Sulastri Adu Sabar dengan Lumpur
Edisi Akhir Tahun 2011:

Sulastri Adu Sabar dengan Lumpur

Tak sedikit pula rayuan dari pegawai Pemda Sidoarjo maupun Minarak yang ingin ‘memperjuangkan’ hak Sulastri dengan pamrih.

Inu
Bacaan 2 Menit
Tak sedikit rayuan pegawai Pemda Sidoarjo atau PT Minarak Lapindo Jaya untuk bantu hak sulastri dengan pamrih. Foto: matanews.com
Tak sedikit rayuan pegawai Pemda Sidoarjo atau PT Minarak Lapindo Jaya untuk bantu hak sulastri dengan pamrih. Foto: matanews.com

Sewajarnya, satu keluarga hidup dan berdampingan dengan orang lain sebagai tetangga. Seburuk apapun keadaannya, begitulah sewajarnya.

 

Kewajaran itu yang kini tak dirasakan Sulastri, ibu rumah tangga berusia 35 tahun. Wanita ini memang memiliki suami, dan dua orang anak yang tinggal di Desa Gempolsari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur ini. Mereka layak disebut keluarga.

 

Kini dari puluhan rumah dan puluhan keluarga di kawasan satu RT yang terkena lumpur Lapindo, hanya tinggal keluarga Sulastri, keluarga kakak iparnya dan dua keluarga lagi. Mereka tetap tinggal di rumah mereka meski dia akui, kondisi sekitar tak lagi layak disebut sebagai daerah untuk dihuni.

 

Tak akan terdengar lagi suara anak-anak bercengkerama. Tak dirasakan lagi oleh Sulastri, suami, tiga orang anak, dan ibu mertuanya, obrolan santai dengan tetangga sepulang bekerja atau hari-hari libur.

 

Perubahan itu terjadi lima tahun lalu. Ketika malam tenang berubah menjadi kepanikan sangat.

 

Saat itu, sekira pukul sembilan malam, medio Mei 2006, mata Sulastri yang siap terpejam untuk beristirahat setelah lelah bekerja di satu pabrik rokok di Sidoarjo, gagal terlaksana. Pasalnya, teriakan dari tetangganya lebih keras ketimbang suara air hujan yang mendera kala itu. Terdengar, kata-kata panik, “Tanggul jebol, tanggul jebol, lumpur, lumpur!”

 

Sontak, Sulastri berdiri dan berlari ke bagian belakang rumahnya, tempat asal teriakan tetangganya itu. Mendekati pintu belakang rumah, bau tak sedap menusuk indra penciumannya, tatkala pintu terbuka, kekhawatiran yang sebelumnya menyerang dirinya berubah menjadi panik.

 

Derasnya hujan menambah kepanikan karena terlihat aliran air hujan bercampur lumpur bergerak liar menuju halaman dan bagian belakang rumahnya. Segera, Sulastri membangunkan ibu mertua, dua anaknya untuk bergegas mengeluarkan barang-barang yang bisa dibawa keluar dari rumah.

 

Bergegas mereka menuju ke balai desa meninggalkan para lelaki untuk menanggulangi lumpur yang terus memenuhi pekarangan belakang dan menuju sungai di depan pemukiman. Tak mempedulikan siraman air hujan dan kantuk yang masih menyerang, kaki-kaki Sulastri dan warga lain di RT yang sama berjalan ke balai desa.

 

Malam itu terasa panjang dan melelahkan bagi Sulastri dan keluarga lain di RT yang sama. Kecemasan terus melanda mereka menunggu sinar matahari terbit yang akan membantu mereka melihat situasi sekitar kediaman mereka.

 

Cahaya surya yang ditunggu pun tampak. Sulastri mendatangi lagi rumahnya setelah semalam ditinggal. Banyaknya pertanyaan dalam benaknya terjawab sudah ketika sampai di rumahnya. Lumpur dengan bau menyengat mudah dijumpai di RT tempat Sulastri tinggal. Meninggalkan derita yang menjadi awal perjuangannya mencari keadilan bagi masa depan keluarganya.

 

Diperdaya

Semestinya banyak iba jatuh pada keluarga Sulastri dan keluarga lain di RT yang mereka diami akibat bencana lumpur. Karena setelah bencana lumpur menyerang, pemukiman sekitar kawasan RT itu tak lagi disebut tempat tinggal.

 

Tanah tak lagi subur untuk ditanami. Sedangkan di dalam rumah, lantai retak dan dinding mengalami hal serupa. Semua tanaman yang ada mati dan tak akan ada lagi tumbuhan bisa hidup di sekitar. Air tanah tak lagi dapat digunakan hanya untuk sekadar cuci piring karena sudah berwarna dan bau.

 

Awalnya, mandi memang menggunakan air yang dibeli seharga Rp2.000 per dirigen. Namun, seiring kebutuhan hidup yang meningkat dan pendapatan tak beranjak naik, air bersih terpaksa tak lagi dibeli untuk dipakai mandi namun dibatasi guna memasak dan minum saja.

 

“Terpaksa kami mandi pakai air sumur yang tercemar, kulit tak bisa kesat tapi licin terus. Karena sudah bertahun-tahun pakai air itu, kulit sedikit berubah tak apalah, yang penting kami mandi,” sebut Sulastri.

 

Mereka juga mengalami gangguan pernafasan akibat semburan lumpur dan gas metana yang keluar dari pusat semburan. Pemukiman warga hanya berjarak sekitar 100 meter dari tanggul penahan lumpur Lapindo. Bahkan, akibat semburan gas tersebut, bayi Aulia Nadira Putri berusia tiga bulan meninggal keracunan gas metana pada April 2011.

 

Meski menghadapi gangguan dan hidup di tempat tak layak huni, korban bencana tak bisa seenak mereka pindah rumah. Alasannya hanya satu. “Kami tak punya uang untuk beli rumah baru,” tutur Sulastri.

 

Hidup dalam kondisi susah itu tak membuat orang lain menaruh iba pada keluarga Sulastri dan keluarga lain. Malah, tanpa disadari, keluarga serupa ini menjadi incaran orang lain untuk menangguk keuntungan pribadi.

 

Semisal sewaktu bersama warga lain di RT itu mengurus ganti rugi lahan dan rumah setelah bencana. Kepala desa begitu menggebu untuk membantu warga yang terkena musibah untuk mendapat ganti rugi dan santunan kontrak dari Lapindo selama dua tahun senilai Rp5 juta.

 

Ketika segala persyaratan dipenuhi, memang dia hanya mendapat uang kontrak. Namun, ganti rugi yang dinanti tak kunjung didapat hingga kini.

 

Dia ketahui berdasarkan Perpres No 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, komposisi ganti rugi adalah 20 persen dari pemerintah dan sisanya dari PT Minarak Lapindo Jaya atawa PT Lapindo Brantas. Perusahaan itu harus melunasi pembayaran 80 persen paling akhir dua bulan sebelum masa kontrak habis.

 

Semula Sulastri yakin, uang ganti rugi bakal dia terima karena ada jaminan pemerintah melalui Perpres 14/2007. Namun semua itu seakan janji manis baginya dan keluarga korban lain. Hingga kini, meski Perpres baru diterbiktan untuk memperluas jangkauan paparan lumpur Lapindo, yaitu Perpres No 68 Tahun 2011, janji tinggal janji.

 

Menurut Sulastri, pangkal masalah adalah perubahan klasifikasi tanah yang dia miliki. Tertulis dalam berkas ganti rugi, tanah Sulastri tergolong persawahan yang hanya diganti Rp120 ribu per meter persegi (m2). Padahal, secara fisik dan administratif, tanah yang dia miliki bukanlah persawahan. “Saya bayar pajak bumi dan bangunan untuk tanah nonsawah, kok nilai ganti rugi diturunkan,” tanya wanita ini.

 

Karena itu, dia menolak ganti rugi yang disodorkan Minarak. Tanah seluas 75 meter persegi harus diganti Rp1 juta/m2. Alhasil, keyakinan itu berbuah tersendatnya pencairan ganti rugi dari Minarak.

 

Berbuah pula penipuan. Seperti bujukan kepala desa, yang bersedia membantu mengurus perubahan klasifikasi tanah sesuai fakta sebenarnya. Asalkan, Sulastri dan sejumlah keluarga lain bersedia memberikan 25 persen dari ganti rugi yang diterima. “Padahal, dia juga berperan mengubah status tanah karena kepala desa yang berhubungan dengan Minarak,” ujarnya.

 

Tak sedikit pula rayuan dari pegawai Pemda Sidoarjo maupun Minarak yang ingin ‘memperjuangkan’ hak Sulastri dengan pamrih. “Selama lima tahun, setidaknya Rp20 juta uang saya hilang untuk membayar jasa mereka,” sebutnya.

 

Tapi soal hasil, Sulastri lirih menceritakan, semua nol besar. Kegigihan itu tak dimiliki keluarga lain. Mereka menerima ganti rugi sekalipun tidak sesuai karena tak lagi kuat tinggal di tempat serupa padang pasir itu. “Tinggal empat rumah, dan semua belum menerima ganti rugi,” tukasnya.

 

Begitulah Sulastri. Berjuang mendapat hak yang dirampas korporasi, namun tak tahu kapan keadilan akan turun. Dia hanya percaya selagi negara membiarkan warga sepertinya dipermainkan perusahaan, roh keadilan tetap bersama dengan semangatnya mendapatkan hak layaknya manusia. 

Tags:

Berita Terkait