Kisah di Balik Ketertarikan Profesor Indonesianis pada Hukum Indonesia
Utama

Kisah di Balik Ketertarikan Profesor Indonesianis pada Hukum Indonesia

Mulai dari datang ke Indonesia, ikut unjuk rasa saat reformasi, hingga menikah dengan orang Indonesia.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Secara jujur Tim mengaku ‘terbuang’ ke kelas Bahasa Indonesia karena beban studi Bahasa Prancis dan Bahasa Jerman tidak bisa ia sanggupi. Ia lalu kagum dengan guru bahasanya yang seorang campuran Rusia-Prancis namun sangat lancar berbahasa Indonesia. Dia mengatur semacam homestay di Indonesia. Saya masih berumur 14 tahun, dibawa ke Purwokerto. Itu pengalaman pertama saya di luar Australia dan dampaknya luar biasa,” tutur Tim. Tiga bulan di Purwokerto pada tahun 70an memberikan kesan mendalam baginya. Sepulang dari sana, saya sudah jatuh cinta dengan Indonesia, sampai sekarang saya seperti orang yang diinfeksi dengan ‘virus’ Indonesia, masih sakit sampai saat ini,” katanya tertawa. Tim kemudian memutuskan mengambil dua perkuliahan yaitu studi hukum dan studi Indonesia di University of Melbourne.

Ia tidak pernah merencanakan akan menjadi ahli hukum Indonesia. Pilihannya mengambil studi Indonesia di universitas semata-mata suka pada bahasa Indonesia. Saya seperti menempuh dua jalan saat kuliah, belum ada jembatan untuk keduanya saat itu,” ujar Tim. Selepas kuliah, ia berkarier di firma hukum Australia paling besar kala itu. Bahkan Tim masih mengantongi izin praktik Barrister & Solicitor hingga sekarang.

Sambil berprofesi lawyer, Tim justru melanjutkan studi Indonesia hingga doktor di kampus yang sama. Disertasinya tentang riwayat hidup seorang Skotlandia-Amerika yang diberi nama K’tut Tantri oleh Raja Bangli di Bali.  Ia juga pernah menjadi dosen paruh waktu untuk studi Indonesia.

Jalan hidupnya berubah total berkat ‘bujuk rayu’ Profesor Malcolm Smith, dosennya saat kuliah hukum.Dia mengajar saya dalam studi hukum Jepang. Dia pelopor studi hukum Asia di Australia, pendiri pusat kajian hukum Asia pertama di Australia,” Tim menjelaskan. Dosennya itu melihat Tim sebagai sosok yang tepat untuk merintis proyek kajian hukum Indonesia. “Dia menghubungi saya ke firma hukum, saya bilang tidak mau, saya tidak tertarik dengan sistem hukum Indonesia, lalu kami makan siang bersama dan akhirnya saya setuju,” kata Tim sambil tertawa. Dua dekade berlalu sejak makan siang itu, kini Tim menyandang gelar profesor bidang hukum Indonesia. Ia bahkan juga menjadi mentor bagi Simon Butt, profesor bidang hukum Indonesia lainnya di Australia.

Hukum Indonesia akhirnya menjadi jembatan antara dua jalan hidup saya. Saya praktisi hukum sekaligus akademisi,” Tim menambahkan. Sudah banyak buku dan karya ilmiah yang dihasilkannya tentang hukum Indonesia.

Tim juga kerap diminta sebagai ahli di persidangan luar negeri tentang sistem hukum Indonesia. Ia tidak mengira akan meninggalkan karier lawyer bidang hak kekayaan intelektual pada hukum Australia. Tim mengaku dirinya sudah tidak ingat lagi seluk beluk hukum Australia.

Ia menceritakan pengalaman lucu dengan anaknya yang sekarang juga kuliah hukum. Menurut Tim, anaknya lebih tahu tentang hukum Australia dibandingkan dirinya. Setiap dia bertanya, saya bilang tahu jawabannya kalau berdasarkan hukum Indonesia. Kalau hukum Australia saya sudah lupa,” kata Tim tergelak.

Tags:

Berita Terkait