Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech
Waspada Fintech Ilegal

Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech

POJK 77/2016 dinilai tak bisa mengakomodir maraknya pelanggaran perlindungan konsumen yang terjadi di sektor pinjaman online.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech)

 

Mayoritas laporan yang masuk adalah mengenai minimnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha terkait proses pinjam meminjam seperti besaran bunga, biaya administrasi. Lalu keluhan yang masuk ke LBH terkait tingginya biaya bunga dan administrasi, proses penagihan yang di dalamnya terdapat tindak pidana fitnah, penipuan, pengancaman dan penyebaran data pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.

 

“Berdasarkan penelitian kami kemarin banyak aplikasi yang memberikan bunga sebesar 350 persen dalam 90 hari, dan juga sulit berkontak dengan debt collector maka konsumen mencari alamat perusahaan terkait tapi perusahan terkait tidak menyediakan alamat kantor,  email maupun nomor telepon yang bisa dihubungi,” kata Jeanny kepada hukumonline, Kamis (22/3).

 

Tingginya angka tersebut, lanjut Jeanny, membuktikan bahwa sektor perlindungan konsumen dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) belum sepenuhnya dijamin oleh negara dalam kasus ini. Kemudahan-kemudahan dalam mengakses pinjaman akhirnya berubah menjadi malapetaka karena minimnya peraturan mengenai fintech.

 

Hukumonline.com

 

Munculnya aplikasi-aplikasi pinjaman online ini sepatutnya diatur sedemikian rupa lewat peraturan yang sifatnya spesifik. Misalnya saja perlu aturan mengenai penjatuhan sanksi kepada aplikasi pinjaman online yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Dan yang terpenting adalah perlunya mekanisme pengaduan konsumen dan penyelesaian sengketa jika terjadi konflik.

 

Jauh sebelum kasus ini muncul ke permukaan, sebenarnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menerbitkan POJK No. 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini lebih menekankan kewajiban pendaftaran bagi pelaku usaha yang ingin berbisnis di sektor pinjaman online. Namun menurut Jeanny, mekanisme pendaftaran di OJK tersebut masih dalam tanda tanya. Pasalnya, pasca aturan ini resmi dinyatakan berlaku, hingga saat ini aplikasi-aplikasi pinjaman online ilegal justru marak muncul di lapangan.

 

“Mekanisme pendaftaran di OJK itu mekanisme dalam tanda kutip yang dianjurkan oleh OJK. Tapi saya mau tanya apakah kemudian pelaku usaha dalam hal ini pelaku aplikasi pinjaman online ya, apakah kemudian mereka tidak bisa menjalankan usahanya jika tidak terdaftar di OJK? Nyatanya mereka bisa tetap menjalankan usahanya. Harusnya ada mekanisme orang bisa menjalankan usaha jika mendaftar dulu di OJK,” ungkap Jeanny.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Kemudian, ia juga mempertanyakan POJK 77/2016 yang jelas mengatur tentang larangan pengambilan data pribadi konsumen, terutama untuk hal-hal yang tidak diperlukan dalam proses pinjam meminjam. Namun faktanya, masih banyak aplikasi-aplikasi yang sudah mengantongi izin dari OJK tetapi tetap mewajibkan akses-akses yang tidak terkait dengan proses pinjam meminjam seperti memutus dan menyambung wifi hingga mengontrol handphone untuk tetap aktif atau tidak.

Tags:

Berita Terkait