Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial
Fokus

Membuka Belenggu Diskriminasi Rasial

Masyarakat etnis Cina kini bisa leluasa merayakan Tahun Baru Imlek. Namun, masih banyak peraturan yang berbau diskriminasi rasial terhadap orang Cina. Bahkan, disriminasi rasial ini juga dialami oleh "pahlawan" yang telah membela tanah airnya—Indonesia--dalam berbagai pertandingan internasional. Kini, sudah saatnya membuka belenggu diskriminasi rasial itu.

APr
Bacaan 2 Menit

Melanggar HAM

Berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif ini jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Sesuai Pasal 1(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/1999, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengu­cilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan.

Lebih tegas dalam Konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan bahwa diskriminasi rasial merupakan pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal bangsa atau etnik yang bertujuan atau berdampak pada penihilan atau perusakan terhadap pengakuan, kesempatan menikmati atau melaksanakan, atas dasar kesetaraan, HAM dan kemerdekaan asali dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang-pidang kehidupan publik lainnya.

Pendeknya, diskriminasi rasial merupakan tindakan pembedaan yang bersifat illegal atas dasar ras, etnis, agama, dan kebudayaan, dan sebagainya. Diskriminasi rasial di Indonesia terdapat dalam perspektif vertikal, berupa pelestarian peraturan-peraturan hukum produk kolonial yang bersifat diskriminatif secara rasial serta penerapan peraturan-peraturan baru yang juga bersifat  diskriminatif secara rasial. Sementara dalam perspektif horizontal, masyarakat menjadi terpecah belah karena faktor kepentingan sosial politik dan ekonomi, sehingga menimbulkan rasa curiga dan bisa berujung pada konflik.

Menurut Esther Jusuf Purba, Ketua Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), ada sekitar 64 peraturan di Indonesia yang dikeluarkan sejak zaman Belanda  hingga sekarang yang membatasi dan membebani warganegaranya, terutama etnis Cina, dalam berbagai ruang hidup. Alasannya, sistem hukum dan perundangan di Indonesia masih menerapkan pembedaan status kewarganegaraan antarsektor dalam masyarakat.

Penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2001 ini melihat, politik dan budaya yang rasis hidup dan diterima sebagai sebuah kewajaran di negeri kita. Dan, hal itu dilegitimasi dengan berbagai perangkat hukum. Hukum rasis yang menjadi alat untuk pemerasan dipaksakan dengan dalih menggelikan, yaitu untuk melindungi. "Padahal, korban tahu persis bahwa penandaaan dengan SKBRI bukanlah senjata pelindung. SBKRI adalah jerat pemerasan," cetus Esther kepada hukumonline dalam sebuah perbincangan.

Esther termasuk sedikit dari mereka berjuang untuk menentang berbagai diskriminasi ras dan etnis. Ia meyakini, hal-hal yang diskriminatif masih akan tetap terjadi di masa datang, jika tidak dilakukan upaya konkret untuk menanggulanginya. "Sistem nilai diskriminatif yang tersistem dalam politik hukum ini merupakan kejahatan yang amat mengerikan. Namun, hal ini kerap tidak disadari oleh masyarakat," ungkapnya.

Membuka belenggu

Diskriminasi terhadap etnis Cina sebenarnya sudah berlangsung lama. Bahkan, sejak zaman kolonial Belanda. Sejak zaman Orde Lama, WNA keturunan Cina dilarang melakukan usaha di pedesaan Indonesia. Selain itu, ada peraturan yang melarang sekolah Cina, pembentukan kelompok kebudayaan atau ikatan usaha khusus Cina, serta pajangan berhuruf Cina.

Halaman Selanjutnya:
Tags: