Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan
Fokus

Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan

Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikiran skeptis terhadap lembaga Paksa Badan (gijzeling) bagi para debitur nakal. Mereka mengatakan Paksa Badan tidak menyelesaikan persoalan inti, yaitu kembalinya dana kreditur. Beberapa praktisi hukum malah menilai, dasar hukum lembaga Paksa Badan yang hanya berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) jauh dari memadai.

Amr/APr
Bacaan 2 Menit

Namun melihat pengaturan tentang Paksa Badan adalah oleh RIB/HIR dan RBg yang merupakan hukum acara, Paksa Badan juga mencakup lingkup hukum acara atau eksekusi.

Pasal 5 Perma No.1 Tahun 2000 menyatakan Paksa Badan ditetapkan untuk 6 bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 tahun. Kecuali terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun, Paksa Badan juga dapat dikenakan atas ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur yang beritikad tidak baik (Pasal 3).

Paksa Badan dalam perspektif debitur

Jika memperhatikan uraian argumentasi di atas, lembaga Paksa Badan sebagai sanksi terhadap debitur yang beritikad tidak baik adalah proporsional. Hak kemerdekaan seseorang, seperti yang dikatakan UU HAM, tidak dapat dikurangi apalagi dicabut dalam keadaan apapun.

Pengenaan sanksi Paksa Badan dalam hukum perdata/kepailitan dalam hal ini hanya dapat dibenarkan atas dasar asas komplementer (principle of complementary) dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat. Dengan demikian, tidak tepat jika masyarakat menganggap lembaga Paksa Badan tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya, kembalinya hak si kreditur.

Lembaga Paksa Badan sesungguhnya diadakan untuk tujuan yang lebih jauh, yaitu mengermbalikan keseimbangan yang hilang ketika debitur terbukti di pengadilan dengan sengaja melanggar hak dari kreditur untuk mendapatkan prestasi yang seharusnya ia terima. Dengan dasar itu, sebagian hak dari debitur yang beritikad tidak baik tersebut dikurangi, yaitu hak atas kebebasannya.

Hak atas kebebasan seseorang merupakan sesuatu yang tidak dapat dinilai secara ekonomis. Walaupun Perma No.1 Tahun 2000 mengatur bahwa Paksa Badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp1 miliar, bukan berarti angka itu mencerminkan harga dari hak atas hidup bebasnya seseorang.

Mengapa kita tidak mempertanyakan lebih jauh mengenai proporsionalitas lembaga Paksa Badan ini dari sudut pandang si debitur yang beritikad tidak baik yang bersangkutan? Apakah Perma No.1 Tahun 2000 telah memberikan pengaturan yang memadai menyangkut bidang acara Paksa Badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik?

Halaman Selanjutnya:
Tags: