Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi
Fokus

Kebijakan Pertambangan: dari Sentralisasi ke Desentralisasi

Perkembangan pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan pertambangan yang mendorong dan memberikan kesempatan kepada modal swasta nasional dan asing. Kini, kebijakan pertambangan telah mengalami pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi.

APr
Bacaan 2 Menit

Sejak 1967 hingga sekarang, sudah ada delapan generasi pertambangan. Meskipun kebijakan keuangan dan perpajakan berganti-ganti, tidak mempengaruhi ketentuan dalam KK yang telah ditandatangani atau disepakati pemerintah. Perubahan ini menghasilkan KK Pertambangan generasi berikutnya yang memuat perpajakan dan rezim keuangan yang disesuaikan dengan perkembangan kebijakan baru pemerintah.

Mulai 1981 hingga 1995,  penanaman modal asing (PMA) di pertambangan batubara tidak berlaku lagi KK pertambangan, tetapi Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batubara (KKS Batubara) yang kemudian berganti menjadi Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan (PKP2B). Jika dalam KK Pertambangan yang menjadi principal adalah pemerintah, maka dalam KKS Batubara dan PKP2B yang menjadi principal adalah perusahaan tambang batubara negara selaku pemegang Kuasa Pertambangan. KKS Batubara pun telah diterima dunia pertambangan internasional.

Pada dekade 1990-an, Indonesia pun masuk dalam deretan utama pertambangan internasional. Indonesia tercatat sebagai produsen timah nomor dua dunia, penghasil nikel nomor lima dunia, penghasil emas nomor sembilan dunia. Bahkan, Freeport Indonesia tercatat sebagai penghasil tembaga nomor dua terbesar di dunia. Namun, sebenarnya belum semua potensi pertambangan Indonesia sudah dikelola secara optimal. Sebagai contoh, Pulau Sulawesi dengan luas 189.216 km2 dengan potensi mineral yang besar, baru sedikit perusahaan tambang yang beroperasi.

Dari sentralisasi ke desentralisasi

Sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma. Paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah.

Pembahasan otonomi daerah dan peraturan pendukungnya tidak terlepas dari sistem politik yang ada. Pakar hukum tata negara Moh. Mahfud  MD dalam "Pergulatan Politik dan Hukum Indonesia" melihat bahwa permasalahan konfigurasi hukum dalam suatu rezim akan melatarbelakangi semua produk hukum yang dikeluarkannya selama berkuasa, khususnya yang mengatur permasalahan tata negara dan hukum publik.  Sebenarnya, UU Pertambangan muncul pada saat konfigurasi politik demokratis yang memiliki karakter responsif atau populistik.

Pada awal pemerintahannya (1966-1971), sistem politik Orde Baru masih demokratis yang memberikan peluang desentralisasi. Namun, sejak 1971 hingga tumbangnya rezim Soeharto, sistem politiknya otoriter yang memiliki karakter ortodoks. Sejak 1998, konfigurasi politik Indonesia kembali menuju demokratis. Indonesia membuka lembaran baru dengan memberikan kewenangan dan kemungkinan pengembangan inisiatif daerah yang sebesar-besarnya dalam kerangka negara kesatuan.

Dalam sistem negara kesatuan, masalah desentralisasi menjadi amat berpengaruh atas otonomi daerah yang diberlakukan. Pembicaraan desentralisasi akan selalu terkait dengan sentralisasi karena keduanya berkesinambungan. Pasalnya, hampir tidak ada satu negara yang semata-mata menganut sentralisasi. Sebaliknya, tidak mungkin hanya dilaksanakan desentralisasi tanpa sentralisasi.

Tags: