Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu
Terbaru

Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu

Seandainya sebelum dilahirkan seseorang bisa memilih, tentu ia tidak akan memilih dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang pernah dicap terlibat G.30.S atau PKI. Betapa berat beban stigma demikian, dapat kita ketahui dan rasakan dari kesaksian para korban dan buku-buku yang mereka tulis. Mereka telah mengalami perlakuan diskriminasi dalam segala hal dan tidak tahu kapan semuanya akan berakhir.

Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit
Witaryono S. Reksoprodjo: Proses Diskriminasi Telah Beranak Cucu
Hukumonline

Witaryono bisa disebut sebagai orang yang banyak bergelut membantu para korban '65 yang ingin melakukan langkah-langkah yuridis. Selaku koordinator tim, putra mantan Menteri Energi dan Ketenagaan Ir Setiadi Reksoprodjo ini  harus gesit menyambangi berbagai instansi pemerintah demi memperjuangkan rehabilitasi dan rekonsiliasi nasional.

Jum'at pekan lalu (26/09), kepada hukumonline Witaryono berbicara banyak mengenai langkah-langkah yang sudah dilakukan tim. Berikut petikannya: 

Sejauh mana upaya yang dilakukan untuk memperjuangkan rehabilitasi bagi korban ‘65?

Bicara peristiwa tahun 1965, kita melihat itu di dalam perspektif saat ini. Ada tiga titik penting di situ. Pertama, peristiwa G 30 S-nya. Kedua, terjadinya pelanggaran HAM berat pasca peristiwa tersebut, termasuk di dalamnya pembunuhan, pembantaian, penculikan, penahanan yang semuanya tanpa proses hukum. Ketiga, adalah terjadinya proses diskriminasi yang terus berlangsung sampai sekarang.

Untuk menyikapi hal itu, kita harus membereskannya satu persatu. Dalam perspektif sekarang, tentu yang paling penting adalah mendorong proses rehabilitasi. Proses tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan diskriminatif yang muncul sampai sekarang. Ini yang paling penting. Perlakuan diskriminatif timbul karena masih banyak aturan bahkan undang-undang yang sangat diskriminatif.

Misalnya, dalam Undang-Undang Pemilu yang baru, korban 65 boleh memilih tapi tidak boleh dipilih. Itu kan lucu jika dikaitkan dengan prores rehabilitasi,  jadinya hanya jadi komoditas politik. Orang boleh milih tapi tidak bisa dipilih. Kemudian, ada aturan Mendagri yang tidak membolehkan korban 65 jadi pengacara, dalang, dsb. Itu masih berlaku dan belum dicabut. Kemudian masalah KTP, untuk KTP korban 65 belum seumur hidup. Jadi mereka yang diatas 60 setiap tiga tahun harus memperpanjang KTP.

Belum lagi, terhadap keluarga-keluarganya, terutama di daerah. Anaknya tidak boleh jadi tentara, PNS. Itu aturan yang sangat diskriminatif. Persoalannya, itu bisa selesai kalau rehabilitasi dikeluarkan.

Bentuk rehabiltasi seperti apa yang diinginkan?

Pernyataan pemerintah yang menyatakan mereka tidak salah secara hukum. Karena kenyataannya korban 65 yang jumlahnya ratusan ribu itu tidak pernah diadili dan dinyatakan secara hukum bersalah. Kalau negara kita didasarkan ketetapan hukum, harusnya mereka ditetapkan sebagai orang yang tidak bersalah. Bahkan, bagi mereka yang sudah diadili dengan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), itupun masih mengalami diskriminasi. Itu kan aneh seseorang yang dianggap bersalah, sudah menjalani hukumannya. Seharusnya, sekeluarnya dari hukuman, dia kembali lagi menjadi warga negara normal dengan segala haknya.

Proses rehabilitasi sangat penting dalam konteks korban, tapi juga penting dalam pensuksesan agenda reformasi kita ke depan. Artinya, dalam rangka kehidupoan berbangsa bernegara ke depan. Agenda reformasi itu bisa jalan kalau didasari oleh suatu kondisi rekonsiliasi bangsa dari berbagai macam konflik. Rekonsiliasi itu sendiri tidak mungkin bisa jalan tanpa penghapusan diskriminasi. Jadi, keterkaitan rehabilitasi, rekonsiliasi dan reformasi itu jelas. Rehabilitasi untuk penghapusan kondisi diskriminatif. Kondisi diskriminatif ini menciptakan kondisi kondusif untuk rekonsiliasi dan dari rekonsiliasi ini lah kita mengharapkan agenda reformasi bisa jalan.

Sejauh ini, apa yang sudah diperoleh dari usaha tim Anda?

Proses rehabiliasi ini sebenarnya sudah berjalan dengan cukup baik. Kita sudah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung (MA). Pada 12 Juni 2003, MA sudah memberikan pendapat hukum kepada presiden. Karena, sesuai pasal 14 (1) UUD 45 yang sudah diamandemen, presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan grasi, dan rehabilitasi setelah mendengar MA.  Kemudian di pasal 14 ayat(2) disebutkan presiden menggunakan haknya untuk memberikan amnesti dan abolisi berdasarkan pendapat DPR.

Kita sudah mendapatkan pendapat keduanya, MA dan DPR. Bahkan, Komnas HAM dalam suratnya di bulan Agustus yang isinya presiden melakukan rehabilitasi bagi korban 65.

Apakah Presiden sudah memberi jawaban?

Itu yang belum. Bahkan dalam sidang tahunan MPR, dalam salah satu rekomendasinya, presiden diminta memberikan rehabilitasi bagi tokoh nasional korban politik tapi itu belum juga dijalankan.

Jadi kalau dari sisi hukumnya clear. Ini kan suatu statetment dari lembaga tertinggi di bidang yudikatif. Dan lembaga ini sudah memberikan rekomendasi berdasarkan kewenangannya kepada presiden untuk menggunakan hak prerogatifnya. Jadi, dari pernyataan ini secara implisit MA sudah menyatakan mereka tidak bersalah dan layak direhabilitir. Di mata hukum mereka tidak bersalah. Kembali lagi bahwa kita sekarang memang sedang memperjuangkan proses rehabilitasi bagi korban 65. Nah, kenapa itu menjadi penting dalam konteks reformasi, karena, mereka yang menjadi korban 65 jumlahnya sangat signifikan.

Berdasarkan pengakuan (alm) Letjen. Sarwo Edhie sebelum beliau meninggal, tidak kurang dari tiga juta orang yang terbunuh. Dari situ ada lagi yang ditahan, dan sekitar 700 ribu orang yang dianggap golongan C. Tapi katakanlah totalnya 4 juta. Nah, tapi proses diskriminasinya tidak berhenti di empat juta karena proses diskrimasinya beranak cucu. Let's say mereka punya dua anak dua cucu, dikali lima bisa dua puluh juta. Itu jumlah yang signifikan.

Berdasarkan pemahaman pernyataan para peneliti sejarah, pembunuhan 65 adalah kasus pembunuhan yang terburuk di dunia karena jumlahnya jutaan dan dilakukan dalam kurun waktu September ‘65 sampai katakan Mei ‘66 atau akhir ‘66. Ini kenyataan pahit bangsa ini. Dari segi kepentingan bangsa, ini adalah kepentingan yang cukup mendasar. 

Kemudian kita bicara rekonsiliasi. Kalau rehabilitasi itu, selain tentu kepentingan bangsa, selain jelas bobot kepentingan korban juga besar. Tentu mereka ingin menjadi warga negara yang diperlakukan sama karena banyak diantara mereka tidak mengerti apa-apa. Tapi kalau kita bicara rekonsiliasi ini sifatnya lebih general karena rekonsiliasi adalah kepentingan bangsa ini. Nah, proses rekonsiliasi harus didasari oleh penghapusan diskriminasi. Setelah itu dilanjutkan dengan pengusutan dan pengungkapan kebenaran.

Rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan tanpa pengusutan dan pengungkapan kebenaran. Kalau rekonsiliasi tidak didasari pengungkapan kebenaran, itu artinya islah. Artinya, terhadap pelanggaran HAM berat di waktu lampau harus dilakukan pengusutan.

Yang paling valid sebetulnya adalah melalui proses pengadilan. Tetapi kemudian dalam rangka rekonsiliasi bisa juga rencananya melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tapi melalui tahapannya terlebih dahulu. Pertama-tama, harus ada pengungkapan kebenaran terlebih dahulu.

Sejauh mana pengungkapan yang tim Anda harapkan?

Artinya begini, pengakuan dari pelaku menjadi penting. Kemudian permohonan maaf bahwa itu sudah dilakukan. Kalau dimungkinkan antara pelaku dan korban dilakukan perundingan tentang kompensasi. Tapi paling nggak pengakuan dan permintaan maaf itu satu hal yang mendasar dan esensial. Dan ini jangan diartikan sebagai proses balas dendam. Ini suatu pemahaman yang sangat keliru.

Proses pengungkapan kebenaran menjadi penting bagi bangsa ini untuk menjadi yurisprudensi agar ke depannya kita tidak melakukan kesalahan yang sama.  Yang ingin diungkapkan dalam proses ini adalah penetapan pengadilan yang menyatakan apakah proses seperti ini adalah benar atau salah secara hukum.

Kalau pengadilan sudah memberikan pendapat, sekalipun katakanlah si pelaku dinyatakan bersalah, bukan berarti si pelaku dihukum seperti yang ia rasakan, Yang paling penting sebenarnya, pengakuan bahwa telah terjadi proses yang salah dan yang bersangkutan telah dihukum. Masalah apakah nanti setelah dihukum dia dimaafkan, itu soal lain. Rekonsiliasi adanya disitu. Tidak mungkin proses yang salah didiamkan kemudian kita hanya salaman dan kita lupakan yang lalu. Kalau begini caranya kita tidak menjadi bangsa yang lebih besar.

Tujuan dari pengungkapan kebenaran adalah menjadi dasar bagi bangsa ini ke depan bahwa hal-hal yang seperti itu salah dan kita tidak boleh mengulanginya lagi.

Bagaimana Anda menilai itikad baik pemerintah untuk proses rehabilitasi ini?

Kalau kita bicara pemerintah, yang dimaksud tentu ekseskutif. Yang memberi perhatian cukup besar pada maslalah ini kelihatannya cuma Gus Dur. Pada maret 2001, dia sempat membuat suatu statement yang meminta maaf terhadap terjadinya penangkapan, pembunuhan dan pembantaian tahun 1965. Tapi kemudian tidak berlanjut, karena Gus Dur disibukkan oleh tekanan yang menghantam dia.

Sesudah itu praktis sampai saat ini tidak ada satu proses yang cukup signifikan dilakukan oleh eksekutif. Justeru yang paling signifikan menurut saya adalah yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Keputusan MA ini, setahu saya bukan keputusan Bagir Manan pribadi, karena mekanisme dalam MA untuk memberikan pendapat hukum harus melalui keputusan bersama para hakim agung. Apalagi, pendapat hukum yang akan disampaikan kepada Presiden. Sehingga surat ini merupakan representasi keputusan lembaga MA.

Bagi saya, ini adalah langkah yang signifikan. Dan surat MA ini menjadi pendorong instansi lain untuk bersikap lebih terbuka menyikapi masalah rehabilitasi. Contohnya, DPR, walaupun tidak menyatakan kepada presiden nyata-nyata supaya menyetujui rehabilitasi tapi surat DPR itu isinya meminta presiden untuk melaksanakan rekomendasi MA. Justeru yang mengherankan kita, mengingat negeri ini menganut trias politica. Anehnya, meskipun  dua lembaga tinggi negara sudah setuju kok eksekutif lambat bereaksi.

Padahal, ini sebenarnya  pertimbangannya bukan politik tapi pertimbangan hukum dan kemanusiaan. Karena memang tidak ada dasar hukum kuat untuk melakukan diskriminasi terhadap mereka. Mereka orang-orang yang secara hukum tidak bersalah kalau secara politik soal kekuasaan.

Sosok Megawati yang mungkin pernah merasakan diskriminasi bukannya akan memperlancar rehabilitasi bagi  korban-korban ini?

Itulah makanya saya katakan, yudikatif itu mendasari  sepenuhnya putusannya pada sisi hukum kalau legislatif sepenuhnya pakai pertimbangan politik. Nah,  eksekutif ini mendasari putusannya pada dua hal, hukum dan politik. Secara hukum, kelihatannya tidak ada masalah. Tapi, saya tidak tahu secara politik. Mungkin itu masih jadi ganjalan bagi eksekutif. Kalau begini tentu  memprihatinkan sekali karena yang dinamakan korban 65 luas sekali jangkauannya.

Pertama, Bung Karno, sebagai proklamator presiden RI. Beliau meninggal dalam status tahanan politik dan dia tidak pernah direhabilitasi dengan pengertian status tahanan resminya dicabut secara resmi oleh pemerintah bahwa status tahanan politik gugur demi hukum karena beliau meninggal itu proses alamiah. Tapi tidak ada goodwill dari pemerintah untuk menyatakan Bung Karno tidak bersalah.

Kemudian, korban yang lain juga para menteri yang ditahan tanpa proses hukum, pahlawan revolusi, anggota militer, anggota PKI, kemudian anggota non PKI seperti PNI, Partindo, itu banyak yang ditahan. Korban-Korban itu kan aset dari bangsa ini. Dari segi sumber daya yang ada, banyak dari mereka adalah aset yang potensial.

Ironisnya, rezim yang kini berkuasa, yang seharusnya dapat dijadikan tumpuan untuk setidaknya memberikan rehabilitasi bagi mereka, malah sibuk dengan agenda dan kepentingan masing-masing. Pemberian rehabilitasi dan proses rekonsiliasi bagi bangsa ini, seharusnya bukan perkara yang sedemikian sulit dan kompleks. Rehabilitasi dan rekonsiliasi, dengan itikad baik, seharusnya dikedepankan untuk kepentingan bangsa ini.

Bagi Witaryono S. Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi Korban '65, upaya untuk memperoleh rehabiltasi yang telah diperjuangkan bertahun-tahun, sebenarnya tinggal selangkah lagi. Betapa tidak, mereka telah mengantongi surat Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan yang meminta agar Presiden Megawati segera menentukan sikap mengenai permintaan rehabilitasi dari korban '65. Sayang, belum terungkap apa respon Presiden, yang notabene pernah merasakan perlakuan diskriminatif oleh rezim Orde Baru.

Yang jelas, Witaryono merasa pesimistis agenda reformasi bisa berjalan mulus tanpa rehabilitasi dan proses rekonsiliasi. Dan proses rekonsiliasi tidak mungkin berjalan tanpa pengungkapan kebenaran. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu ganjalan bagi pemerintah untuk menyikapi permintaan rehabilitasi.

Tags: