRI bagi pencatatan perkawinan. "Warga negara asing saja diterima kalau melakukan pencatatan, masa warga negara sendiri ditolak," cetusnya seraya menegaskan SBKRI tidak pernah menjadi syarat pencatatan perkawinan.

Bukan hanya Justian yang pernah dipusingkan dengan urusan SBKRI. Sebelumnya, Hendrawan, pebulutangkis andalan nasional, juga mengalami hal serupa. Menjelang persiapan ke Piala Thomas di Ghuangzou, China, pada Mei 2002, juara dunia tunggal putra tahun 2000 itu masih memikirkan pengurusan kewarganegaraan yang telah terkatung-katung sejak November 2001. Selain mempertanyakan rampungnya SBKRI-nya dan istrinya, Hendrawan juga mengungkapkan bahwa SBKRI kakak kandungnya yang sudah 20 tahun menunggu sampai kini belum selesai.

Hendrawan yang pernah menyumbangkan medali perak Olimpiade Sydney itu sempat mengemukakan keluhannya kepada Presiden Megawati. Ironis, ketika Sang Saka Merah Putih berkibar di Tianhe Gymnasium, China, Hendrawan--yang ikut jadi pahlawan untuk merebut kembali Piala Thomas ke bumi pertiwi--malah belum diakui sebagai warga negara Indonesia, karena dia keturunan Cina!

Akhirnya, setelah Presiden Megawati turun tangan langsung, barulah Hendrawan dan istrinya memperoleh SBKRI. Tampaknya, Hendrawan telah menjadi korban 'ketidakadilan' negara terhadap warganya. Ketidakadilan itu juga dialami oleh putra bangsa--pebulutangkis yang telah mengharumkan nama negara di pentas dunia--seperti Tong Sin Fu, Tan Joe Hock, Ivana Lie, dan Halim karena mereka keturunan Cina. Apalagi, terhadap mereka yang hanya "orang biasa" dan tidak memiliki prestasi apa-apa.

Tidak sejalan

Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebenarnya sudah beberapa kali menegaskan, Departemen Kehakiman dan HAM tidak akan lagi mengeluarkan SBKRI. Bahkan ketika rapat kerja dengan Komisi II DPR pada 10 Juni 2002, Yusril mengemukakan bahwa bukti kewarganegaraan itu cukup kartu tanda penduduk (KTP) dan akte kelahiran.

Akte lahir akan menjadi sumber dari pembuatan KTP. Pada akhirnya, akte lahir bisa menjadi surat keterangan kewarganegaraan. Konsep akte lahir menjadi sumber pembuatan KTP sudah menjadi bagian dari kerjasama antara Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dengan konsorsium RUU Catatan Sipil. Jadi kalau akte lahir sudah lengkap, mestinya tidak lagi diperlukan SBKRI maupun yang lainnya.

Namun, sering kali peraturan yang ada tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Contohnya, kasus pencatatan pernikahan Konghucu pada pasangan Charles-Suryawati dari Surabaya pada 2001. Akte pernikahan pasangan ini sampai saat ini tidak diberikan oleh KCS karena terbentur masalah "Konghucu bukan agama resmi negara".

Surat Edaran Mendagri No.477/75054 tahun 1978 memberikan petunjuk, untuk pengisian kolom agama pada KTP, hanya ada lima agama resmi di Indonesia. Padahal, Surat Edaran Mendagri ini telah dicabut dengan Surat Edaran Mendagri No.477/805 tahun 2002. Meskipun pedoman hanya lima agama tidak berlaku lagi, pada prakteknya birokrat punya alasan untuk tidak menjalankan surat edaran yang baru. Misalnya, karena belum ada petunjuk pelaksanaannya (juklak).

Begitupun dengan SBKRI yang masih menjadi momok bagi masyarakat Cina. Sesuai dengan UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan, SBKRI diperlukan, setidak-tidaknya untuk kontrol. Mereka yang telah turun temurun lahir dan tinggal di Indonesia, sampai sekarang tidak jelas kewarganegaraannya karena adanya peraturan yang dikriminatif. Bahkan, RUU tentang Kewarganegaraan untuk menggantikan UU No. 62/1958 juga masih mengatur bukti kewarganegaraan RI.

Padahal, keefektifan SKBRI telah dicabut melalui Keppres No.56 Tahun 1996. Presiden B.J. Habibie pun telah mengeluarkan Inpres No.4 Tahun 1999 yang menghapuskan SBKRI dan izin pelajaran Bahasa Mandarin. Sayangnya, Inpres tersebut selama ini tidak dilaksanakan. Buktinya, berbagai instansi tetap mensyaratkan SBKRI, seperti KCS, kelurahan, dan kantor imigrasi.

Dalam proses permohonan paspor saja, tetap mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01-IZ.03.10 Tahun 1995 dan petunjuk pelaksanaan (Juklak) Dirjen Imigrasi No. F-458.IZ.03.02 Tahun 1997 yang mewajibkan SBKRI sebagai salah satu syarat penerbitan buku paspor. Boleh jadi, urusan SBKRI jadi alot karena menyangkut duit. Maklum, pengurusan SBKRI tergolong mahal, sehingga bisa jadi 'obyekan' yang lumayan.

Melanggar HAM

Berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif ini jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Sesuai Pasal 1(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/1999, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengu­cilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan.

Lebih tegas dalam Konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan bahwa diskriminasi rasial merupakan pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal bangsa atau etnik yang bertujuan atau berdampak pada penihilan atau perusakan terhadap pengakuan, kesempatan menikmati atau melaksanakan, atas dasar kesetaraan, HAM dan kemerdekaan asali dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang-pidang kehidupan publik lainnya.

Pendeknya, diskriminasi rasial merupakan tindakan pembedaan yang bersifat illegal atas dasar ras, etnis, agama, dan kebudayaan, dan sebagainya. Diskriminasi rasial di Indonesia terdapat dalam perspektif vertikal, berupa pelestarian peraturan-peraturan hukum produk kolonial yang bersifat diskriminatif secara rasial serta penerapan peraturan-peraturan baru yang juga bersifat  diskriminatif secara rasial. Sementara dalam perspektif horizontal, masyarakat menjadi terpecah belah karena faktor kepentingan sosial politik dan ekonomi, sehingga menimbulkan rasa curiga dan bisa berujung pada konflik.

Menurut Esther Jusuf Purba, Ketua Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), ada sekitar 64 peraturan di Indonesia yang dikeluarkan sejak zaman Belanda  hingga sekarang yang membatasi dan membebani warganegaranya, terutama etnis Cina, dalam berbagai ruang hidup. Alasannya, sistem hukum dan perundangan di Indonesia masih menerapkan pembedaan status kewarganegaraan antarsektor dalam masyarakat.

Penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2001 ini melihat, politik dan budaya yang rasis hidup dan diterima sebagai sebuah kewajaran di negeri kita. Dan, hal itu dilegitimasi dengan berbagai perangkat hukum. Hukum rasis yang menjadi alat untuk pemerasan dipaksakan dengan dalih menggelikan, yaitu untuk melindungi. "Padahal, korban tahu persis bahwa penandaaan dengan SKBRI bukanlah senjata pelindung. SBKRI adalah jerat pemerasan," cetus Esther kepada hukumonline dalam sebuah perbincangan.

Esther termasuk sedikit dari mereka berjuang untuk menentang berbagai diskriminasi ras dan etnis. Ia meyakini, hal-hal yang diskriminatif masih akan tetap terjadi di masa datang, jika tidak dilakukan upaya konkret untuk menanggulanginya. "Sistem nilai diskriminatif yang tersistem dalam politik hukum ini merupakan kejahatan yang amat mengerikan. Namun, hal ini kerap tidak disadari oleh masyarakat," ungkapnya.

Membuka belenggu

Diskriminasi terhadap etnis Cina sebenarnya sudah berlangsung lama. Bahkan, sejak zaman kolonial Belanda. Sejak zaman Orde Lama, WNA keturunan Cina dilarang melakukan usaha di pedesaan Indonesia. Selain itu, ada peraturan yang melarang sekolah Cina, pembentukan kelompok kebudayaan atau ikatan usaha khusus Cina, serta pajangan berhuruf Cina.

Selama rezim Orba berkuasa, malah segala sesuatu yang bernuansa kebudayaan Cina haram hukumnya hidup Indonesia. Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 menegaskan bahwa segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat tidak boleh dilakukan secara terbuka. Inpres ini lahir sebagai buntut dari Gerakan 30 September/PKI, karena banyak warga keturunan Cina dianggap menyokong aktivitas PKI. Apalagi, pada akhir kepemimpinan Soekarno, hubungan antara Indonesia dan RRC begitu mesra, hingga tercipta Poros Jakarta-Beijing.

Karena itu, muncul kecurigaan masyarakat enis Cina di Indonesia masih memiliki ikatan kuat dan lebih loyal terhadap tanah leluhurnya. Lalu muncullah Tap MPRS No.32/1966 tentang pelarangan penggunaan bahasa dan aksara mandarin dalam media massa dan dalam nama toko atau perusahaan. Bukan hanya itu, malah ada Keputusan Presidium tentang prosedur penggantian nama keluarga Cina yang asli ke nama Indonesia.

Misalnya, konglomerat Soedono Salim--pendiri Grup Salim--itu bernama asli Liem Soei Liong. Begitu pula dengan konglomerat lainnya, seperti Eka Tjipta Widjaya, Prajogo Pangestu, atau Rachman Halim. Soeharto merangkul para taipan ini dengan memberikan berbagai fasilitas khusus. Pada akhirnya, kekayaan para taipan--yang hanya sedikit, tapi menguasai perekonomian nasional--kerap mengundang kecemberuan dari masyarakat pribumi. Bahkan, tidak sedikit yang mencuat menjadi isu "anti Cina".

Menjelang Soeharto lengser, Jakarta dan Solo dilanda lautan api. Toko milik Cina banyak yang dirusak dan dijarah. Karena itu, rumah dan toko yang ingin selamat lalu buru-buru menempel "asli pribumi". Selama kerusuhan sosial pada 12-14 Mei 1998 itu dikabarkan, puluhan wanita keturunan Cina menjadi sasaran perkosaan dan pelecehan seksual secara sistematis. Komnas HAM malah menyatakan, perkosaan terhadap wanita Cina tersebut dilakukan secara terorganisasi dan terkoordinasi.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No.26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi. Inpres ini keluar sebagai respons atas kerusuhan--terutama yang terjadi di Jakarta, Surakarta, dan Medan--yang bersumber pada berbagai bentuk diskriminasi rasial terhadap golongan Tionghoa. Inpres ini memberikan arahan agar pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warganegara.

Masyarakat Cina menyambut gembira ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 yang mencabut Inpres No14/1967. Sejak saat itu, atraksi Barongsai dan Liong ditampilkan dalam berbagai upacara, termasuk perayaan Imlek. Apalagi, setelah Presiden Megawati menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Masyarakat Cina pun kini bisa bebas mengungkapkan, "Gong Xi Fai Cai" (selamat tahun baru, semoga sejahtera).  Orang juga sudah bisa menikmati koran dan siaran TV berbahasa Mandarin.

Meskipun sudah ada kebijakan yang lebih manusiawi, belenggu diskriminasi terhadap masyarakat Cina belum dihapuskan sepenuhnya. Tampaknya, apa yang terjadi baru simbolik dan pada wilayah permukaan. Sementara di sisi lain, masyarakat Cina tetap memperoleh perlakuan-perlakuan "khusus" yang bertentangan dengan HAM, khususnya berkaitan dengan catatan sipil.

Pembaruan hukum

Masyarakat etnis Cina tentu tidak hanya cukup dengan menikmati atraksi Barongsai atau bisa leluasa menggunakan bahasa Mandarin. Namun, yang lebih penting adalah hasrat agar belenggu diskriminasi dalam berbagai produk perundang-undangan itu diperbarui atau dicabut. Selama masih ada perundang-undangan yang diskriminatif, pelanggaran HAM masih tumbuh subur. Produk hukum yang otoriter dan represif sudah saatnya diganti dengan produk hukum yang menjunjung nilai-nilai keadilan, persamaan, kemanusiaan, dan HAM.

Komnas HAM menegaskan bahwa ketimpangan dalam pelaksanaan peraturan, seperti mengenai Catatan Sipil, akibat berlakunya peraturan perundang-undangan produk jaman penjajahan yang jiwanya memecah belah bangsa di dalamnya. Karena itu, sudah waktunya untuk merevisi peraturan mengenai catatan sipil dan melahirkan berbagai undang-undang antidiskriminasi. Rancangan UU itu diharapkan memiliki muatan materi yang berjiwa menghormati dan melindungi hak asasi warga negara untuk menggantikan ordonansi ciptaan kolonial yang lalu.

Kini, tidak ada lagi tempat bagi diskriminasi rasial. Pasalnya, PBB telah mengeluarkan pernyataan tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi, seperti dimaklumkan oleh Resolusi Sidang Umum No. 1904 pada 20 November 1963. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa tidak ada negara, kelompok atau individu yang boleh melakukan diskriminasi apapun dalam HAM dan kemerdekaan asalinya dalam memperlakukan perseorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan ras, warna kulit, atau asal etnik.

Karena itu, dalam Pasal 4 Resolusi itu ditegaskan bahwa semua negara harus mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memperbarui kebijakan-kebijakan pemerintah atau kebijakan publik yang lain. Selain itu, mencabut semua perundang-undangan atau peraturan yang mengakibatkan terciptanya atau melanggengkannya diskriminasi rasial di manapun adanya.

Bagi mereka yang mengalami tindak diskriminatif, seperti dialami Justian atau Hendrawan, sebenarnya dapat mengajukan gugatan. Pasalnya, dalam Resolusi  No.1904 Pasal 7(2) itu dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan penyelesaian dan perlindungan atas tindak diskriminatif ataupun yang mungkin ia alami berdasarkan ras, warna kulit, ataupun asal etnik dengan memperhatikan hak-hak dan kemerdekaan asasinya melalui pengadilan nasional yang kompeten menangani hal-hal termaksud.

Soal kesetaraan hukum juga dijamin dalam pernyataan tentang hak-hak golongan minoritas dalam kebangsaan atau etnik, agama dan bahasa yang disahkan oleh Resolusi Sidang Umum No.47/135 pada 18 Desember 1992. Pada Pasal 4 (1) resolusi ini disebutkan, negara harus mengambil langkah yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa golongan minoritas dapat menjalankan HAM dan kemerdekaan asalinya secara penuh dan efektif tanpa diskriminasi apapun dan dengan kesetaraan penuh di hadapan umum.

Pengaturan diskriminasi rasial lebih jelas diatur dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Resolusi Sidang Umum nomor 2106 pada 21 Desember 1965 dan telah disahkan oleh 151 negara. Indonesia sendiri telah mengeluarkan UU No.29/1999 yang mengesahkan Konvensi ini.

Sebagai negara yang ikut mengesahkan Konvensi ini, Indonesia ikut bertanggung jawab untuk tidak melakukan tindakan atau praktek diskriminasi rasial apapun terhadap pribadi, kelompok, atau lembaga dan menjamin bahwa semua otoritas publik dan lembaga publik, nasional maupun lokal, akan tunduk pada kewajiban ini. Selain itu, harus menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yurisdiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial, serta hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi.

Pada Pasal 5 Konvensi dinyatakan bahwa negara penandatangan Konvensi mengambil kewajiban untuk melarang dan menghapuskan diskriminasi rasial dan menjamin hak tiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, kebangsaan atau etnis atas kesetaraan di muka hakim, Terutama, kesempatan menikmati hak-hak setara di hadapan pengadilan. Selain itu, juga kesetaraan dalam hak sipil, seperti hak untuk mendapatkan kewarganegaraan, hak untuk menikah dan memilih pasangan.

Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang antidiskriminatif ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hukum yang lebih efektif. Sehingga, dapat lebih menjamin hak-hak setiap warga negara untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi rasial, dalam segala bentuk dan manifestasinya. Tidak terkecuali, diskriminasi dalam pengurusan dokumen kewarganegaraan.

Saat ini, Pemerintah bersama DPR juga tengah menggodok RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Masalah yang banyak mendapat sorotan adalah ketentuan mengenai hak dari organisasi nonpemerintah (Ornop) untuk mengajukan gugatan ganti rugi akibat praktek diskriminasi ras dan etnis. Selain itu, apakah kewajiban warga negara untuk mencegah terjadinya praktek diskriminasi juga diikuti dengan sanksi bila kewajiban tersebut tidak dilakukan.

Dalam Pasal 15 RUU Penghapusan Diskriminasi memang diatur bahwa Ornop Anti Diskriminasi Ras dan Etnis berhak mengajukan gugatan untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk diskriminasi. Sementara itu, pasal sebelumnya-- Pasal 14--mengatur bahwa setiap orang yang menjadi korban diskriminasi berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan untuk menuntut ganti kerugian. Jika ketentuan ini diberlakukan, tentunya para pejabat tidak akan bisa main-main lagi membuat kebijakan atau program yang diskriminatif.

Lahirnya UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut bisa jadi momentum agar paradigma pribumi dan nonpribumi peninggalan Belanda dapat dihapuskan. Namun, berbagai peraturan--internasional maupun nasional--tidak ada tajinya, jika masih ada 'belenggu' di masyarakat yang mengobarkan semangat diskriminasi.

Karena itu, perlu ada energi kolektif dan kesadaran dari seluruh anak bangsa. Kesadaran dari masyarakat etnis Cina untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia seutuhnya. Kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat untuk bisa menerima etnis Cina dan etnis lainnya. Kesadaran untuk bebas lepas dari belenggu diskriminasi serta sikap untuk saling menyayangi antarsesama manusia.

 

Tags: