Wajah Rasuah di Lima Kota, PNS Juaranya
LIPUTAN KHUSUS

Wajah Rasuah di Lima Kota, PNS Juaranya

Tren ini semakin relevan jika dikaitkan dengan kebijakan Inpres Nomor 1 Tahun 2016.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Sementara itu di Jakarta, setidaknya tercatat 52 PNS dari total 135 terdakwa menjadi pasien KPK dan Kejaksaan di mana rata-rata kerugian negara yang dikejar di atas Rp1 miliar. Pada kota terakhir, yakni Bandung juga menunjukkan hal yang sama yakni tercatat 42 PNS dari total 129 terdakwa terlibat korupsi dan merugikan kerugian keuangan negara rata-rata di atas Rp1 miliar. Jika melirik Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2015, terdapat perbedaan dari segi pelaku yang mendominasi. Data penanganan perkara berdasarkan tingkat jabatan, tercatat ada 12 perkara yang melibatkan anggota DPR/DPRD dan 13 perkara melibatkan swasta. Selain itu, tujuh perkara melibatkan eselon I, II dan III serta masing-masing empat perkara melibatkan gubernur dan walikota/bupati dan wakilnya serta masing-masing tiga perkara, melibatkan hakim, dan kepala kementerian/lembaga. (Baca Juga: Jokowi Minta Kapolri dan Jaksa Agung Dahulukan Proses Administrasi Ketimbang Pidana)Sementara itu juga melakukan eksekusi terhadap 33 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Lebih dari Rp198 miliar telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk PNBP dari penanganan perkara. Dari jenis perkara, korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan dengan 35 perkara, diikuti pengadaan barang/jasa sebanyak 10 perkara, penyalahgunaan anggaran sebanyak dua perkara, serta perijinan, pungutan dan TPPU, masing-masing satu perkara.Sepanjang tahun 2015, KPK telah berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak lima kali. Tidak hanya melibatkan hakim PTUN Medan, advokat dan anggota DPRD, pada operasi tangkap tangan lainnya KPK juga menangkap seorang anggota DPR. Secara total, tahun tersebut KPK telah melakukan 84 kegiatan penyelidikan, 99 penyidikan, dan 91 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan pada tahun sebelumnya.Dominasi PNS melakukan korupsi ini bukan menjadi hal baru di mata peneliti pada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Hifdzil Alim. Bahkan ia menduga bahwa data statistik yang menunjukkan tren pelaku korupsi setahun belakangan ini ada kaitannya dengan kebijakan yang belakangan diberlakukan oleh pemerintah. Kebijakan yang dimaksud Alim, yakni Inpres Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Patut diketahui, salah satu poin menarik yang diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2016 adalah arahan dari Presiden Joko Widodo kepada Jaksa Agung dan Kapolri untuk mendahulukan proses administrasi sesuai ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.“Tetapi bagi beberapa oknum, ternyata disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Terbukti yang paling banyak didakwakan itu pasal merugikan keuangan negara dan penggelapan dalam jabatan,” kata Alim kepada hukumonline pada akhir September lalu.Secara umum, substansi Inpres Nomor 1 Tahun 2016 memang sangat penting dalam rangka mendorong pembangunan yang kini tengah menjadi fokus pemerintah. Hanya saja, agaknya pemerintah luput mempertimbangkan potensi yang mungkin muncul pasca aturan tersebut diteken Presiden pada 8 Januari 2016 silam. Kebijakan tersebut pun, medapat catatan kritis dari PUKAT. (Baca juga: 4 Alasan Jaksa Wajib Dikecualikan dalam UU Aparatur Sipil Negara)Alim meyakini tren pelaku korupsi yang didominasi PNS punya relevansi yang kuat terutama pasca kebijakan tersebut dimunculkan. Menurutnya, arahan Presiden kepada penegak hukum seperti semacan larangan untuk melakukan pemeriksaan terkait aspek tindak pidana tidaklah sejalan dengan semangat undang-undang. Sebab, tugas penegak hukum menurut UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara kewenangan diperbolehkan melakukan penyelidikan. Apalagi, jaksa justru dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi diberi wewenang melakukan penyelidikan.“Artinya, ketika presiden menerbitkan instruksi presiden soal itu, itu kan sebetulnya berkebalikan dengan semangat undang-undang.  Dan kalau bicara hierarki peraturan perundang-undangan, Inpres jauh di bawah undang-undang. Itu kritik kami waktu itu kepada Presiden meskipun Presiden menginginkan bahwa ini untuk mempercepat pembangunan,” katanya menjelaskan.Dalam riset PUKAT sekira tahun 2008 hinggal 2013 juga memotret hal serupa. Pelaku korupsi didominasi PNS atau Kepala Daerah. Menurut Alim, kondisi yang demikian menjadi catatan buruk bagi penegakan hukum dan tentunya akan berdampak langsung terhadap upaya mempercepat proses pembangunan yang kini tengah menjadi fokus pemerintah. “Kalau banyak PNS melakukan korupsi, pembangunan juga akan gagal. Artinya, seharusnya presiden berpikir kepastian dan penegakan hukum harus menjadi pondasi,” sebut Alim.Sebab, pembangunan bidang ekonomi akan tercapai apabila terdapat kepastian hukum yang berjalan. Sebaliknya, jika terjadi banyak tindak pidana seperti suap, tentunya hal itu merugikan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur yang banyak bersinggungan dengan sektor pengadaan barang jasa (procurement). Makanya, PUKAT mendorong agar penegak hukum mestinya tetap pada jalur (on track) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana korupsi.“Periksa saja kalau penegak hukum punya keyakinan dan dua alat bukti yang cukup, periksa saja,” tutupnya.Pertimbangkan AdministrasiPandangan lain diutarakan Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani. Ia berharap penegak hukum jangan berlebihan dalam mengadili terdakwa. Mestinya penegak hukum juga memperhatikan aspek administrasi serta aspek di luar hukum seperti apakah pegawai negeri tersebut bertindak lebih dari satu kali alias berkali-kali. “Spektrum korupsi itu luas. Kalau dia biang kerok, saya setuju. Kalau orang ‘sial', supir bupati suruh nganter uang suap, dia kena kan turut serta, yang gitu mau diapain,” katanya awal Oktober.Ia juga berharap agar temuan-temuan elemen masyarakat sipil sekaligus dipaparkan dikeluarkan rekomendasi apa yang mesti dilakukan oleh penegak hukum. Seperti misalnya, mengkaji secara lebih dalam apakah seseorang tersebut patut diganjar dengan hukuman pidana. Parameter yang bisa digunakan seperti menentukan jumlah kerugian keuangan negara yang signifikan dan tidak signifikan dari segi besarannya. “Kalau semua diproses hukum, konsekuensinya menyerap anggaran penegakan hukum. Atau orientasinya mau penegakan hukum yang lain, misalnya pengembalian kerugian negara dengan dendanya yang distandarkan sekian persen plus hukuman administratif lain kalau dia PNS berdasarkan peraturan kepegawaian,” ujarnya.Sebagaimana pernah ditulis dalam Klinik Hukumonline, PNS yang telah divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Ketentuan itu tegas disebut dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Selain itu, Pasal 9 huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (telah diubah dengan PP Nomor 19 Tahun 2013) juga menyatakan hal yang sama.

Hukumonline.com




Tags:

Berita Terkait