Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan
Fokus

Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan

Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikiran skeptis terhadap lembaga Paksa Badan (gijzeling) bagi para debitur nakal. Mereka mengatakan Paksa Badan tidak menyelesaikan persoalan inti, yaitu kembalinya dana kreditur. Beberapa praktisi hukum malah menilai, dasar hukum lembaga Paksa Badan yang hanya berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) jauh dari memadai.

Amr/APr
Bacaan 2 Menit

Sebagian praktisi hukum sama sekali tidak memPermasalahkan apabila gijzeling diterjemahkan sebagai Paksa Badan atau penyanderaan. Pasalnya, substansinya senafas, perampasan kemerdekaan orang.

Perampasan kemerdekaan orang merupakan wajah lain pro-kontra terhadap penerapan kembali Paksa Badan. Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto pernah mengungkapkan bahwa apapun dasarnya, Paksa Badan mengandung unsur perampasan kebebasan seseorang (dalam hal ini debitur). "Kebebasan seseorang yang HAM-nya dijamin oleh hukum," tegas Djoko.

Paksa Badan dalam latar belakang

Untuk menjawab sejauh mana proporsionalitas Paksa Badan sebagai sanksi perdata terhadap debitur yang beritikad buruk akan dimulai dari tinjauan gijzeling dari sisi hukum pidana dan HAM. Sepadankah pengenaan Paksa Badan selama 3 tahun dengan kerugian yang diderita kreditur ketika piutangnya tetap tidak kembali, sekalipun Paksa Badan telah dikenakan atas diri debitur?

Menurut Perma No.1 Tahun 2000, Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh pengadilan, untuk memaksa yang berkewajiban memenuhi kewajibannya.

Lembaga Paksa Badan timbul dari hubungan hukum perdata antara sculdeiser/kreditur dengan sculdenaar/debitur. Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar sejumlah uang kepada kreditur. Dalam wilayah hukum publik, Paksa Badan diatur dalam UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, konteksnya adalah Wajib Pajak yang tidak disiplin.

Hubungan hukum antara kreditur dan debitur diatur dalam KUH perdata Buku III tentang Perikatan. Di sana ada dua pihak, pihak yang berhak atas prestasi atau pihak berhak (schuldeiser) dan pihak yang berkewajiban memberi prestasi (schuldenaar).

Prestasi memiliki arti luas yang tidak hanya berupa uang, tetapi apa saja yang tidak dilarang oleh hukum. Jadi, bisa berupa penyerahan barang yang tidak berupa uang, kewajiban melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: