Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia
Terbaru

Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia

Diadakan untuk pertama kali setelah vakum selama sepuluh tahun, pengangkatan sumpah penerjemah tersumpah pada 2022 juga diharapkan menjadi regenerasi profesi penerjemah tersumpah.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 10 Menit
Grace J. Wiradisastra, Evand Halim, dan Sarah Budiman saat Pengangkatan dan Pengambilan Sumpah/Janji Penerjemah Tersumpah di Gedung Direktorat Jenderal AHU Kemenkumham, 5 Oktober 2022. Foto: istimewa.
Grace J. Wiradisastra, Evand Halim, dan Sarah Budiman saat Pengangkatan dan Pengambilan Sumpah/Janji Penerjemah Tersumpah di Gedung Direktorat Jenderal AHU Kemenkumham, 5 Oktober 2022. Foto: istimewa.

Telah ada sejak zaman kolonial, profesi penerjemah tersumpah (sworn translator) dibutuhkan untuk menjamin legalitas—dalam hal ini penerjemahan sejumlah dokumen yang nantinya akan diserahkan ke negara/instansi pemerintah.

 

Definisi penerjemah tersumpah sendiri telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah (Permenkumham 29/2016) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah (Permenkumham 4/2019). Ia adalah orang atau individu yang mempunyai keahlian dalam menghasilkan terjemahan, yang telah diangkat sumpah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dan terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

 

Penerjemah tersumpah senior sekaligus pengajar Legal Translation Course di Universitas Atmajaya, Evand Halim mengungkapkan, terjemahan suatu dokumen hanya dapat mengikat dan memiliki kekuatan hukum jika dilakukan oleh seorang penerjemah yang disumpah di hadapan pejabat berwenang. Dengan kata lain, ia adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara, tetapi tidak menerima upah dari negara.

 

Setidaknya, terdapat 66 jenis dokumen publik yang harus diterjemahkan oleh seorang penerjemah tersumpah. Ketentuan ini juga ditegaskan, lewat peluncuran layanan Apostille oleh Ditjen AHU Kemenkumham pada Juni 2022. Dokumen tersebut dapat dilihat di sini.

 

Sempat Vakum karena Kekosongan Hukum

Terbitnya Permenkumham 29/2016 menjadi titik awal diakuinya profesi pemerintah tersumpah oleh pemerintah pusat. Mulanya, pada permenkumham tersebut, hanya diatur syarat para calon penerjemah tersumpah, sementara teknis penyelenggaraan UKP maupun standar kualifikasi diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi, Kemenristek Dikti, dan asosiasi profesi.

 

Evand menjelaskan, sejak 2011 ada kekosongan hukum dalam layanan pengangkatan dan penyumpahan yang mengakibatkan tidak adanya penerjemah tersumpah baru. Hal ini karena sebelum Permenkumham 29/2016, landasan hukum profesi ini masih mengacu pada Staatsblad 1859 Nomor 69 tentang Sumpah Para Penerjemah dan Staatsblad 1894 Nomor 16 tentang Para Penerjemah.

 

Merunut jauh sebelum Permenkumham 29/2016, pengambilan sumpah dilakukan oleh Secretary Van Justitie hingga Indonesia merdeka. Pascamerdeka, pengambilan sumpah lalu dilakukan di hadapan pengadilan oleh Kementerian Kehakiman dan hal tersebut baru dapat dilakukan ketika ada permohonan.

 

Terjadi perubahan teknis penyumpahan pascaterbitnya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ada pemisahan kekuasaan eksekutif dan kehakiman (yudikatif) yang kemudian menggeser mekanisme penyumpahan yang sebelumnya dilakukan di hadapan pengadilan menjadi kepala daerah. Teknis ini yang kemudian dilakukan hingga terbitnya Permenkumham 29/2016.

 

Penerjemah yang dapat disumpah, adalah mereka yang lulus Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bahasa Internasional FIB Universitas Indonesia dan Pemda Provinsi DKI Jakarta, dengan rentang nilai 80-100. Jika sudah memenuhi syarat tersebut, Gubernur DKI Jakarta akan mengambil sumpah dan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan.  

 

Namun, bukan hanya DKI Jakarta, pada saat itu, pengangkatan serupa dilakukan juga di Surabaya oleh Gubernur Jawa Timur. Evand menjelaskan, mengingat kewenangan pemerintah provinsi atau gubernur sifatnya sektoral, maka seorang penerjemah tersumpah hanya dapat digunakan jasanya dalam lingkup wilayahnya (tempat ia diambil sumpah). Di sisi lain, sejumlah kajian pun dilakukan baik oleh pemprov maupun Ditjen AHU Kemenkumham. Hasilnya, ditemukan bahwa (1) pengangkatan dan penyumpahan adalah ranah dari eksekutif; (2) ada dasar hukum yang sama dalam hal penyumpahan di Jakarta dan Surabaya, yaitu Staatsblad 1859 Nomor 69 dan Staatsblad 1894 Nomor 16 tentang Para Penerjemah.

 

Hasil temuan tersebut mengakibatkan pemerintah mulai berbenah. Dampaknya, profesi ini berada dalam status quo. Tidak ada lagi penerjemah tersumpah baru sejak 2011 hingga dikeluarkannya permenkumham pada 2016. Pada saat permenkumham keluar, itu pun hanya mengatur syarat teknis.

 

“Ketika permenkumham keluar lagi pada 2019, pemerintah menyadari bahwa proses ‘merapikan’ tidak semudah itu. Jika dahulu syarat penerjemah tersumpah hanya mengikuti UKP yang dimandatkan Pemprov DKI ke UI, ternyata saat diambil alih oleh Kemenkumham, ada banyak instansi terkait. Jadi, Kemenkumham butuh mempersiapkan komponen apa saja yang harus ada jika pengaturan tentang UKP dan penyumpahan ada di tataran nasional. Misalnya, setelah diketahui ternyata Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) terlibat, maka harus juga melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan,” Evand menambahkan.

 

Dari 2016 hingga 2019, Kemenkumham rupanya melihat ada banyak kelemahan. Diperlukan persiapan yang cukup panjang, sehingga prosesi penyumpahan baru dapat dilakukan pada 2022. Selama masa kekosongan tersebut, klien tetap dapat menggunakan jasa penerjemah tersumpah yang sudah ada (disumpah oleh gubernur) atau jasa penerjemah yang belum tersumpah. Untuk yang belum, dalam proses legalisasi dokumen hukum yang akan diserahkan ke negara, kekuatan hukum bisa didapatkan dengan meminta cap dari notaris.

 

Pada 2021, dimandatkanlah UI melalui LBI FIB UI untuk menggelar witnessing (ujian uji coba penerjemah tersumpah). Witnessing diselenggarakan guna mengukur kesiapan UI sebagai penyelenggara UKP. Enam orang yang telah mengikuti kelas penerjemahan teks hukum sampai tingkat advance di UI dan Atmajaya kemudian diundang untuk mengikuti witnessing. “UI ditunjuk karena dianggap sebagai lembaga yang sudah siap. Namun, meski UI yang ditunjuk, sebenarnya untuk soal, penyelenggaraan, dan teknis lainnya juga melibatkan banyak pihak, termasuk beberapa universitas di Indonesia dan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Dari situ, UI kemudian dinyatakan siap,” kata Perwakilan Penyelenggara UKP UI, Aloysius Andika Wijaya.

 

Menurut Andika, nantinya UI tidak menjadi satu-satunya penyelenggara UKP. Sebagai gambaran, ada dua metode penyelenggaraan UKP: offline yang diwajibkan untuk peserta dari Jabodetabek; dan online untuk mengakomodasi calon penerjemah tersumpah di luar Jabodetabek. Andika menerangkan, bagi mereka yang mengikuti UKP secara online, wajib menginstal sebuah aplikasi yang secara teknis akan memblokir jaringan internet di luar pengerjaan tes. Sebab, sama seperti offline, aturannya sama: tidak boleh menggunakan perangkat elektronik dan internet. Hanya kamus dan catatan fisik.

 

Merujuk pada penjelasan Evand dan Andika, mereka yang ingin mengikuti UKP dapat memilih dua jalur, yaitu profesi dan pendidikan. Jalur profesi berlaku untuk umum, sementara, jalur pendidikan (Pra-UKP) dapat diikuti oleh mereka yang sebelumnya telah mengikuti kelas penerjemahan teks hukum selama 120 jam. Jalur pendidikan ini dibuat mengingat tidak semua orang pernah memiliki pengalaman menerjemahkan teks hukum.

 

“Yang telah dipelajari selama Pra-UKP ini dapat diibaratkan sebagai portofolio yang dianggap setara dengan pengalaman jalur profesi (karena peserta tidak memiliki pengalaman profesional menerjemahkan teks hukum),” ujar Evand.

 

Perjalanan Menjadi Penerjemah Tersumpah

Menurut Sarah Budiman—penerjemah tersumpah Indonesia-Inggris yang baru disumpah tahun ini; juga satu-satunya peserta undangan yang lulus witnessing—penerjemah tersumpah merupakan profesi yang dibutuhkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, tak seperti notaris maupun advokat yang sama-sama diangkat sumpahnya, seorang penerjemah tersumpah tidak harus memiliki latar belakang atau kuliah hukum.

 

Sarah, yang kini bekerja di salah satu firma hukum terbesar Jakarta, mengawali kariernya sebagai asisten guru bahasa Inggris di sebuah lembaga bahasa di Jakarta. Di sana ia bertemu Leonard Kibble, kepala lembaga bahasa tersebut, yang mendorong Sarah untuk mengikuti CELTA—sebuah program sertifikasi mengajar bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh Cambridge University dan berlaku internasional.

 

Sarah kemudian mengenal dunia linguistik ketika bertemu dengan Uri Tadmor yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Jakarta Field Station dari Max Planck Institute of Evolutionary Anthropology–Department of Linguistics. Uri mengajak Sarah untuk bergabung dan memberi kesempatan untuk terlibat dalam beberapa proyek penelitian bahasa seperti loan words, akuisisi bahasa anak, dan bahasa-bahasa di Kalimantan yang hampir punah. Dari situ, Sarah seperti merasa mendapatkan ‘mainan baru’ dan menyadari bahwa begitu banyak yang bisa dieksplorasi dalam bidang ini.

 

Pengalamannya berlanjut ketika Sarah diberi kesempatan oleh Oscar Motuloh, Mantan Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara untuk menerjemahkan berbagai macam publikasi, mulai dari photo captions, buku-buku terkait sejarah bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan, artikel jurnalistik, sampai buku-buku seni fotografi. Sarah menyadari ternyata banyak sekali jenis penerjemahan dan masing-masingnya memerlukan sentuhan berbeda-beda dari si penerjemah.  

 

Sarah melanjutkan kariernya dengan bekerja di salah satu pabrik sepatu terbesar di Indonesia milik Mr. C.K. Song, yang juga menjabat sebagai Chairman of Korean Chamber of Commerce di Indonesia, yang mempercayai Sarah untuk menangani divisi komunikasi dan legal. Pekerjaannya membuat Sarah harus banyak membaca dan mempelajari teks hukum, serta kerap diminta untuk menerjemahkannya. Sarah pun sering merangkap menjadi interpreter di beberapa acara Korean Chamber. Mr. Song melihat antusiasme Sarah dan menyarankan untuk mempelajari lebih dalam dunia penerjemahan. Sarah pun mengikuti saran mentornya tersebut dan mulai mencari tahu di mana tempat belajar ilmu penerjemahan.

 

Sarah ambil inisiatif: mengikuti kelas penerjemahan di dua tempat dalam waktu bersamaan, yaitu Universitas Atmajaya dan UI. Di Atmajaya, Sarah mengambil kelas penerjemahan teks hukum yang diajar oleh Evand Halim; sementara, di UI, Sarah mengambil kelas penerjemahan teks umum seperti sastra, jurnalistik, akademik, dan pidato, di mana ia berkesempatan mengenal beberapa pengajar andal seperti Penerjemah Tersumpah Senior, Grace Wiradisastra dan Dosen FIB UI Haru Deliana Dewi, yang merupakan satu-satunya lulusan Ph.D. di Bidang Translation Studies di Indonesia. Sarah pun sering diberikan kesempatan oleh Haru untuk membantu menerjemahkan teks akademik dan selalu mendapatkan feedback konstruktif yang semakin mengasah keahliannya menerjemahkan.

 

Untuk mempertajam kemampuan penerjemahan teks hukum, Sarah memberanikan diri untuk melamar menjadi tenaga magang di Hukumonline. Sarah diberi kesempatan oleh Ahadi Bayu Tejo dan Robert Sidauruk untuk menjadi penerjemah di Hukumonline. Sarah mengingat, itu adalah pertama kali ia mendapat kesempatan untuk menerjemahkan dokumen hukum dan merupakan sebuah pengalaman berharga di mana Sarah bisa menerapkan ilmu yang didapat dari Evand secara nyata.

 

“Setelah dari Hukumonline, saya bekerja di law firm. Di sini saya memang tidak banyak mengerjakan penerjemahan, tetapi saya diberi banyak kesempatan untuk membaca dan lebih mengenal istilah-istilah hukum, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Tanpa saya sadari, ternyata ini juga menjadi bekal saya ketika mengikuti ujian witnessing,” ungkap Sarah. “Awalnya saya merasa ragu untuk ikut ujian karena semenjak Hukumonline, saya tidak banyak menerjemahkan teks hukum. Ditambah lagi, pada saat ujian, semua peserta hanya boleh membawa kamus fisik dan catatan, dan tidak diperbolehkan menggunakan electronic gadget atau internet, waduh panik duluan!”   

 

Haru dan Andikalah yang mendorong Sarah untuk tetap ikut ujian. “Andika bilang, ‘You’ve got nothing to lose! Ini kesempatan sekali seumur hidup. Kalau lulus kan bisa langsung disumpah, kalau nggak lulus, paling tidak punya gambaran UKP itu seperti apa’,” kenang Sarah.

 

Mengutip filsuf Seneca, Sarah berprinsip Luck is what happens when preparation meets opportunity’. “Yang saya alami berulang-ulang adalah kesempatan selalu ada di mana pun dan kapan pun. Pertanyaannya, seberapa siapkah kita ketika bertemu kesempatan tersebut?”

 

Hukumonline.com

Penerjemah Tersumpah Sarah Budiman. Foto: RES.

 

Menyambung Sarah, Andika setuju: seorang penerjemah tersumpah tidak harus mereka yang memiliki latar belakang pendidikan hukum. Seingat Andika, murid termuda kelas penerjemahan teks hukum bahkan berusia 16 tahun. Jadi, sepanjang ia lulus placement test, siapa pun dapat mengikuti kelas penerjemahan dan UKP.

 

Menjadi Seorang Penerjemah Tersumpah

Baik Evand, Andika, dan Sarah sepakat, syarat utama seorang penerjemah tersumpah, adalah menguasai bahasa sumber dan sasaran.

 

“UKP sangat perlu untuk penyaringan. Arah bahasa dibagi menjadi satu arah, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa asing dan sebaliknya. Tidak serta merta boleh menerjemahkan dua arah, harus dinyatakan qualified dengan sertifikasi,” ujar Andika.

 

Sebagai seorang pengajar, dalam pandangan Evand, penerjemah harus ‘setia’ terhadap kata-kata dan struktur kalimat yang sedang dialihbahasakan. Ada banyak istilah—terutama hukum—yang harus diketahui dan tidak dapat diterjemahkan begitu saja. Di sinilah kreativitas, juga ketelitian seorang penerjemah tersumpah dibutuhkan. Tidak boleh ada detail yang hilang dari teks asal dan maknanya.

 

“Penerjemahan teks hukum itu lebih rigid. Ada karakteristik yang berbeda antara ragam bahasa hukum yang kaku dan panjang. Keterbacaannya juga sangat rendah, apalagi untuk orang yang tidak sering terpapar teks hukum. Ini sebabnya, hasil terjemahan penerjemah tersumpah sering kali dijadikan pegangan hakim di pengadilan,” Evand melanjutkan.

 

Kedua, meski tidak harus berlatar pendidikan hukum, seorang penerjemah tersumpah harus memiliki pengetahuan hukum yang memadai. Setiap negara memiliki perbedaan sistem hukum—di mana terminologi dan padanannya bisa saja berbeda makna. Penguasaan ini haruslah baik, sebab 90% pekerjaan penerjemah adalah menerjemahkan teks hukum, atau teks yang memiliki kekuatan hukum.  

“Salah besar bagi yang berpikir bahwa kalau seseorang sudah mahir bahasa Inggris atau pernah lama tinggal di luar negeri, maka otomatis dia bisa menjadi penerjemah lisan (interpreter), penerjemah tulisan (translator), atau penerjemah tersumpah (sworn translator). Tidak semudah itu, setiap jenis penerjemahan baik lisan maupun tulisan memerlukan ketrampilan dan kreativitas yang berbeda-beda yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan kualitas penerjemahan yang baik,” tegas Sarah.

 

Penerjemah Tersumpah Pasca-Apostille

Hukumonline.com

Haru Deliana Dewi, Sarah Budiman, Grace J. Wiradisastra, Andika Wijaya. Foto: istimewa.

 

Sejak diluncurkannya Apostille, para penerjemah tersumpah lama—yang dahulu disumpah oleh gubernur—wajib melaporkan diri dan mengikuti program penyetaraan. Program penyetaraan ini berfungsi untuk pembaruan database di Kemenkumham, mengingat banyak pula penerjemah yang belum diketahui keberadaannya. Dengan kata lain, permohonan Apostille tanpa menggunakan jasa penerjemah tersumpah (yang terdaftar), akan ditolak.

 

“Melalui Apostille, pemerintah ingin merapikan sistem. Karena dahulu, hal ini tidak ada yang mengurus. Ada yang orangnya sudah meninggal, lalu capnya masih berkeliaran, atau diambil alih oleh istri, anak, atau pihak lain,” Evand menerangkan.

 

Penerjemah tersumpah juga memiliki kewajiban untuk melaporkan diri selama satu tahun sekali. Jika tidak melapor, namanya tidak akan tercatat, dan dianggap tidak lagi berhak menjadi penerjemah tersumpah. Adapun diadakan untuk pertama kali setelah vakum selama sepuluh tahun, pengangkatan sumpah penerjemah tersumpah pada 2022 juga diharapkan menjadi regenerasi profesi penerjemah tersumpah.

 

“Kemenkumham sebenarnya tidak ada dalam posisi memaksa. Pada dasarnya penerjemahan ini diserahkan ke klien. Tidak semua dokumen harus diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah. Namun, jika ada keperluan dokumen publik/korporasi yang sifatnya perjanjian; akta notaris/perusahaan yang sifatnya dwibahasa—penerjemah tersumpah dianggap lebih berkualifikasi karena spesialisasinya memang di dokumen hukum,” pungkas Evand.

 

Tags: