Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada

Merespon SEMA No.07 Tahun 2010: Institusionalisasi Hukum Tahapan Pemilukada

Medio April 2010 lalu menjadi awal periode kedua pelaksanaan Pemilukada 2010. Mandat konstitusi sesungguhnya hanya menyiratkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis.

Bacaan 2 Menit

 

Panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika panwaslu dihadapkan pada pelanggaran pilkada. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu juga terlihat pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Bawaslu. Dijelaskan pada pasal 73 huruf b, c dan d;  b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang.

 

Pasal ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan laporan pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Sedangkan tugas dan  kapasitasnya masih bergantung dengan pihak lain. Bahkan tugas dan wewenang yang melekat pada Petugas Pemilih Lapangan (Panwaslu di level desa) hanya sekedar menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara terhadap berbagai tahapan pemilu (Pasal 82). Bukan pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau peserta pemilu.

 

Ketiga, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga gagal karena secara substansi UU No. 32 Tahun 2004 bahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah --- tidak secara jelas mengatur proses hukum, materil formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada. Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon. Pasal 61 UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur mekanisme hukum apabila ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum yang mengatur, maka formula penyelesaian sering berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi baru-baru ini di Pemilukada Mojokerto. Jawa Timur.

 

Selama ini, UU Pemilukada, dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 -maupun UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 - hanya akomodatif terhadap persoalan sengketa pemilukada yang terkait dengan penghitungan suara, namun tidak mengakomodir persoalan yang terjadi dalam tahapan-tahapan sebelum penghitungan suara. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung  dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi  terpilihnya pasangan  calon. Pasal 106  UU No. 32 Tahun 2004: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.  2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

 

 

Konteks SEMA No. 5 Tahun 2005

Namun demikian, meskipun secara detail beberapa persoalan yang muncul terkait keluarnya Keputusan KPUD selaku pejabat negara tentang berbagai tahapan pemilukada tidak diatur dalam UU Pemilukada (Vide UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12  tahun 2008), namun pelembagaan hukum dalam konteks ini adalah menyelesaikan sengketa atau persoalan dalam ranah hukum administrasi.

 

Penyelesaian sengketa pilkada lewat mekanisme sengketa tata usaha negara dapat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang   Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (10): Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Berdasarkan pasal 1 ayat (8), yang dimaksud dengan Pejabat tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, ayat (9) menjelaskan definisi Keputusan Tata usaha Negara, yakni  suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Tags: