MK: Pembentukan Pengadilan Tipikor Inkonstitusional
Utama

MK: Pembentukan Pengadilan Tipikor Inkonstitusional

Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, MK menyimpangi UU MK dengan memberikan toleransi 3 tahun bagi legislatif untuk memperbaiki UU KPK dan membentuk UU Pengadilan Tipikor.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
MK: Pembentukan Pengadilan Tipikor Inkonstitusional
Hukumonline

 

MK bukannya tanpa alasan sehingga nekat menyimpangi UU mereka sendiri. Dalam pertimbangannya, MK beralasan smooth transition perlu diberikan apabila pasal 53 langsung dinyatakan tidak berlaku maka dikhawatirkan akan mengganggu jalannya proses persidangan yang tengah berlangsung di Pengadilan Tipikor. Selain itu, MK juga khawatir pembatalan Pasal 53 menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang berujung pada kekacauan dan melemahnya semangat (disinsentive) pemberantasan korupsi. Terakhir, MK meyakini bahwa secara realistis penyempurnaan UU KPK dan penataan kelembagaan Pengadilan Tipikor tidak dapat diselesaikan dalam sekejap sehingga dibutuhkan waktu yang cukup.

 

Menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan, demikian ditegaskan MK dalam amar putusannya.

 

Putusan MK kali ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah seorang Hakim Konstitusi Laica Marzuki. Mantan hakim agung ini sebenarnya sependapat dengan rekan-rekannya bahwa pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Namun, berbeda dengan delapan Hakim Konstitusi lainnya, Laica tidak mau berkompromi dengan memberikan waktu 3 tahun untuk perbaikan UU KPK.

 

Permohonan Pengujian terhadap pasal 53 UU KPK yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945 seyogianya dikabulkan, dan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat sejak diputuskan, tegas Laica.

 

Bukan kalah-menang

Ditemui seusai persidangan, Tumpak mengatakan semua pihak harus menghormati putusan MK. KPK selaku pihak yang berkepentingan akan segera menindaklanjuti putusan tersebut dan mengupayakan perbaikan UU KPK. Menurut Tumpak, revisi UU KPK sebenarnya tidak memerlukan waktu 3 tahun sebagaimana diperintahkan MK, tetapi cukup 1 tahun. Tumpak meyakini pemerintah bersama-sama dengan DPR memahami pentingnya putusan MK ini bagi kelangsungan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

 

Tentunya, putusan ini kita harus hormati karena ini adalah putusan final. Tentunya, kita akan ikuti putusan ini. Saya pikir tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang karena di sini bukan kalah menang tetapi undang-undang diuji, katanya.

 

Sementara itu, Mohamad Assegaf selaku kuasa hukum pemohon mengatakan putusan MK ini adalah bukti nyata bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor cacat hukum. Kita tentunya bersyukur karena pada akhirnya yang kita ajukan dengan alasan-alasan yang cukup dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, tambahnya.

 

Selain itu, Assegaf melihat adanya inkonsistensi dalam putusan MK karena pada awalnya dinyatakan putusan ini mengikat sejak diucapkan namun kemudian dinyatakan putusan ini akan berlaku 3 tahun lagi. Meskipun begitu, dia dapat memahami kekhawatirkan MK tentang kekosongan hukum apabila putusan ini langsung dieksekusi. Assegaf mengaku sependapat dengan MK untuk mendesak DPR agar segera melakukan perbaikan UU KPK dan undang-undang pembentukan Pengadilan Tipikor.

 

Tumpak Hatorangan Pangabean, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang Penindakan, tidak bisa menyembunyikan senyumnya begitu Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashshiddiqie mengetuk palu menutup sidang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (19/12). Tumpak mempunyai alasan kuat untuk senyum karena KPK baru saja mendapat ‘kado manis' dari MK berupa penolakan sebagian besar permohonan pemohon yang diantaranya terdiri dari para terpidana kasus korupsi seperti Mulyana W. Kusumah, Tarsius Walla, dan Nazaruddin Sjamsuddin.

 

Seperti telah diberitakan sebelumnya, pasal-pasal yang dipersoalkan oleh para pemohon, adalah Pasal 1 angka 3, Pasal 2 jo Pasal 20, Pasal 3, Pasal 6 huruf c, Pasal 11 huruf b, Pasal 12 ayat (1) huruf a, Pasal 40, dan Pasal 53. Dari keseluruhan pasal tersebut, MK menyatakan menolak permohonan pemohon kecuali untuk Pasal 53 yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

 

MK menyatakan Pasal 53 bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi "Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang". Berangkat dari rumusan pasal tersebut, MK berpendapat dari segi teknik perundang-undangan, frasa diatur dengan undang-undang berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Pengadilan Tipikor jelas tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (5) karena dibentuk dengan UU KPK.

 

Smooth transition

Walaupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun pasal 53 tidak serta-merta tidak berlaku. Pasalnya, MK memberi toleransi yang mereka sebut sebagai proses peralihan yang mulus (smooth transition), selambat-lambatnya tiga tahun sejak putusan dibacakan supaya legislatif melakukan perbaikan UU KPK sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Lebih spesifik, MK bahkan menggariskan bahwa perbaikan yang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009.

 

Sikap fleksibel yang ditunjukkan MK sebenarnya dapat dikatakan menyimpang dari bunyi UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Pasal 47 menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Selanjutnya, pasal 57 Ayat (2) menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi, muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: