Vonis Meiliana, Perempuan yang Minta Kecilkan Suara Adzan Menuai Kritik
Berita

Vonis Meiliana, Perempuan yang Minta Kecilkan Suara Adzan Menuai Kritik

​​​​​​​Jangan sampai penegak hukum menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi : BAS
Ilustrasi : BAS

Beberapa hari lalu, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Sumatera Utara, menjatuhkan vonis kepada seorang perempuan bernama Meiliana (44 tahun) selama 18 bulan penjara. Terdakwa Meiliana dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama, karena melanggar Pasal 156a KUHP.

 

Hal ini bermula dari keluhan Meiliana terkait kerasnya suara adzan di lingkungan dia tinggal. Akibat keluhannya itu memicu terjadinya kerusuhan, di mana sekelompok orang membakar dan merusak Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai. Kejadian ini terjadi pada 29 Juli 2016 silam.

 

Sebagaimana dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan, perkara bernomor registrasi: PDM-05/TBALAI/05/2018 itu menyebutkan, bahwa Meiliana telah ditahan sejak 30 Mei 2018 hingga sekarang. Vonis ini pun menuai kritik dari sejumlah kalangan.

 

Salah satunya datang dari Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan, Robikin Emhas. Menurutnya, seseorang yang mengatakan suara adzan terlalu keras tidak dapat disebut telah menista agama. "Saya tidak melihat ungkapan suara adzan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (21/8).



Sebagai muslim, lanjut Robikin, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Menurut dia, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.



"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi itu.

 

Terpisah, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menilai hukuman yang diterima Meilina mestinya tak perlu terjadi. Pasalnya tak semua persoalan di tengah masyarakat mesti bermuara di pengadilan. Sebab persoalan yang menyangkut  hubungan antar agama mestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme musyawarah mufakat. Dengan kata lain dalam bahasa hukum disebut jalan keadilan restoratif, yakni dengan memulihkan dan mengakomodir kepentingan semua pihak.

Tags:

Berita Terkait