Vonis Meiliana, Perempuan yang Minta Kecilkan Suara Adzan Menuai Kritik
Berita

Vonis Meiliana, Perempuan yang Minta Kecilkan Suara Adzan Menuai Kritik

​​​​​​​Jangan sampai penegak hukum menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Dalam konteks perlindungan beragama dalam hukum pidana, menurut Anggara, harus diluruskan kembali pada perbuatan materil menghasut untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Kerangka hukum tentang penistaan agama harus benar-benar secara ketat membatasi perbuatan yang dapat dipidana hanya dalam konteks terjadi penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan berdasarkan agama.

 

Lebih lanjut Anggara berpandangan  kasus yang menjerat Meiliana merupakan satu dari sekian banyak kasus  dengan penerapan Pasal 156 a KUHP. Namun praktiknya, penuntut umum maupun hakim gagal membuktikan membuktikan unsur “dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat permusuhan”. Anggara berpandapat  penerapan Pasal 156 a cenderung digunakan dalam  menyerang kelompok minoritas agama tertentu.

 

Atas dasar itulah rumusan pasal penistaan agama mesti dirumuskan secara serius dan penuh kehati-hatian. Pasalnya berkaitan erat dengan subjektivitas mayoritas dan tendensi publik. Lantas bagaimana dengan perumusan dalam RKUHP? Menurut Anggara pengaturan tentang penistaan agama berdasarkan draf RKUHP per 9 Juli 208 diatur dalam Pasal 326, 327, 328. Ironisnya, pengaturan dalam RKUHP soal pasal penghinaan agama jauh lebih ‘karet’ dan  sumir dibandingkan dengan rumusan Pasal 156 a KUHP.

 

“Unsur ‘dengan sengaja melakukan penghasutan untuk permusuhan’ yang menjadi safeguard dan syarat pengaturan hukum yang mengatur penistaan agama, justru dihilangkan, diganti hanya dengan unsur ‘penghinaan terhadap agama’  dengan definisi yang sangat sumir dan karet,” ujarnya.

 

Menurut Anggara, hukum pidana khususnya tentang penghinaan agama tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara. Kemudian simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik. (ANT)

Tags:

Berita Terkait