Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia
Terbaru

Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia

Diadakan untuk pertama kali setelah vakum selama sepuluh tahun, pengangkatan sumpah penerjemah tersumpah pada 2022 juga diharapkan menjadi regenerasi profesi penerjemah tersumpah.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 10 Menit

 

Terjadi perubahan teknis penyumpahan pascaterbitnya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ada pemisahan kekuasaan eksekutif dan kehakiman (yudikatif) yang kemudian menggeser mekanisme penyumpahan yang sebelumnya dilakukan di hadapan pengadilan menjadi kepala daerah. Teknis ini yang kemudian dilakukan hingga terbitnya Permenkumham 29/2016.

 

Penerjemah yang dapat disumpah, adalah mereka yang lulus Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bahasa Internasional FIB Universitas Indonesia dan Pemda Provinsi DKI Jakarta, dengan rentang nilai 80-100. Jika sudah memenuhi syarat tersebut, Gubernur DKI Jakarta akan mengambil sumpah dan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan.  

 

Namun, bukan hanya DKI Jakarta, pada saat itu, pengangkatan serupa dilakukan juga di Surabaya oleh Gubernur Jawa Timur. Evand menjelaskan, mengingat kewenangan pemerintah provinsi atau gubernur sifatnya sektoral, maka seorang penerjemah tersumpah hanya dapat digunakan jasanya dalam lingkup wilayahnya (tempat ia diambil sumpah). Di sisi lain, sejumlah kajian pun dilakukan baik oleh pemprov maupun Ditjen AHU Kemenkumham. Hasilnya, ditemukan bahwa (1) pengangkatan dan penyumpahan adalah ranah dari eksekutif; (2) ada dasar hukum yang sama dalam hal penyumpahan di Jakarta dan Surabaya, yaitu Staatsblad 1859 Nomor 69 dan Staatsblad 1894 Nomor 16 tentang Para Penerjemah.

 

Hasil temuan tersebut mengakibatkan pemerintah mulai berbenah. Dampaknya, profesi ini berada dalam status quo. Tidak ada lagi penerjemah tersumpah baru sejak 2011 hingga dikeluarkannya permenkumham pada 2016. Pada saat permenkumham keluar, itu pun hanya mengatur syarat teknis.

 

“Ketika permenkumham keluar lagi pada 2019, pemerintah menyadari bahwa proses ‘merapikan’ tidak semudah itu. Jika dahulu syarat penerjemah tersumpah hanya mengikuti UKP yang dimandatkan Pemprov DKI ke UI, ternyata saat diambil alih oleh Kemenkumham, ada banyak instansi terkait. Jadi, Kemenkumham butuh mempersiapkan komponen apa saja yang harus ada jika pengaturan tentang UKP dan penyumpahan ada di tataran nasional. Misalnya, setelah diketahui ternyata Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) terlibat, maka harus juga melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan,” Evand menambahkan.

 

Dari 2016 hingga 2019, Kemenkumham rupanya melihat ada banyak kelemahan. Diperlukan persiapan yang cukup panjang, sehingga prosesi penyumpahan baru dapat dilakukan pada 2022. Selama masa kekosongan tersebut, klien tetap dapat menggunakan jasa penerjemah tersumpah yang sudah ada (disumpah oleh gubernur) atau jasa penerjemah yang belum tersumpah. Untuk yang belum, dalam proses legalisasi dokumen hukum yang akan diserahkan ke negara, kekuatan hukum bisa didapatkan dengan meminta cap dari notaris.

 

Pada 2021, dimandatkanlah UI melalui LBI FIB UI untuk menggelar witnessing (ujian uji coba penerjemah tersumpah). Witnessing diselenggarakan guna mengukur kesiapan UI sebagai penyelenggara UKP. Enam orang yang telah mengikuti kelas penerjemahan teks hukum sampai tingkat advance di UI dan Atmajaya kemudian diundang untuk mengikuti witnessing. “UI ditunjuk karena dianggap sebagai lembaga yang sudah siap. Namun, meski UI yang ditunjuk, sebenarnya untuk soal, penyelenggaraan, dan teknis lainnya juga melibatkan banyak pihak, termasuk beberapa universitas di Indonesia dan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Dari situ, UI kemudian dinyatakan siap,” kata Perwakilan Penyelenggara UKP UI, Aloysius Andika Wijaya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: