Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada

Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada

Medio April 2010 lalu menjadi awal periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam konteks Pemilukada, maka segala keputusan KPUD berpotensi menjadi obyek sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam 1 (satu)  hal, yakni Keputusan KPUD yang terkait dengan hasil Pemilukada. Dalam UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya pasal 2 huruf g:  tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Artinya, selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

 

Mengingat peluang gugatan tersebut, maka dapat diprediksi bahwa KPU memiliki peluang yang cukup besar untuk digugat oleh peserta pemilu atau pemilih. Hal ini dimungkinkan kerena beberapa tahapan krusial yang akan dilewati oleh stakeholders pemilu. Di antaranya, pertama, tahapan pemutakhiran DPT. Tahapan ini sangat terbuka digugat oleh pihak yang merasa tidak terdaftar sebagai pemilih namun secara faktual dan administratif memiliki hak untuk memilih. Kedua, tahapan pengadaan logistik pemilu. Tahapan ini rawan digugat pada tahapan pelelangan sejumlah pengadaan logistic pemilu. Beberapa pihak biasanya tidak puas atas mekanisme tender yang dilakukan KPU. Ketiga, tahapan penetapan calon legislatif dan calon presiden sebagai peserta pemilu. Para calon peserta pemilu yang tidak puas atas proses verifikasi calon akan menggugat keputusan KPU.

 

Namun harapan akan munculnya dinamika sengketa tata usaha negara dalam periode pemilukada 2005-2008 tidak tercapai akibat keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2005 tentang Petunjuk Tekhnis tentang Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Pada butir 2 SEMA tersebut disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-undang nomro 9 tahun 2004 tentang Peradilan tata usaha Negara, maka keputusan ataupun penetapannya (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili.

 

Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilihan umum, namun haruslah diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum, sebab apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan, bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tanggal 18 agustus 2004 sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan Peradilan tata usaha Negara  untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

Subtansi materi SEMA No. 8 Tahun 2005 ini kemudian memicu pro kontra. Bagi kelompok yang pro, SEMA ini sudah cukup relevan karena memahami bahwa PTUN memang tidak berhak memeriksa persoalan hukum dalam  Pemilu. Bagi mereka yang menyetujui SEMA ini memahami bahwa Pemilu  itu adalah semua proses yang berlangsung sejak tahapan awal, yakni penetapan daftar pemilih sampai dengan penghitungan hasil akhir. Selain itu, mengikuti alur pemikiran J. Downer bahwa penyelengaraan negara itu adalah bagian politik (taatstelling)/penentuan tugas (politik), maka kelompok ini meyakini bahwa Proses pemilu dengan segala tahapannya merupakan agenda atau kerja-kerja pemilihan yang merupakan agenda politik, sementara sebagai bentuk kerja administrasi (taatsvervaling) PTUN hanya berwenang mengadili KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat TUN sebagai bagian pelaksanaan segala hal yang telah ditentukan oleh  agenda politik   (Laica; 2009).

 

Sementara pendapat kontra meyakini bahwa substansi dari SEMA ini sudah keluar dari materi pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Karena pasal ini secara jelas menggunakan kalimat “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Kalimat hasil Pemilihan Umum menunjukkan secara tegas bahwa hanya satu tahapan, yakni terkait dengan hasil pemilu yang saat ini hanya dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan Laica Marzuki menilai bahwa dalam kajian tentang  beleidsregel, maka SEMA ini ini termasuk menyimpang dari UU. Menurut Laica, beleidsregel, sehari-hari dikenal adalah Juklak kemudian yang kedua adalah Surat Edaran, namun biasanya beleidsregel, ini dalam bentuk pengumuman yang diumumkan atau juga dalam bentuk nota yang diedarkan. Dalam kajian beleidsregel, penting membedakan antara peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang. Menurut Laica, peraturan perundang-undangan pengertiannya cukup luas, mulai dari konstitusi, UU, Peraturan Pemerintah, Perda dan sebagainya. Jadi, UU termasuk peraturan Perundang-undangan. Tapi tidak semua peraturan Perundang-undangan adalah UU. Dalam konteks Mahkamah Agung misalnya, Perma termasuk peraturan perundang-undangan, sedangkan SEMA masuk kategori peraturan kebijakan.

 

Mengingat SEMA merupakan bentuk freiez ermessen atau diskresi, maka SEMA memiliki koridor yang sangat penting yakni tidak boleh terjadi penyimpangan. Dalam pandangan Laica, freiez ermessen atau diskresi menyimpang dalam dua hal yakni, melanggar dari UU dan menyimpang dari (asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUUAPB). Sehingga ada kekhawatiran apabila SEMA 8 ini termasuk kategori  freiez ermessen atau diskresi yang menyimpang.  Meskipun demikian, pada prakteknya beberapa hakim PTUN yang menerima sengketa tahapan pemilu di luar tahapan hasil pemiliha umum.

Tags: