Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran untuk naskah akademik (academic drafting) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Uang Paksa (dwangsom) dan Sanksi Administratif Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Landasan Yuridis:
- Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
- Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970: Masing-masing departemen atau lembaga dapat mengambil prakarsa untuk mempersiapkan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan pemerintah sepanjang yang menyangkut bidang tugasnya.
Urgensi:
Dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka eksekusi yang diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tidak berlaku lagi. Sebagai pengganti dari lembaga eksekusi yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, berdasarkan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dibentuk dua lembaga eksekusi yakni: (i) uang paksa (dwangsom), dan (ii) sanksi administratif.
Disamping itu masih dapat pula diterapkan sanksi berupa pengumuman dalam media cetak terhadap pejabat yang enggan mematuhi putusan.
Dalam tataran implementasi ternyata kedua lembaga tersebut banyak permasalahannya yakni menyangkut hal-hal sebagai berikut:
- belum adanya produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa maupun sanksi administratif;
- terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan, apakah pada keuangan pribadi pejabat yang enggan melaksanakan putusan atau pada keuangan instansi pejabat tata usaha negara;
- sanksi administratif apa yang dapat dijatuhkan kepada tergugat yang enggan melaksanakan putusan.
Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dibuat aturan tentang hal-hal tersebut, karena praktis dengan tidak berlakunya tata cara eksekusi dengan penegoran berjenjang secara hierarkhis sebagaimana diatur Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Ternyata lembaga eksekusi yang baru belum dapat diterapkan, sehingga berdampak pada seluruh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap. Banyak putusan yang tidak dipatuhi oleh badan atau pejabat tata usaha negara, dalam arti tidak dapat dieksekusi.