Sulastri Adu Sabar dengan Lumpur
Edisi Akhir Tahun 2011:

Sulastri Adu Sabar dengan Lumpur

Tak sedikit pula rayuan dari pegawai Pemda Sidoarjo maupun Minarak yang ingin ‘memperjuangkan’ hak Sulastri dengan pamrih.

Inu
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Sulastri, pangkal masalah adalah perubahan klasifikasi tanah yang dia miliki. Tertulis dalam berkas ganti rugi, tanah Sulastri tergolong persawahan yang hanya diganti Rp120 ribu per meter persegi (m2). Padahal, secara fisik dan administratif, tanah yang dia miliki bukanlah persawahan. “Saya bayar pajak bumi dan bangunan untuk tanah nonsawah, kok nilai ganti rugi diturunkan,” tanya wanita ini.

 

Karena itu, dia menolak ganti rugi yang disodorkan Minarak. Tanah seluas 75 meter persegi harus diganti Rp1 juta/m2. Alhasil, keyakinan itu berbuah tersendatnya pencairan ganti rugi dari Minarak.

 

Berbuah pula penipuan. Seperti bujukan kepala desa, yang bersedia membantu mengurus perubahan klasifikasi tanah sesuai fakta sebenarnya. Asalkan, Sulastri dan sejumlah keluarga lain bersedia memberikan 25 persen dari ganti rugi yang diterima. “Padahal, dia juga berperan mengubah status tanah karena kepala desa yang berhubungan dengan Minarak,” ujarnya.

 

Tak sedikit pula rayuan dari pegawai Pemda Sidoarjo maupun Minarak yang ingin ‘memperjuangkan’ hak Sulastri dengan pamrih. “Selama lima tahun, setidaknya Rp20 juta uang saya hilang untuk membayar jasa mereka,” sebutnya.

 

Tapi soal hasil, Sulastri lirih menceritakan, semua nol besar. Kegigihan itu tak dimiliki keluarga lain. Mereka menerima ganti rugi sekalipun tidak sesuai karena tak lagi kuat tinggal di tempat serupa padang pasir itu. “Tinggal empat rumah, dan semua belum menerima ganti rugi,” tukasnya.

 

Begitulah Sulastri. Berjuang mendapat hak yang dirampas korporasi, namun tak tahu kapan keadilan akan turun. Dia hanya percaya selagi negara membiarkan warga sepertinya dipermainkan perusahaan, roh keadilan tetap bersama dengan semangatnya mendapatkan hak layaknya manusia. 

Tags:

Berita Terkait