Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan
Fokus

Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan

Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikiran skeptis terhadap lembaga Paksa Badan (gijzeling) bagi para debitur nakal. Mereka mengatakan Paksa Badan tidak menyelesaikan persoalan inti, yaitu kembalinya dana kreditur. Beberapa praktisi hukum malah menilai, dasar hukum lembaga Paksa Badan yang hanya berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) jauh dari memadai.

Amr/APr
Bacaan 2 Menit

Dari pengertian di atas bisa terjadi, dalam suatu hubungan hukum perikatan pada suatu waktu, suatu pihak bisa menjadi pihak yang berhak. Namun di lain waktu, bisa menjadi pihak yang berkewajiban. Kalau seorang penjual barang tidak menyerahkan barang kepada pembeli setelah menerima pembayaran, si penjual menjadi pihak berkewajiban.

Ketika yang berkewajiban/debitur tidak memenuhi kewajibannya, walaupun ia mampu melakukannya, pengadilan berhak mengeluarkan perintah untuk melakukan Paksa Badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik itu.

Paksa Badan dalam hukum perdata

Pasal 28 i ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. Dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Bunyi Pasal 4 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM adalah persis sebagaimana Pasal 28 i tersebut di atas. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 28 j UUD 1945, serta Pasal 67, 68, 69, 70, dan 73 UU No.39 Tahun 1999. Juga dengan beberapa pranata hukum internasional.

Perhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 21 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 Universal Declaration on Human Rights (UDHR), Pasal 9 dan 11 International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR).

Pasal 3 UDHR berbunyi, setiap orang mempunyai hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi. Sementara Pasal 9 ICCPR berbunyi, tak seorang pun bisa dicabut kebebasannya kecuali atas dasar sesuai dengan ketentuan menurut undang-undang. Dan Pasal 11 ICCPR bunyinya, tak seorangpun boleh dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya untuk memenuhi kewajiban dalam kontrak.

Ketentuan-ketentuan tersebut mengatakan dapat saja seseorang terampas kebebasannya karena hukuman badan yang dijatuhkan kepadanya dengan putusan pengadilan pidana (lingkup hukum publik). Sedang terampasnya kebebasan seseorang lewat Paksa Badan, walaupun masih lewat putusan pengadilan, lingkupnya adalah hukum perdata.

Tags: