Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi
Fokus

Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi

Perkembangan pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pertambangan yang mendorong dan memberikan kesempatan kepada modal swasta nasional dan asing. Kini, kebijakan pertambangan telah mengalami pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi.

APr
Bacaan 2 Menit

Sebagai konsekuensi desentralisasi dan dekonsentrasi pengalihan kewenangan pusat  ke daerah, fungsi pusat akan menjadi pengambil kebijakan dan regulator. Namun, agaknya pelaksanaan otonomi tidak berjalan mulus. Pasalnya, masih banyak daerah yang belum siap melaksanakan otonomi daerah.

Selain itu, ada kendala pelimpahanan kewenangan ke propinsi/kota masih kurang jelas. Apalagi untuk menangani hal-hal baru, khususnya menyangkut investasi asing. Di sisi lain, pusat juga masih kurang serius dalam mendukung desentralisasi. Hal ini terlihat dari kurangnya Peraturan Pelaksana (PP) yang menunjang otonomi daerah.

Otonomi daerah memang memberikan kesempatan bagi daerah untuk menggali potensi bagi kepentingan daerah dan masyarakatnya. Namun, jangan dilupakan otonomi daerah tetap harus diletakkan dalam kerangka kepentingan nasional.  Harus juga diperhatikan bahwa investasi pertambangan adalah investasi global, sehingga kepentingan investor asing harus diperhatikan.

Pemerintah daerah dapat memposisikan diri sebagai penyelenggara daerah. Pemda bisa memberikan panduan dan kebijakan, sehingga investor tidak lagi kebingungan. Dengan kebijakan yang menarik, tentunya diharapkan akan dapat meningkatkan penerimaan bagi daerah setempat. Pemerintah pusat dan asosiasi dan pakar pertambangan juga diharapkan kiprahnya terhadap berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh daerah. Selain untuk kepentingan daerah, hendaknya kebijakan ini masih berpihak bagi kepentingan nasional.

Masa depan KK

Status dan kedudukan KK sekarang menjadi persoalan sensitif dalam pengembangan eksplorasi pertambangan di Indonesia. Investor asing tentu berhitung jika otonomi daerah tidak dapat mengakomodasi kepentingan mereka. Kini, banyak investor khawatir dengan berlakunya otonomi daerah akan mengganngu kontrak karyanya. Apalagi kalau peraturan daerah mengharuskan perusahaan mengeluarkan dana tambahan untuk kepentingan daerah mereka menambang.

Akibatnya, banyak investor yang menunggu kepastian terhadap peraturan perundangan yasng baru untuk melaksanakan kontrak karya. Karena itu, banyak analis pertambangan menilai, KK bisa saja dihapus jika rambu-rambu di dalamnya hanya menambah persoalan pada pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat di kawasan pertambangan tersebut.

Investor juga mengharapkan masih adanya lex spesialis dalam KK. Lex spesialis merupakan negosiasi khusus bagi kepentingan eksplorasi di kawasan pertambangan, seperti masalah perpajakan. Repotnya, jika ada peraturan yang tidak menguntungkan, perusahaan pertambangan umum tidak mengindahkannya.

Potensi pertambangan di Indonesia sebenarnya sangat besar. Dalam RUU Pertambangan yang baru diharapkan akan lebih memikat investor dengan memberikan prasyarat agar iklim investasi pertambangan tetap menarik. Misalnya ada kepastian bahwa investor kontraknya dijamin berlanjut hingga selesai.

Dalam draf kontrak yang baru, ada yang mengusulkan pemerintah mengubah KK menjadi perjanjian usaha pertambangan. Kontrak tidak lagi ditandatangani oleh pemerintah pusat, melainkan dilaksanakan Badan Pelaksana Pusat dan Daerah. Kewenangan daerah untuk membuat perjanjian usaha pertambangan dengan calon investor asing di masa depan sangat besar.

Sementara itu, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengusulkan kata pengganti kontrak karya bukanlah perjanjian usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan, melainkan hak pengusahaan pertambangan karena konteksnya lebih ke pengelolaan.

Ada juga yang mengusulkan KK diselesaikan di tingkat daerah, sehingga memperpendek rantai birokrasi. Alasannya, jika tidak dilakukan di daerah, terlihat ada inkonsistensi untuk mendelegasikan secara langsung hak daerah dari kegiatan pertambangan umum sesuai dengan semangat otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Perusahaan pertambangan langsung berhubungan dengan Pemda. Dengan demikian, diharapkan Pemda pun memberikan apresiasi positif terhadap kegiatan pertambangan yang dilakukan di wilayahnya.

Jika menyangkut Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), masalah KK kemungkinan bisa diselesaikan di daerah. Namun jika menyangkut Penanaman Modal Asing (PMA), tetap menjadi kewenangan pusat. Hal ini sejalan dengan fungsi Badan Koordinasi penananam Modal (BKPM) di tingkat pusat sebagai pintu masuk kegiatan PMA atau investasi yang  lintas propinsi. Jika memang mau dipisahkan antara PMDN dan PMA, tentu saja harus ada koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih. Para pembuat kebijakan tentunya menyasari kebijakan pertambangan untuk dalam jangka panjang mengingat karakteristik bisnis pertambangan.

Rezim boleh berganti dan undang-undang juga direvisi, tetapi kuncinya tetap pada jaminan kepastian hukum.  Agar ada kepastian hukum, saat ini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM) masih menggodok  Keppres yang mengatur pelimpahan kewenangan kegiatan pertambangan pola KK dan PKP2B ke daerah.

Pelimpahan itu dilakukan secara bertahap mulai 1 Januari 2001 hingga daerah benar-benar dapat memahami dann melaksanakan sesuai dengan praktek internasional. Selain itu untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, DESDM juga telah melakukan penyusunan bahan masukan untuk RPP UU No.22/1999 dan menerbitkan pedoman teknis melalui keputusan menteri.

DESDM juga mengadakan penyuluhan di 14 titik wilayah di seluruh Indonesia. Penyuluhan ini menyangkut prospek pertambangan Indonesia dan kebijakan pendukungnya. Jangan sampai ada investor yang merasa dirugikan atau malah hengkang dari Indonesia karena tidak mendapatkan penjelasan mengenai kebijakan yang baru. Dalam sosialisasi ini, ada forum komunikasi antar stakeholders (pemerintah, pemerintah daerah, industri, dan masyarakat). Dengan sosialisasi ini, diharapkan ada saling pengertian dan tidak terjadi kesenjangan informasi antara pusat, daerah, dan para pelaku usaha pertambangan.

Indonesia memang memiliki prospek bisnis pertambangan yang cukup menarik. Namun, perkembangan bisnis pertambangan Indonesia di masa depan nampaknya akan banyak ditentukan oleh kebijakan di industri pertambangan. Kebijakan pertambangan hendaknya dirumuskan secara utuh dengan berbagai peraturan pendukungnya yang mengakomodasikan berbagai aspek pengusahaan pertambangan. Dengan demikian, bisa memberikan manfaat bagi negara dan rakyat serta menghindari perlakuan diskriminatif terhadap pelaku usaha pertambangan.

Tags: