Menggagas RUU Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers
Oleh: Anggara *)

Menggagas RUU Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers

Mengingat banyaknya kasus-kasus pers, baik gugatan perdata maupun pidana, perlu ada terobosan hukum. Forum Penyelasaian Perselisihan Pers merupakan salah satu solusi.

Oleh:
Anggara
Bacaan 2 Menit
Menggagas RUU Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers
Hukumonline

 

Maka penggunaan hak jawab atau penyelesaian melalui lembaga pers merupakan tonggak yang harus ditempuh sebelum memasuki upaya hukum lain. Namun, berdasarkan catatan AJI Indonesia, seperti yang dikutip oleh hukumonline, selama 2006 masih terdapat 7 tuntutan hukum, pidana dan perdata, terhadap media dan jurnalis.

 

Ujian terhadap UU Pers untuk mampu menyandang gelar lex specialis masih menemui jalan panjang dan berliku. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan untuk mengukuhkan kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UUD RI dan juga instrumen hukum lainnya serta berbagai putusan Mahkamah Agung.

 

Terobosan ini dapat dilakukan melalui revisi UU Pers. Tetapi revisi ini akan mengundang reaksi keras dari anggota masyarakat pers, karena pada umumnya masyarakat pers memandang curiga bahwa revisi UU Pers justru akan mengundang campur tangan pemerintah seperti yang telah terjadi dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta berpotensi untuk melemahkan kemerdekaan pers.

 

Terobosan lain yang perlu dipikirkan adalah membentuk RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers (RUU P4) untuk merespon berbagai tuntutan pidana maupun gugatan perdata yang melanda media dan jurnalis di Indonesia dan juga merespon kebuntuan perdebatan tentang penting tidaknya revisi terhadap UU Pers

 

Mekanisme Kontrol

Mekanisme kontrol etika diperlukan untuk dapat melindungi pihak lain dari penyalahgunaan pemberitaan. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara:

 

1.      Melalui organisasi profesi

Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi dapat dilakukan sepanjang ada satu organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Selain itu seluruh jurnalis tergabung dalam satu organisasi jurnalis atau setidaknya mempunyai kewajiban untuk bergabung dengan salah satu organisasi jurnalis. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi

 

2.      Melalui pengadilan

Mekanisme kontrol melalui pengadilan merupakan salah satu mekanisme resmi yang diakui dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Namun penggunaan mekanisme ini berbahaya, karena melegitimasi campur tangan negara dalam suatu masyarakat sipil yang terorganisir. Selain itu, penggunaan mekanisme itu tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan profesionalitas

 

3.      Melalui lembaga quasi negara

Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini haruslah diberikan kewenangan yang cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika.

 

Pentingnya Pembentukan RUU P4

Pembentukan RUU P4 ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kelemahan dari UU Pers. UU Pers sedari awal memiliki kelemahan yang juga diakui oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa diperlukan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP (Lihat putusan MA No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti). Meski untuk kasus gugatan perdata Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa penyelesaian yang disediakan melalui UU Pers harus ditempuh terlebih dahulu (lihat putusan MA No 903 K/PDT/2005 dalam kasus Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi) namun sejatinya UU Pers juga tidak memberikan kewenangan yang cukup kuat kepada Dewan Pers dalam hal menangani sengketa pemberitaan. Sehingga memungkinkan para pihak yang tidak puas dengan pemberitaan pers untuk menempuh upaya hukum melalui pengadilan. Selain itu, dalam sengketa pemberitaan juga tidak diatur hukum acara dalam penyelesaian sengketa di Dewan Pers.

 

Kewenangan Dewan Pers yang diberikan oleh UU Pers UU Pers dalam hal penanganan sengketa pemberitaan hanyalah sebagai lembaga konsiliasi, oleh karena itu bentuk putusan dari Dewan Pers adalah Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Dalam konteks hukum putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para pihak yang bersengketa. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa ada pihak yang tidak menginginkan penyelesaian melalui Dewan Pers, disamping itu masih kuatnya keinginan dari beberapa pihak yang tidak menginginkan adanya kemerdekaan pers tumbuh dan berkembang di Indonesia.

 

Meski Mahkamah Agung dalam tiga putusannya telah menyatakan semua mekanisme dalam UU Pers terlebih harus dahulu dijalani, namun putusan tersebut tidak dapat memberikan jaminan yang sempurna dikarenakan pengadilan di Indonesia tidak menganut asas preseden secara permanen. Oleh sebab itu pembentukan RUU P4 menjadi sangat penting untuk mengukuhkan kemerdekaan pers tanpa harus mengundang campur tangan pemerintah ke dalam kehidupan pers. Sehingga tujuan penguatan kemerdekaan pers yang dilakukan melalui penguatan fungsi dan peran Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian sengketa pemberitaan pers satu-satunya (pengadilan pers) dapat tercapai melalui pembentukan RUU P4.

 

Hal-hal Yang Harus Ada Dalam RUU P4

Pengaturan RUU P4 harus memiliki setidaknya bersandar pada tiga prinsip utama yaitu:

 

  1. Untuk mempertahankan dan memperkokoh kemerdekaan pers
  2. Menjadi pengadilan pers bagi penyelesaian perselisihan pemberitaan pers
  3. Merupakan pengaturan khusus tentang bagaimana pertanggung jawaban hukum, baik pidana dan/atau perdata, bagi media dan jurnalis

 

RUU P4 setidaknya harus mengatur tentang bagaimana proses pemeriksaan secara perdata dan juga apabila adanya dugaan terjadinya tindak pidana. Dalam proses perdata maka kewenangan Dewan Pers harus ditingkatkan menjadi lembaga arbitrase yang putusannya bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial. Dalam dugaan terjadinya tindak pidana, penyelesaian melalui Dewan Pers harus dilalui terlebih dahulu untuk menilai terjadinya pelanggaran kode etik yang serius dan tidak dapat ditolerir,  Dewan Pers juga harus diberikan kewenangan untuk menilai dan menemukan adanya indikasi unsur niat jahat dan balas dendam dalam pemberitaan. Setelah Dewan Pers memberikan putusan tentang adanya pelanggaran kode etik yang serius dan tidak dapat ditoleransi serta ditemukan adanya indikasi unsur niat jahat dan balas dendam dalam pemberitaan, maka polisi dapat meneruskan penyidikan terjadinya tindak pidana. RUU P4 juga sebaiknya menghapuskan ketentuan pidana penjara dan/atau kurungan dan lebih mengedepankan pidana denda yang tentunya harus dibatasi besaran dendanya.

 

RUU P4 juga harus mengatur tentang proses dan tata cara pengangkatan arbitrer dalam Dewan Pers, mekanisme acara (hukum acara), pembuktian, waktu persidangan, dan bagaimana serta bilamana eksekusi dapat dilakukan.

 

RUU P4 harus mengatur tentang kemungkinan adanya kasasi ke Mahkamah Agung dalam hal-hal sebagai berikut :

 

a.      Kasasi dapat dimungkinkan dengan batas waktu 30 hari sejak putusan Dewan Pers dijatuhkan

b.      Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu atau;

c.      Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, telah disembunyikan oleh pihak lawan atau;

d.      Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan atau;

e.      Putusan melampaui kewenangan dari Dewan Pers; atau

f.       Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

g.      Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan Dewan Pers tersebut dimohonkan kasasi.

 

Gugatan perdata ke pengadilan negeri hanya dimungkinkan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan dari Dewan Pers.

 

Kesimpulan

Dengan dibentuknya RUU P4, maka diharapkan kontroversi tentang lex specialist tidaknya UU Pers menjadi hilang dan juga dapat sebagai senjata bagi masyarakat pers untuk membendung keinginan pemerintah melakukan revisi terhadap UU Pers. Karena UU Pers tetap berlaku namun pada saat yang sama kedudukan Dewan Pers semakin diperkuat sebagai tempat pengadilan pers di Indonesia. Untuk itu kekuatiran akan adanya kriminalisasi menggunakan KUHP atau R KUHP menjadi hilang, karena Dewan Pers menjadi pintu masuk pertama untuk melakukan penyaringan terhadap adanya dugaan terjadinya tindak pidana. Selain itu RUU P4 juga dapat menetapkan pidana denda sebagai satu-satunya hukuman pidana bagi media dan jurnalis.

 

*) Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tulisan ini adalah pendapat penulis pribadi.

Pendahuluan

UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut dengan UU Pers) telah menjadi tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers-pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organ/lembaga negara independen.

 

Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers.

 

Meski Mahkamah Agung melalui putusannya No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti telah menyatakan bahwa bahwa kebebasan pers merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum oleh karena itu proses pemidanaan terhadap pers tidak mengandung upaya penguatan pers bebas malah membahayakan kehidupan pers bebas.

 

Sampai saat ini masih terdapat empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman (Redaktuf Eksekutif Harian Rakyat Merdeka) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden, Risang Bima Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Yogya) dalam kasus pencemaran nama baik, Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online) dalam kasus penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka), dalam kasus pencemaran nama baik.

 

Sementara dalam konteks gugatan perdata melalui putusan Mahkamah Agung MA No 903 K/PDT/2005 dalam kasus Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi dan putusan MA No 3173 K/PDT/1993 dalam kasus Surat kabar Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan Vs. Anif kembali menegaskan tentang harus didahulukannya penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum. Dalam kasus ini Mahkamah Agung berpegang pada pendapatnya bahwa kebebasan pers merupakan prinsip dasar yang dijamin dalam UUD dan system kenegaraan Republik Indonesia oleh karena itu hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers merupakan prinsip yang mengatur keseimbangan lembaga pers dan individu atau kelompok.

Halaman Selanjutnya:
Tags: