Pertimbangan Hakim Kasasi: Akbar Hanya Lakukan Perintah Jabatan
Utama

Pertimbangan Hakim Kasasi: Akbar Hanya Lakukan Perintah Jabatan

Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi Akbar Tandjung dan menyatakan Akbar tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Akbar dibebaskan, sementara hukuman Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dikurangi, dari sebelumnya empat tahun menjadi satu tahun enam bulan.

Nay
Bacaan 2 Menit

 

Abdul Rahman menyatakan, Akbar telah melakukan perbuatan melawan hukum secara materiil. Jika perbuatan melawan hukum formil adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, maka perbuatan melawan hukum secara materiil adalah perbuatan yang bertentangan dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.

 

Secara khusus dalam tindak pidana korupsi, termasuk di dalamnya perbuatan melawan hukum dalam arti materil adalah perbuatan yang bersifat koruptif, baik yang bertentangan dengan peraturan atau tindakan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

 

"Terdakwa satu telah terbukti melakukan perbuatan tercela, tidak melaksanakan upaya minimum yang pantas untuk melindungi uang negara sebesar Rp40 miliar. Saat negara sedang terpuruk dalam keadaan krisis, tindakan terdakwa benar-benar tidak sesuai dengan rasa keadilan," ujar Abdul Rahman.

 

Menurutnya, meski dalam dakwaan primair tidak terdapat kata-kata  melawan hukum, namun reasoningnya dalam tiap tindak-tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. "Dalam hal ini terdakwa satu telah melakukan perbuatan yang memenuhi kualifikasi perbuatan melawan hukum materil. Yaitu, karena menurut kepatutan, perbuatan ini merupakan perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak. Lihat putusan MA tanggal 15 Desember 1982, nomor 275/K.Pid/1985," paparnya.

 

Selain itu, Akbar dinilai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Karena itu, ia terbukti menyalahgunakan wewenang yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

 

Mengenai keadaan darurat, Rahman menyatakan, berdasarkan UU PRP No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, ada syarat materil dan formil timbulnya keadaan bahaya. Syarat materil adalah yang berkaitan dengan kondisi-kondisi obyektif. Sedang syarat formil adalah adanya pernyataan resmi atau keputusan resmi dari presiden tentang keadaan darurat. Dalam kasus ini, sama sekali tidak ada pernyataan apapun dari presiden bahwa negara dalam keadaan darurat.

 

"Dari argumentasi penasihat hukum terdakwa tentang keadaan darurat, kami berpendapat bahwa secara implisit penasihat hukum ingin mengatakan bahwa keadaan darurat atau bahaya tidak memerlukan birokrasi atau prosedur tertentu yang layak. Argumentasi itu menurut kami cukup lemah, karena merujuk pada Perpu," jelas Rahman.

Tags: