Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi
Fokus

Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi

Perkembangan pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pertambangan yang mendorong dan memberikan kesempatan kepada modal swasta nasional dan asing. Kini, kebijakan pertambangan telah mengalami pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi.

APr
Bacaan 2 Menit

Menurut pakar administrasi negara Bhenyamin Hoessein, desentralisasi sendiri mempunyai dua pengertian. Pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonomi dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Kedua, desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.  Definisi kedua inilah yang dipakai sebagai definisi desentralisasi pada UU Pemerintahan Daerah. Perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah. Dengan kata lain, desentralisasi akan selalu terkait dengan otonomi daerah.

UU No. 22 199 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan perkembangan mendasar terhadap kebijakan pertambangan nasional. Sentralisasi makin tidak populer dan berganti menjadi desentralisasi. Semangat kedua UU ini ini dalam pendayagunaan sumberdaya mineral adalah pendelegasian kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan dan perimbangan yang lebih jelas dan wajar atas penerimaan negara antara pusat dan daerah.

Masyarakat tempat operasional tambang berada tentu berharap bahwa investasi di wilayahnya akan memberikan keuntungan langsung dan dirasakan manfaatnya oleh daerah dan rakyat. Karena selama ini,  daerah dan masyarakat tempat lokasi penambangan tidak mendapatkan hak-haknya. Justru kebanyakan masyarakat hanya menjadi penonton dari aktivitas penambangan dan sering menerima dampak lingkungan dari operasi pertambangan. Pada era reformasi dan euforia otonomi, tuntutan masyarakat akan otonomi dan perimbangan keuangan makin kencang.

Otonomi daerah merupakan landasan tambahan bagi penyusunan kebijakan pertambangan nasional, terutama jika dikaitkan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebelum adanya UU No.25/1999, sudah ada iuran pertambangan berupa iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (land-rent) bumi yang dibagihasilkan ke daerah.  Sesuai dengan PP No.32/1969, bagian pemerintah pusat 30% dan daerah 70% dari total iuran pertambangan. Bahkan berdasarkan PP No.79/1992, bagian porsi daerah menjadi 80%. Perinciannya, propinsi 16% dan daerah tingkat II 64%.

Dalam UU No.25/1999, pembagiannya tidak jauh berbeda, tetapi royalty dan land-rent dipisahkan. Selain itu, ada perbedaan pendapatan antara propinsi dan kabupaten atau kota. Untuk iuran tetap, pembagiannya 20% untuk pusat, 16% untuk kabupaten/kota propinsi, dan 64% untuk kapupaten atau kota penghasil. Sementara untuk royalty, pembagiannya 20% untuk pusat, 16% untuk kabupaten/kota propinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan kabupaten/kota lain dalam propinsi.

Daerah pun berlomba menjaring investor dan menggali sumber pendapatan dengan mengeluarkan berbagai Peraturan Daerah (Perda). Sayangnya, banyak Perda menyangkut pajak daerah yang justru memberatkan perusahaan pertambangan. PT Newmont Minahasa Raya menjadi korban adanya ketentuan pajak pengerukan tanah galian yang tidak sesuai dengan kontrak kerja.  Kontrak karya yang diakui oleh internasional dan mempunyai dasar hukum lebih tinggi dikalahkan oleh Perda.

Kewenangan daerah sebenarnya tidak mencakup seluruh sektor dan karenanya tidak dapat mengambil kebijakan sebebas-bebasnya. Dalam Pasal 7 UU No 22/1999 disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama, yang tetap dipegang oleh pusat. Selain itu, pusat juga tetap berwenang membuat kebijakan perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi dan lembaga perekonomian negara, pemberdayaan sumberdaya manusia, serta pendayagunaan sumberdaya alam.

Tags: