Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa dan Sanksi Administratif di PTUN (Sumbangan Pemikiran)
Oleh: Bambang Heriyanto *)

Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa dan Sanksi Administratif di PTUN (Sumbangan Pemikiran)

Regulasi tentang uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif dalam proses peradilan tata usaha negara sudah lama dinantikan.

Bacaan 2 Menit

 

 Materi Muatan Peraturan:

 

A. Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) di Peratun

Penerapannya lembaga paksa dwangsom di Peradilan Tata Usaha Negara menurut penulis adalah menyangkut permasalahan penting  sebagai berikut:

1. Jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang paksa.

2. Kepada siapa  uang paksa dibebankan.

3. Berapa besaran uang paksa yang dapat dijatuhkan dalam amar putusan.

4. Sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan.

 

Ad. 1. Jenis Putusan yang dapat dikenakan Uang Paksa

Seperti halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom. Hanya putusan yang berisi penghukuman atau kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah (putusan condemnatoir), yang dapat dikenai atau diterapkan dwangsom. Jadi untuk putusan yang sifatnya declaratoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief (putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru), tidak dapat dikenai atau diterapkan dwangsom.

 

Dalam konteks Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa:

a. kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal atau tidak sah

b. kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti atau baru

c. kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru, dan

d. kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.

 

Jadi, untuk putusan hakim yang hanya berisi: menyatakan batal atau tidak sah suatu keputusan TUN (vide pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986), karena ini bukan merupakan jenis putusan yang bersifat condemnatoir, maka tidak dapat dikenakan upaya paksa. Sedangkan mengenai amar tentang kewajiban membayar ganti rugi, eksekusinya sudah dapat dilakukan dengan pemberlakuan  Peraturan Pemerintah  No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya di PTUN.

 

Ad. 2. Subjek yang Dibebani Uang Paksa

Ada 2 (dua) pendapat mengenai kepada siapa pembayaran uang paksa harus dibebankan, yakni:

a. dibebankan kepada keuangan negara.

b. dibebankan pada keuangan pribadi dari tergugat atau pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan pengadilan tersebut harus dilaksanakan.

 

Penulis sendiri berpendapat bahwa, pembayaran uang paksa harus dibebankan kepada keuangan pribadi pejabat yang sedang menjabat pada saat putusan Peradilan TUN harus dilaksanakan. Jadi, tidak dibebankan kepada keuangan negara. Pendapat tersebut didasarkan pada argumentasi lebih ke pendekatan  praktis berikut.

 

Maksud dasar dari pemberlakuan  uang paksa (dwangsom) dalam proses eksekusi, baik di peradilan perdata maupun peradilan TUN adalah sangat jelas, yakni sebagai alat eksekusi yang berfungsi untuk memberikan tekanan psikis (dwaang middelen) kepada si-terkalah dalam sebuah proses perkara di  peradilan, agar si-terkalah bersedia mematuhi atau melaksanakan putusan peradilan.

 

Berpijak dari maksud dasar diadakannya lembaga paksa dwangsom tersebut, maka yang diancam secara psikis agar suatu putusan badan peradilan dilaksanakan harus tergugat pribadi atau orang yang sedang menjabat pada saat putusan tersebut harus dilaksanakan. Dan sesuai dengan karakteristik dwangsom, maka ancaman pembayaran uang paksa tersebut terus diberlakukan sampai putusan tersebut dilaksanakan atau dipatuhi tergugat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: