Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia
Terbaru

Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia

Diadakan untuk pertama kali setelah vakum selama sepuluh tahun, pengangkatan sumpah penerjemah tersumpah pada 2022 juga diharapkan menjadi regenerasi profesi penerjemah tersumpah.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 10 Menit

 

Menjadi Seorang Penerjemah Tersumpah

Baik Evand, Andika, dan Sarah sepakat, syarat utama seorang penerjemah tersumpah, adalah menguasai bahasa sumber dan sasaran.

 

“UKP sangat perlu untuk penyaringan. Arah bahasa dibagi menjadi satu arah, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa asing dan sebaliknya. Tidak serta merta boleh menerjemahkan dua arah, harus dinyatakan qualified dengan sertifikasi,” ujar Andika.

 

Sebagai seorang pengajar, dalam pandangan Evand, penerjemah harus ‘setia’ terhadap kata-kata dan struktur kalimat yang sedang dialihbahasakan. Ada banyak istilah—terutama hukum—yang harus diketahui dan tidak dapat diterjemahkan begitu saja. Di sinilah kreativitas, juga ketelitian seorang penerjemah tersumpah dibutuhkan. Tidak boleh ada detail yang hilang dari teks asal dan maknanya.

 

“Penerjemahan teks hukum itu lebih rigid. Ada karakteristik yang berbeda antara ragam bahasa hukum yang kaku dan panjang. Keterbacaannya juga sangat rendah, apalagi untuk orang yang tidak sering terpapar teks hukum. Ini sebabnya, hasil terjemahan penerjemah tersumpah sering kali dijadikan pegangan hakim di pengadilan,” Evand melanjutkan.

 

Kedua, meski tidak harus berlatar pendidikan hukum, seorang penerjemah tersumpah harus memiliki pengetahuan hukum yang memadai. Setiap negara memiliki perbedaan sistem hukum—di mana terminologi dan padanannya bisa saja berbeda makna. Penguasaan ini haruslah baik, sebab 90% pekerjaan penerjemah adalah menerjemahkan teks hukum, atau teks yang memiliki kekuatan hukum.  

“Salah besar bagi yang berpikir bahwa kalau seseorang sudah mahir bahasa Inggris atau pernah lama tinggal di luar negeri, maka otomatis dia bisa menjadi penerjemah lisan (interpreter), penerjemah tulisan (translator), atau penerjemah tersumpah (sworn translator). Tidak semudah itu, setiap jenis penerjemahan baik lisan maupun tulisan memerlukan ketrampilan dan kreativitas yang berbeda-beda yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan kualitas penerjemahan yang baik,” tegas Sarah.

 

Penerjemah Tersumpah Pasca-Apostille

Hukumonline.com

Haru Deliana Dewi, Sarah Budiman, Grace J. Wiradisastra, Andika Wijaya. Foto: istimewa.

 

Sejak diluncurkannya Apostille, para penerjemah tersumpah lama—yang dahulu disumpah oleh gubernur—wajib melaporkan diri dan mengikuti program penyetaraan. Program penyetaraan ini berfungsi untuk pembaruan database di Kemenkumham, mengingat banyak pula penerjemah yang belum diketahui keberadaannya. Dengan kata lain, permohonan Apostille tanpa menggunakan jasa penerjemah tersumpah (yang terdaftar), akan ditolak.

 

“Melalui Apostille, pemerintah ingin merapikan sistem. Karena dahulu, hal ini tidak ada yang mengurus. Ada yang orangnya sudah meninggal, lalu capnya masih berkeliaran, atau diambil alih oleh istri, anak, atau pihak lain,” Evand menerangkan.

 

Penerjemah tersumpah juga memiliki kewajiban untuk melaporkan diri selama satu tahun sekali. Jika tidak melapor, namanya tidak akan tercatat, dan dianggap tidak lagi berhak menjadi penerjemah tersumpah. Adapun diadakan untuk pertama kali setelah vakum selama sepuluh tahun, pengangkatan sumpah penerjemah tersumpah pada 2022 juga diharapkan menjadi regenerasi profesi penerjemah tersumpah.

 

“Kemenkumham sebenarnya tidak ada dalam posisi memaksa. Pada dasarnya penerjemahan ini diserahkan ke klien. Tidak semua dokumen harus diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah. Namun, jika ada keperluan dokumen publik/korporasi yang sifatnya perjanjian; akta notaris/perusahaan yang sifatnya dwibahasa—penerjemah tersumpah dianggap lebih berkualifikasi karena spesialisasinya memang di dokumen hukum,” pungkas Evand.

 

Tags: