Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu
Terbaru

Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu

Seandainya sebelum dilahirkan seseorang bisa memilih, tentu ia tidak akan memilih dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang pernah dicap terlibat G.30.S atau PKI. Betapa berat beban stigma demikian, dapat kita ketahui dan rasakan dari kesaksian para korban dan buku-buku yang mereka tulis. Mereka telah mengalami perlakuan diskriminasi dalam segala hal dan tidak tahu kapan semuanya akan berakhir.

Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit

Bagaimana Anda menilai itikad baik pemerintah untuk proses rehabilitasi ini?

Kalau kita bicara pemerintah, yang dimaksud tentu ekseskutif. Yang memberi perhatian cukup besar pada maslalah ini kelihatannya cuma Gus Dur. Pada maret 2001, dia sempat membuat suatu statement yang meminta maaf terhadap terjadinya penangkapan, pembunuhan dan pembantaian tahun 1965. Tapi kemudian tidak berlanjut, karena Gus Dur disibukkan oleh tekanan yang menghantam dia.

Sesudah itu praktis sampai saat ini tidak ada satu proses yang cukup signifikan dilakukan oleh eksekutif. Justeru yang paling signifikan menurut saya adalah yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Keputusan MA ini, setahu saya bukan keputusan Bagir Manan pribadi, karena mekanisme dalam MA untuk memberikan pendapat hukum harus melalui keputusan bersama para hakim agung. Apalagi, pendapat hukum yang akan disampaikan kepada Presiden. Sehingga surat ini merupakan representasi keputusan lembaga MA.

Bagi saya, ini adalah langkah yang signifikan. Dan surat MA ini menjadi pendorong instansi lain untuk bersikap lebih terbuka menyikapi masalah rehabilitasi. Contohnya, DPR, walaupun tidak menyatakan kepada presiden nyata-nyata supaya menyetujui rehabilitasi tapi surat DPR itu isinya meminta presiden untuk melaksanakan rekomendasi MA. Justeru yang mengherankan kita, mengingat negeri ini menganut trias politica. Anehnya, meskipun  dua lembaga tinggi negara sudah setuju kok eksekutif lambat bereaksi.

Padahal, ini sebenarnya  pertimbangannya bukan politik tapi pertimbangan hukum dan kemanusiaan. Karena memang tidak ada dasar hukum kuat untuk melakukan diskriminasi terhadap mereka. Mereka orang-orang yang secara hukum tidak bersalah kalau secara politik soal kekuasaan.

Sosok Megawati yang mungkin pernah merasakan diskriminasi bukannya akan memperlancar rehabilitasi bagi  korban-korban ini?

Itulah makanya saya katakan, yudikatif itu mendasari  sepenuhnya putusannya pada sisi hukum kalau legislatif sepenuhnya pakai pertimbangan politik. Nah,  eksekutif ini mendasari putusannya pada dua hal, hukum dan politik. Secara hukum, kelihatannya tidak ada masalah. Tapi, saya tidak tahu secara politik. Mungkin itu masih jadi ganjalan bagi eksekutif. Kalau begini tentu  memprihatinkan sekali karena yang dinamakan korban 65 luas sekali jangkauannya.

Pertama, Bung Karno, sebagai proklamator presiden RI. Beliau meninggal dalam status tahanan politik dan dia tidak pernah direhabilitasi dengan pengertian status tahanan resminya dicabut secara resmi oleh pemerintah bahwa status tahanan politik gugur demi hukum karena beliau meninggal itu proses alamiah. Tapi tidak ada goodwill dari pemerintah untuk menyatakan Bung Karno tidak bersalah.

Kemudian, korban yang lain juga para menteri yang ditahan tanpa proses hukum, pahlawan revolusi, anggota militer, anggota PKI, kemudian anggota non PKI seperti PNI, Partindo, itu banyak yang ditahan. Korban-Korban itu kan aset dari bangsa ini. Dari segi sumber daya yang ada, banyak dari mereka adalah aset yang potensial.

Tags: