Jeanny menegaskan bahwa maraknya kasus pinjaman online pasca terbitnya POJK sudah cukup membuktikan bahwa regulasi tersebut belum memberikan perlindungan terhadap konsumen yang menggunakan layanan pinjaman online. “Nyatanya hari ini kita bisa lihat permasalahan ini muncul dan marak, padahal POJK terbit 2016 tapi kasus ini marak setelah tahun 201. Itu karena aturannya tidak cukup melindungi,” jelasnya.
Sumber: OJK
Sebagai respons atas situasi ini, Jeanny menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun rekomendasi kebijakan yang nantinya akan disampaikan kepada OJK. Beberapa poin rekomendasi yang akan disampaikan LBH adalah mengenai mekanisme pendaftaran di OJK, batasan bunga, pengambilan data pribadi, penagihan, hingga pada persoalan spesifik terkait mekanisme proses hukum di Kepolisian. Selain itu LBH juga mendorong diterbitkanyya UU Perlindungan Data Pribadi.
“Kasus pinjaman online ini memang belum di atur di UU Perlindungan Konsumen karena ini industri yang baru. Butuhnya apa yang pertama paling spesifik adalah UU Perlindungan Data Pribadi itu yang paling penting dan akan didorong, setelah itu terkait peer to peer atau fintech-nya,” tambah Jeanny.
Melihat banyaknya pengaduan yang masuk ke LBH, Jeanny mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menggunakan jasa layanan pinjaman online sampai negara dalam hal ini OJK memberikan perlindungan hukum dan HAM yang jelas terhadap masyarakat.
Pengawasan
Bagi advokat yang fokus pada perkara penanganan perlindungan konsumen, David Tobing, selayaknya perkembangan industri yang berbasis teknologi dapat memberikan kemudahan dan keamanan bagi konsumen. Jika kemudahan tidak diimbangi dengan keamanan maka akan muncul konflik seperti yang sedang terjadi saat ini.
Menjamurnya pinjaman-pinjaman terutama aplikasi pinjaman online ilegal atau tak berizin membuat risiko konflik semakin besar. Apalagi jika aplikasi pinjaman online melakukan pelanggaran seperti penetapan bunga yang besar, penagihan, dan pembukaan data konsumen.
Meski OJK telah mengeluarkan regulasi terkait pinjaman online ini, namun sayangnya regulasi tersebut hanya berlaku bagi fintech peer-to-peer yang sudah terdaftar di OJK. Menurut David, mayoritas pokok permasalahan yang terjadi justru melibatkan pelaku usaha pinjaman online ilegal dan konsumen. Dalam hal ini, David menilai pemerintah terkesan terlambat dalam pengawasan dan penindakannya. Bahkan tak jarang, aplikasi yang sudah diblokir akan muncul kembali dengan nama yang berbeda.