Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi
Fokus

Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi

Perkembangan pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pertambangan yang mendorong dan memberikan kesempatan kepada modal swasta nasional dan asing. Kini, kebijakan pertambangan telah mengalami pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi.

APr
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi
Hukumonline

Peraturan dasar yang mengatur usaha pertambangan di Indonesia adalah UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No11/1967. Dalam UU Pertambangan dinyatakan bahwa segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UU Pokok Pertambangan membagi bahan galian menjadi tiga golongan. Pertama, bahan galian golongan A atau strategis, seperti migas, batubara, dan timah. Kedua, bahan galian golongan B atau vital, seperti emas, tembaga, intan. Ketiga, bahan galian golongan C atau bukan strategis dan bukan pula vital, seperti batu granit dan pasir.

Pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk bahan galian strategis dan vital dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan. Sementara untuk bahan galian yang strategis dan tidak vital dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

Usaha pertambangan ini dapat meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan.  Usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perorangan berdasarkan Kuasa Pertambangan (KP) yang diberikan dengan surat keputusan menteri.

Sementara usaha pertambangan bahan galian yang tidak tergolong strategis maupun vital dapat dilakukan dengan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD). Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral dapat menunjuk swasta nasional atau swasta asing untuk melaksanakan  pekerjaan yang belum atau tidak dapat ditangani sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara pemegang KP.

Selama ini, telah beredar pengertian yang keliru tentang status KP dan Kontrak Karya (KK). Seolah-olah KK hanya boleh dimiliki oleh perusahaan asing, sedangkan KP dimiliki oleh perusahaan dalam negeri. Akibat salah pengertian tentang status kepemilikan investasi KK dan KP ini, pelaku pertambangan lokal kerap tersisih atau berada pada posisi marjinal.

Pasang surut investasi di pertambangan amat ditentukan oleh kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu,modal asing dalam industri pertambangan juga bergantung kepada kebijakan peraturan pendukungnya. Investor asing tentu tidak mau mempertaruhkan modalnya dengan sia-sia. Pasalnya, investasi di pertambangan membutuhkan modal besar, teknologi tinggi, serta risiko yang amat besar.

Saat ini, industri pertambangan Indonesia sedang suram. Banyak investor asing yang menunda kegiatan operasinya. Bahkan, beberapa di antaranya menyatakan mundur dari Indonesia. Mereka merasa beberapa kebijakan di sektor pertambangan tumpang tindih dengan kebijakan di sektor lain, sehingga tidak menjamin kepastian usaha.

Salah satu kebijakan yang dianggap kontraproduktif adalah UU Kehutanan No. 1/1999 yang melarang beroperasinya penambangan umum di kawasan hutan lindung. Repotnya, UU Kehutanan ini dikeluarkan setelah konsesi penambangan dibagi-bagi. Padahal, banyak perusahaan pertambangan yang terlambat mengetahui karena UU Kehutanan tidak disosialisasikan dengan baik ke perusahaan pertambangan

Mendung menggantung di bisnis pertambangan nasional juga karena berbagai kondisi yang kurang kondusif, seperti  beberapa daerah yang tidak aman,maraknya pungutan liar, demonstrasi dari masyarakat, serta makin merebaknya kegiatan penambangan tanpa izin (peti). Apalagi pada era reformasi ini, tuntutan masyarakat lokal juga makin bergema.

Masa emas

Tiga bulan setelah terbitnya UU Penanaman Modal Asing, pada April 1967 Freeport adalah pemodal asing pertama yang masuk ke Indonesia. Setelah itu, pada kurun 1968 masuk 16 pertambangan luar negeri, seperti Inco, Bliton Mij, Alcoa, Kennecott, dan US Steel. Saat itu, Kontrak Karya (KK) sebagai produk hukum pertambangan sudah diterima kalangan pertambangan internasional.

Dalam KK, pemerintah bertindak mewakili negara sebagai law endorcement. Selama ini, kehadiran pemerintah sebagai pemegang saham oleh perusahaan tambang asing digunakan sebagai jaminan stabilitas. KK pertambangan memuat ketentuan yang lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan "5a Contract" pada zaman Hindia Belanda.

KK pertambangan memberikan hak kepada kontraktor untuk melaksanakan usahanya sejak tahap survei, eksplorasi, eksplorasi, sampai dengan tahap eksploitasi, pengolahan, sampai ke penjualan hasil usahanya. Jadi, tidak ada pemisahan antara tahap praproduksi dan tahap operasi produksi.

KK pertambangan juga memuat ketentuan mengenai keuangan dan perpajakan selama jangka waktu berlakunya kontrak. Selain itu, pemerintah juga memberikan lex spesialis  pada KK Pertambangan. Dengan demikian, ketentuan ataupun kesepakatan yang telah tercantum dalam kontrak tidak akan berubah karena berganti-gantinya peraturan perundang-undangan yang berlaku umum. Investor merasa ada kepastian hukum bagi usahanya.. Jaminan kepastian hukum ini penting karena usaha pertambangan memerlukan modal besar dan beresiko tinggi.

Sejak 1967 hingga sekarang, sudah ada delapan generasi pertambangan. Meskipun kebijakan keuangan dan perpajakan berganti-ganti, tidak mempengaruhi ketentuan dalam KK yang telah ditandatangani atau disepakati pemerintah. Perubahan ini menghasilkan KK Pertambangan generasi berikutnya yang memuat perpajakan dan rezim keuangan yang disesuaikan dengan perkembangan kebijakan baru pemerintah.

Mulai 1981 hingga 1995,  penanaman modal asing (PMA) di pertambangan batubara tidak berlaku lagi KK pertambangan, tetapi Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batubara (KKS Batubara) yang kemudian berganti menjadi Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan (PKP2B). Jika dalam KK Pertambangan yang menjadi principal adalah pemerintah, maka dalam KKS Batubara dan PKP2B yang menjadi principal adalah perusahaan tambang batubara negara selaku pemegang Kuasa Pertambangan. KKS Batubara pun telah diterima dunia pertambangan internasional.

Pada dekade 1990-an, Indonesia pun masuk dalam deretan utama pertambangan internasional. Indonesia tercatat sebagai produsen timah nomor dua dunia, penghasil nikel nomor lima dunia, penghasil emas nomor sembilan dunia. Bahkan, Freeport Indonesia tercatat sebagai penghasil tembaga nomor dua terbesar di dunia. Namun, sebenarnya belum semua potensi pertambangan Indonesia sudah dikelola secara optimal. Sebagai contoh, Pulau Sulawesi dengan luas 189.216 km2 dengan potensi mineral yang besar, baru sedikit perusahaan tambang yang beroperasi.

Dari sentralisasi ke desentralisasi

Sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma. Paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.

Pembahasan otonomi daerah dan peraturan pendukungnya tidak terlepas dari sistem politik yang ada. Pakar hukum tata negara Moh. Mahfud  MD dalam "Pergulatan Politik dan Hukum Indonesia" melihat bahwa permasalahan konfigurasi hukum dalam suatu rezim akan melatarbelakangi semua produk hukum yang dikeluarkannya selama berkuasa, khususnya yang mengatur permasalahan tata negara dan hukum publik.  Sebenarnya, UU Pertambangan muncul pada saat konfigurasi politik demokratis yang memiliki karakter responsif atau populistik.

Pada awal pemerintahannya (1966-1971), sistem politik Orde Baru masih demokratis yang memberikan peluang desentralisasi. Namun, sejak 1971 hingga tumbangnya rezim Soeharto, sistem politiknya otoriter yang memiliki karakter ortodoks. Sejak 1998, konfigurasi politik Indonesia kembali menuju demokratis. Indonesia membuka lembaran baru dengan memberikan kewenangan dan kemungkinan pengembangan inisiatif daerah yang sebesar-besarnya dalam kerangka negara kesatuan.

Dalam sistem negara kesatuan, masalah desentralisasi menjadi amat berpengaruh atas otonomi daerah yang diberlakukan. Pembicaraan desentralisasi akan selalu terkait dengan sentralisasi karena keduanya berkesinambungan. Pasalnya, hampir tidak ada satu negara yang semata-mata menganut sentralisasi. Sebaliknya, tidak mungkin hanya dilaksanakan desentralisasi tanpa sentralisasi.

Menurut pakar administrasi negara Bhenyamin Hoessein, desentralisasi sendiri mempunyai dua pengertian. Pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonomi dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Kedua, desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.  Definisi kedua inilah yang dipakai sebagai definisi desentralisasi pada UU Pemerintahan Daerah. Perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah. Dengan kata lain, desentralisasi akan selalu terkait dengan otonomi daerah.

UU No. 22 199 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan perkembangan mendasar terhadap kebijakan pertambangan nasional. Sentralisasi makin tidak populer dan berganti menjadi desentralisasi. Semangat kedua UU ini ini dalam pendayagunaan sumberdaya mineral adalah pendelegasian kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan dan perimbangan yang lebih jelas dan wajar atas penerimaan negara antara pusat dan daerah.

Masyarakat tempat operasional tambang berada tentu berharap bahwa investasi di wilayahnya akan memberikan keuntungan langsung dan dirasakan manfaatnya oleh daerah dan rakyat. Karena selama ini,  daerah dan masyarakat tempat lokasi penambangan tidak mendapatkan hak-haknya. Justru kebanyakan masyarakat hanya menjadi penonton dari aktivitas penambangan dan sering menerima dampak lingkungan dari operasi pertambangan. Pada era reformasi dan euforia otonomi, tuntutan masyarakat akan otonomi dan perimbangan keuangan makin kencang.

Otonomi daerah merupakan landasan tambahan bagi penyusunan kebijakan pertambangan nasional, terutama jika dikaitkan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebelum adanya UU No.25/1999, sudah ada iuran pertambangan berupa iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (land-rent) bumi yang dibagihasilkan ke daerah.  Sesuai dengan PP No.32/1969, bagian pemerintah pusat 30% dan daerah 70% dari total iuran pertambangan. Bahkan berdasarkan PP No.79/1992, bagian porsi daerah menjadi 80%. Perinciannya, propinsi 16% dan daerah tingkat II 64%.

Dalam UU No.25/1999, pembagiannya tidak jauh berbeda, tetapi royalty dan land-rent dipisahkan. Selain itu, ada perbedaan pendapatan antara propinsi dan kabupaten atau kota. Untuk iuran tetap, pembagiannya 20% untuk pusat, 16% untuk kabupaten/kota propinsi, dan 64% untuk kapupaten atau kota penghasil. Sementara untuk royalty, pembagiannya 20% untuk pusat, 16% untuk kabupaten/kota propinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan kabupaten/kota lain dalam propinsi.

Daerah pun berlomba menjaring investor dan menggali sumber pendapatan dengan mengeluarkan berbagai Peraturan Daerah (Perda). Sayangnya, banyak Perda menyangkut pajak daerah yang justru memberatkan perusahaan pertambangan. PT Newmont Minahasa Raya menjadi korban adanya ketentuan pajak pengerukan tanah galian yang tidak sesuai dengan kontrak kerja.  Kontrak karya yang diakui oleh internasional dan mempunyai dasar hukum lebih tinggi dikalahkan oleh Perda.

Kewenangan daerah sebenarnya tidak mencakup seluruh sektor dan karenanya tidak dapat mengambil kebijakan sebebas-bebasnya. Dalam Pasal 7 UU No 22/1999 disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama, yang tetap dipegang oleh pusat. Selain itu, pusat juga tetap berwenang membuat kebijakan perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi dan lembaga perekonomian negara, pemberdayaan sumberdaya manusia, serta pendayagunaan sumberdaya alam.

Sebagai konsekuensi desentralisasi dan dekonsentrasi pengalihan kewenangan pusat  ke daerah, fungsi pusat akan menjadi pengambil kebijakan dan regulator. Namun, agaknya pelaksanaan otonomi tidak berjalan mulus. Pasalnya, masih banyak daerah yang belum siap melaksanakan otonomi daerah.

Selain itu, ada kendala pelimpahanan kewenangan ke propinsi/kota masih kurang jelas. Apalagi untuk menangani hal-hal baru, khususnya menyangkut investasi asing. Di sisi lain, pusat juga masih kurang serius dalam mendukung desentralisasi. Hal ini terlihat dari kurangnya Peraturan Pelaksana (PP) yang menunjang otonomi daerah.

Otonomi daerah memang memberikan kesempatan bagi daerah untuk menggali potensi bagi kepentingan daerah dan masyarakatnya. Namun, jangan dilupakan otonomi daerah tetap harus diletakkan dalam kerangka kepentingan nasional.  Harus juga diperhatikan bahwa investasi pertambangan adalah investasi global, sehingga kepentingan investor asing harus diperhatikan.

Pemerintah daerah dapat memposisikan diri sebagai penyelenggara daerah. Pemda bisa memberikan panduan dan kebijakan, sehingga investor tidak lagi kebingungan. Dengan kebijakan yang menarik, tentunya diharapkan akan dapat meningkatkan penerimaan bagi daerah setempat. Pemerintah pusat dan asosiasi dan pakar pertambangan juga diharapkan kiprahnya terhadap berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh daerah. Selain untuk kepentingan daerah, hendaknya kebijakan ini masih berpihak bagi kepentingan nasional.

Masa depan KK

Status dan kedudukan KK sekarang menjadi persoalan sensitif dalam pengembangan eksplorasi pertambangan di Indonesia. Investor asing tentu berhitung jika otonomi daerah tidak dapat mengakomodasi kepentingan mereka. Kini, banyak investor khawatir dengan berlakunya otonomi daerah akan mengganngu kontrak karyanya. Apalagi kalau peraturan daerah mengharuskan perusahaan mengeluarkan dana tambahan untuk kepentingan daerah mereka menambang.

Akibatnya, banyak investor yang menunggu kepastian terhadap peraturan perundangan yasng baru untuk melaksanakan kontrak karya. Karena itu, banyak analis pertambangan menilai, KK bisa saja dihapus jika rambu-rambu di dalamnya hanya menambah persoalan pada pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat di kawasan pertambangan tersebut.

Investor juga mengharapkan masih adanya lex spesialis dalam KK. Lex spesialis merupakan negosiasi khusus bagi kepentingan eksplorasi di kawasan pertambangan, seperti masalah perpajakan. Repotnya, jika ada peraturan yang tidak menguntungkan, perusahaan pertambangan umum tidak mengindahkannya.

Potensi pertambangan di Indonesia sebenarnya sangat besar. Dalam RUU Pertambangan yang baru diharapkan akan lebih memikat investor dengan memberikan prasyarat agar iklim investasi pertambangan tetap menarik. Misalnya ada kepastian bahwa investor kontraknya dijamin berlanjut hingga selesai.

Dalam draf kontrak yang baru, ada yang mengusulkan pemerintah mengubah KK menjadi perjanjian usaha pertambangan. Kontrak tidak lagi ditandatangani oleh pemerintah pusat, melainkan dilaksanakan Badan Pelaksana Pusat dan Daerah. Kewenangan daerah untuk membuat perjanjian usaha pertambangan dengan calon investor asing di masa depan sangat besar.

Sementara itu, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengusulkan kata pengganti kontrak karya bukanlah perjanjian usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan, melainkan hak pengusahaan pertambangan karena konteksnya lebih ke pengelolaan.

Ada juga yang mengusulkan KK diselesaikan di tingkat daerah, sehingga memperpendek rantai birokrasi. Alasannya, jika tidak dilakukan di daerah, terlihat ada inkonsistensi untuk mendelegasikan secara langsung hak daerah dari kegiatan pertambangan umum sesuai dengan semangat otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Perusahaan pertambangan langsung berhubungan dengan Pemda. Dengan demikian, diharapkan Pemda pun memberikan apresiasi positif terhadap kegiatan pertambangan yang dilakukan di wilayahnya.

Jika menyangkut Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), masalah KK kemungkinan bisa diselesaikan di daerah. Namun jika menyangkut Penanaman Modal Asing (PMA), tetap menjadi kewenangan pusat. Hal ini sejalan dengan fungsi Badan Koordinasi penananam Modal (BKPM) di tingkat pusat sebagai pintu masuk kegiatan PMA atau investasi yang  lintas propinsi. Jika memang mau dipisahkan antara PMDN dan PMA, tentu saja harus ada koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih. Para pembuat kebijakan tentunya menyasari kebijakan pertambangan untuk dalam jangka panjang mengingat karakteristik bisnis pertambangan.

Rezim boleh berganti dan undang-undang juga direvisi, tetapi kuncinya tetap pada jaminan kepastian hukum.  Agar ada kepastian hukum, saat ini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM) masih menggodok  Keppres yang mengatur pelimpahan kewenangan kegiatan pertambangan pola KK dan PKP2B ke daerah.

Pelimpahan itu dilakukan secara bertahap mulai 1 Januari 2001 hingga daerah benar-benar dapat memahami dann melaksanakan sesuai dengan praktek internasional. Selain itu untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, DESDM juga telah melakukan penyusunan bahan masukan untuk RPP UU No.22/1999 dan menerbitkan pedoman teknis melalui keputusan menteri.

DESDM juga mengadakan penyuluhan di 14 titik wilayah di seluruh Indonesia. Penyuluhan ini menyangkut prospek pertambangan Indonesia dan kebijakan pendukungnya. Jangan sampai ada investor yang merasa dirugikan atau malah hengkang dari Indonesia karena tidak mendapatkan penjelasan mengenai kebijakan yang baru. Dalam sosialisasi ini, ada forum komunikasi antar stakeholders (pemerintah, pemerintah daerah, industri, dan masyarakat). Dengan sosialisasi ini, diharapkan ada saling pengertian dan tidak terjadi kesenjangan informasi antara pusat, daerah, dan para pelaku usaha pertambangan.

Indonesia memang memiliki prospek bisnis pertambangan yang cukup menarik. Namun, perkembangan bisnis pertambangan Indonesia di masa depan nampaknya akan banyak ditentukan oleh kebijakan di industri pertambangan. Kebijakan pertambangan hendaknya dirumuskan secara utuh dengan berbagai peraturan pendukungnya yang mengakomodasikan berbagai aspek pengusahaan pertambangan. Dengan demikian, bisa memberikan manfaat bagi negara dan rakyat serta menghindari perlakuan diskriminatif terhadap pelaku usaha pertambangan.

Tags: