Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu
Terbaru

Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu

Seandainya sebelum dilahirkan seseorang bisa memilih, tentu ia tidak akan memilih dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang pernah dicap terlibat G.30.S atau PKI. Betapa berat beban stigma demikian, dapat kita ketahui dan rasakan dari kesaksian para korban dan buku-buku yang mereka tulis. Mereka telah mengalami perlakuan diskriminasi dalam segala hal dan tidak tahu kapan semuanya akan berakhir.

Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit

Proses rehabilitasi sangat penting dalam konteks korban, tapi juga penting dalam pensuksesan agenda reformasi kita ke depan. Artinya, dalam rangka kehidupoan berbangsa bernegara ke depan. Agenda reformasi itu bisa jalan kalau didasari oleh suatu kondisi rekonsiliasi bangsa dari berbagai macam konflik. Rekonsiliasi itu sendiri tidak mungkin bisa jalan tanpa penghapusan diskriminasi. Jadi, keterkaitan rehabilitasi, rekonsiliasi dan reformasi itu jelas. Rehabilitasi untuk penghapusan kondisi diskriminatif. Kondisi diskriminatif ini menciptakan kondisi kondusif untuk rekonsiliasi dan dari rekonsiliasi ini lah kita mengharapkan agenda reformasi bisa jalan.

Sejauh ini, apa yang sudah diperoleh dari usaha tim Anda?

Proses rehabiliasi ini sebenarnya sudah berjalan dengan cukup baik. Kita sudah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung (MA). Pada 12 Juni 2003, MA sudah memberikan pendapat hukum kepada presiden. Karena, sesuai pasal 14 (1) UUD 45 yang sudah diamandemen, presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan grasi, dan rehabilitasi setelah mendengar MA.  Kemudian di pasal 14 ayat(2) disebutkan presiden menggunakan haknya untuk memberikan amnesti dan abolisi berdasarkan pendapat DPR.

Kita sudah mendapatkan pendapat keduanya, MA dan DPR. Bahkan, Komnas HAM dalam suratnya di bulan Agustus yang isinya presiden melakukan rehabilitasi bagi korban 65.

Apakah Presiden sudah memberi jawaban?

Itu yang belum. Bahkan dalam sidang tahunan MPR, dalam salah satu rekomendasinya, presiden diminta memberikan rehabilitasi bagi tokoh nasional korban politik tapi itu belum juga dijalankan.

Jadi kalau dari sisi hukumnya clear. Ini kan suatu statetment dari lembaga tertinggi di bidang yudikatif. Dan lembaga ini sudah memberikan rekomendasi berdasarkan kewenangannya kepada presiden untuk menggunakan hak prerogatifnya. Jadi, dari pernyataan ini secara implisit MA sudah menyatakan mereka tidak bersalah dan layak direhabilitir. Di mata hukum mereka tidak bersalah. Kembali lagi bahwa kita sekarang memang sedang memperjuangkan proses rehabilitasi bagi korban 65. Nah, kenapa itu menjadi penting dalam konteks reformasi, karena, mereka yang menjadi korban 65 jumlahnya sangat signifikan.

Berdasarkan pengakuan (alm) Letjen. Sarwo Edhie sebelum beliau meninggal, tidak kurang dari tiga juta orang yang terbunuh. Dari situ ada lagi yang ditahan, dan sekitar 700 ribu orang yang dianggap golongan C. Tapi katakanlah totalnya 4 juta. Nah, tapi proses diskriminasinya tidak berhenti di empat juta karena proses diskrimasinya beranak cucu. Let's say mereka punya dua anak dua cucu, dikali lima bisa dua puluh juta. Itu jumlah yang signifikan.

Berdasarkan pemahaman pernyataan para peneliti sejarah, pembunuhan 65 adalah kasus pembunuhan yang terburuk di dunia karena jumlahnya jutaan dan dilakukan dalam kurun waktu September ‘65 sampai katakan Mei ‘66 atau akhir ‘66. Ini kenyataan pahit bangsa ini. Dari segi kepentingan bangsa, ini adalah kepentingan yang cukup mendasar. 

Tags: