Pertimbangan Hakim Kasasi: Akbar Hanya Lakukan Perintah Jabatan
Utama

Pertimbangan Hakim Kasasi: Akbar Hanya Lakukan Perintah Jabatan

Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi Akbar Tandjung dan menyatakan Akbar tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Akbar dibebaskan, sementara hukuman Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dikurangi, dari sebelumnya empat tahun menjadi satu tahun enam bulan.

Nay
Bacaan 2 Menit
Pertimbangan Hakim Kasasi: Akbar Hanya Lakukan Perintah Jabatan
Hukumonline

 

Selain itu, tidak ada aturan yang tegas yang menentukan apakah penggunaan dana non-budgeter untuk pengadaan barang dan jasa harus dilakukan berdasarkan Keppres No 16 Tahun 1999 atau Keppres No 18 Tahun 2000.

 

Majelis menyatakan, dalam melaksanakan kewenangan  presiden, Akbar sudah meminta pemaparan dari Dadang dan Winfried. Lagi pula, penunjukan Dadang dan Winfried adalah berdasarkan rekomendasi dari Menko Taskin, bukan inisiatif Akbar.

 

"Perbuatan terdakwa satu bukan penyalahgunaan wewenang tapi tindakan yang harus dilakukan selaku Mensesneg dalam keadaan darurat untuk melaksanakan  perintah presiden sebagai atasannya," ujar Ketua Majelis Paulus E Lotulung saat membacakan putusan majelis. Disebutkan pula dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan untuk dipenuhi syarat-syarat dalam keadaan normal.

 

Akbar juga tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan dalam dakwaan subsidair. Dengan tidak terbuktinya unsur penyalahgunaan wewenang dalam dakwaan primair,  berarti unsur melawan hukum dalam dakwaan subsidair tidak terpenuhi.

 

Selain itu, majelis hakim berpendapat, berdasarkan Pasal 51 ayat 1 KUHP, Akbar tidak dapat dipidana berdasarkan perbuatan yang telah dilakukannya. Pasalnya, perbuatan dilakukan selaku Mensesneg untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berwenang yaitu presiden.

 

"Suatu perintah jabatan disyaratkan perintah itu harus diberikan berdasarkan jabatan pada orang-orang bawahan dalam hubungan kerja yang bersifat hukum publik. Perbuatan terdakwa satu dapat diklasifikasikan sebagai menjalankan perintah presiden," ujar Paulus. "Perintah jabatan tidak selalu mesti tertulis," tambahnya.

 

Dissenting Opinion

 

Namun, dalam menjatuhkan putusan untuk membebaskan Akbar ini, ada perbedaan pendapat diantara anggota majelis hakim (dissenting opinion). Beberapa saat menjelang putusan Akbar dibacakan, kabar akan adanya dissenting opinion memang makin santer. Informasi itu ternyata benar, karena seusai mengetukkan palu, Paulus memberi kesempatan kepada Abdul Rahman Saleh, anggota majelis kasasi yang hakim agung non karir ini, untuk membacakan pendapatnya yang berbeda dengan empat hakim lainnya.

 

Abdul Rahman menyatakan, Akbar telah melakukan perbuatan melawan hukum secara materiil. Jika perbuatan melawan hukum formil adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, maka perbuatan melawan hukum secara materiil adalah perbuatan yang bertentangan dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.

 

Secara khusus dalam tindak pidana korupsi, termasuk di dalamnya perbuatan melawan hukum dalam arti materil adalah perbuatan yang bersifat koruptif, baik yang bertentangan dengan peraturan atau tindakan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

 

"Terdakwa satu telah terbukti melakukan perbuatan tercela, tidak melaksanakan upaya minimum yang pantas untuk melindungi uang negara sebesar Rp40 miliar. Saat negara sedang terpuruk dalam keadaan krisis, tindakan terdakwa benar-benar tidak sesuai dengan rasa keadilan," ujar Abdul Rahman.

 

Menurutnya, meski dalam dakwaan primair tidak terdapat kata-kata  melawan hukum, namun reasoningnya dalam tiap tindak-tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. "Dalam hal ini terdakwa satu telah melakukan perbuatan yang memenuhi kualifikasi perbuatan melawan hukum materil. Yaitu, karena menurut kepatutan, perbuatan ini merupakan perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak. Lihat putusan MA tanggal 15 Desember 1982, nomor 275/K.Pid/1985," paparnya.

 

Selain itu, Akbar dinilai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Karena itu, ia terbukti menyalahgunakan wewenang yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

 

Mengenai keadaan darurat, Rahman menyatakan, berdasarkan UU PRP No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, ada syarat materil dan formil timbulnya keadaan bahaya. Syarat materil adalah yang berkaitan dengan kondisi-kondisi obyektif. Sedang syarat formil adalah adanya pernyataan resmi atau keputusan resmi dari presiden tentang keadaan darurat. Dalam kasus ini, sama sekali tidak ada pernyataan apapun dari presiden bahwa negara dalam keadaan darurat.

 

"Dari argumentasi penasihat hukum terdakwa tentang keadaan darurat, kami berpendapat bahwa secara implisit penasihat hukum ingin mengatakan bahwa keadaan darurat atau bahaya tidak memerlukan birokrasi atau prosedur tertentu yang layak. Argumentasi itu menurut kami cukup lemah, karena merujuk pada Perpu," jelas Rahman.

 

Alasan menjalankan perintah jabatan, menurut Rahman juga tidak dapat diterima.  Karena, presiden tidak pernah memerintahkan untuk melanggar Keppres No 16 Tahun 1994, bahkan presiden menyuruh Akbar mempertimbangkan rekomendasi Menko Taskin peraturan yang berlaku.

 

 

Dikurangi Hukuman

Sementara itu, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang juga mendapat "berkah" dari dibebaskannya Akbar. Majelis hakim mengurangi hukuman terhadap Dadang dan Winfried karena tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan dalam dakwaan primair. Karena Dadang dan Winfried didakwa secara bersama-sama dengan Akbar sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat 1 KUHP, maka Winfried dan Dadang harus dinyatakan tidak bersalah. 

 

"Karena terdakwa dua dan tiga adalah merupakan kawan pelaku dari terdakwa satu  dengan dinyatakan terdakwa satu tidak terbukti sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan, maka terdakwa dua dan tiga harus dinyatakan tidak terbukti,"tutur Paulus.

 

Dadang dan Winfried dihukum masing-masing satu tahun enam bulan penjara dan denda sebesar Rp10 juta. Bila tidak dibayarkan, denda itu harus diganti kurungan selama tiga bulan.  

Menurut majelis hakim kasasi, perbuatan Akbar yang menunjuk Dadang dan Winfried untuk menyalurkan sembako bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, sarana atau kesempatan yang ada. Pasalnya, tindakan presiden itu adalah dalam rangka melaksanakan wewenang presiden.

 

Majelis mengutip keterangan saksi ahli, Ismail Sunny, yang menyatakan bahwa instruksi presiden yang dikeluarkan dalam keadaan darurat dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Bahkan dalam keadaan darurat berdasarkan pasal 12 UUD 1945, presiden dapat mengambil tindakan apapun.

Halaman Selanjutnya:
Tags: