Ketika Hakim Agung Merasa Digurui
Berita

Ketika Hakim Agung Merasa Digurui

Sejumlah pengamat peradilan yang menyampaikan materi tentang persepsi masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam sarasehan di MA 'disemprot' para hakim.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ketika Hakim Agung Merasa Digurui
Hukumonline

 

Sedangkan, Budiman Tanuredjo menyampaikan keluhan para wartawan yang nongkrong di MA saat ini. Dari mandeknya peranan Humas MA sampai sulitnya memperoleh putusan. Ini kultur MA yang belum bisa terbuka, ujarnya. Ia meyakinkan saat ini keterbukaan lembaga merupakan sebuah keniscayaan.

 

Budiman membandingkan keadaan wartawan saat MA dipimpin Ali Said. Di era Pak Ali Said, wartawan merasa comfortable, ujarnya. Ia mengatakan MA seharusnya menciptakan ruang yang enak bagi wartawan. Karena tugas wartawan adalah menyampaikan kondisi MA kepada masyarakat.

 

Kritik balik

Hakim Agung Andi Ayyub langsung menanggapi pernyataan kedua narasumber ini. Semua yang anda bicarakan ini hanya wacana, tegasnya. Ia mengatakan ekspektasi keadilan itu terkait dengan siapa yang menang atau kalah. Yang kalah, biasanya bilang hakim tak adil, tuturnya. Ia juga mengkritik Todung yang menggunakan teori supply and demand ketika berbicara mafia peradilan. Menurutnya, ini masalah hukum, bukan persoalan ekonomi.

 

Terkait putusan, Andi Ayyub meminta agar pers paham dengan kode etik hakim. Seorang hakim tak boleh mengomentari putusannya, ujar pria yang baru dua bulan menjabat sebagai hakim agung ini. Ia juga menegaskan putusan belum bisa dipublikasikan bila belum berkekuatan hukum tetap. Sampai kapan pun saya tak akan kasih putusan kecuali sudah inkracht, tuturnya. Andi Ayyub meminta para narasumber memberi masukan yang positif. Tolong berikan masukan, bukan menggurui, ujarnya.    

 

Mantan Ketua PN Jaksel Lalu Mariyun malah mengkritik latar belakang wartawan yang bukan sarjana hukum. Ia menceritakan pengalaman ketika ditanya seorang wartawan. Pertanyaan dia saja salah. Bagaimana saya menjawabnya, katanya.

 

Selain itu, Lalu juga menilai pemahaman masyarakat terhadap hukum yang masih rendah. Ia mengaku sempat kesal ketika dikritik tak adil mengeluarkan sebuah putusan. Saya sudah berikan hukuman maksimal masih dibilang tak adil, ujarnya. Harusnya bila hukuman masih dianggap kurang, ketentuan undang-undangnya yang disalahkan.

 

Todung langsung mencoba meluruskan tanggapan kedua hakim ini. Tak ada maksud untuk menggurui, katanya. Ia mengaku diundang panitia untuk sebuah dialog terkait persepsi masyarakat terhadap lembaga peradilan. Bagaimana membangun kepercayaan publik? Itu saja, tegasnya.

 

Budiman pun senada. Ia mengakui banyak wartawan yang bukan berlatarbelakang hukum namun meliput isu hukum. Salah satunya adalah dirinya sendiri. Background pendidikan Budiman adalah sarjana teknik. Ia pun meminta maaf bila para hakim merasa digurui. Saya mohon maaf, pungkasnya sambil mematikan mikrofon.

Sial benar nasib Todung Mulya Lubis dan wartawan senior Budiman Tanuredjo. Mereka diundang untuk mempresentasikan persepsi masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam Sarasehan Cetak Biru Mahkamah Agung (MA), Kamis (5/3) lalu. Namun, yang mereka dapat bukan ucapan terima kasih, tetapi justru kritikan balik. Salah seorang hakim agung bahkan tak sungkan-sungkan ‘menyemprot' mereka. Tolong beri masukan, bukan menggurui, ujar Hakim Agung Andi Ayyub.

 

Ceritanya, para pembicara ini secara bergantian menyampaikan pendapatnya seputar persepsi masyarakat yang rendah terhadap lembaga peradilan. Todung mengkritik masih banyak litigasi yang mengada-ada. Banyak perkara masuk tanpa bukti yang kuat. Tapi tetap diproses pengadilan, ujarnya.

 

Hal ini, lanjutnya, acapkali ditanyakan oleh perusahaan asing yang kerap menjadi klien Todung. Ia mengatakan sampai saat ini memang belum ada saringan perkara. Ini akan selalu menjadi pertanyaan yang mempengaruhi persepsi, ujarnya. Survey KPK maupun Transparency Internasional Indonesia memang masih menempatkan lembaga peradilan pada posisi terburuk untuk urusan integritas lembaga.

 

Selain itu, Todung juga sempat menyoroti putusan yang dibuat para hakim. Ia memimpikan putusan para hakim di Indonesia bisa menjadi dokumen hukum dan akademik layaknya putusan di luar negeri. Di Afrika Selatan, putusan bahkan mirip seperti karya sastra, tuturnya. Ia mengharapkan para hakim bisa memadukan ketiganya, yakni putusan sebagai dokumen hukum, akademik, dan karya sastra. Di samping itu, ia juga meminta agar pertimbangan hukum dalam putusan harus kuat.

 

Todung juga tak sungkan melontarkan isu adanya mafia peradilan di hadapan para hakim. Isu mafia peradilan masih ada di benak masyarakat, ujarnya. Ia mengatakan ketika berbicara mafia peradilan, banyak orang kerap melupakan hukum supply and demand. Yang disorot adalah orang yang menerima, bukan orang yang memberi, katanya. 

Tags: