Menurutnya, pembentuk UU harus mengikuti putusan MK telah diatur Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu isi materi muatan penyusunan UU diperintahkan memperhatikan tindak lanjut putusan MK yang mengandung nilai-nilai konstitusi.
“Disinilah, MK mengejawantahkan konstitusi melalui putusannya. Tetapi, sayangnya, putusan MK tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Sehingga, hanya menjadi kesadaran pembuat UU untuk melaksanakan putusan MK atau tidak,” katanya.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar berpendapat sebenarnya norma yang dibatalkan MK, dilarang dihidupkan kembali. Tentu, hal ini menimbulkan perdebatan oleh pembentuk UU. Sebab, sebagian dari mereka menilai boleh menghidupkan kembali norma dalam proses legislasi.
“Kalau saya sendiri, tergantung konteks ketentuan norma tersebut, jika berkaitan dengan hak asasi manusia menurut saya tidak bisa dihidupkan kembali pasalnya. Namun, jika aturan berkaitan dengan proses administratif dapat saja beralasan untuk dimuat kembali,” kata Zainal kepada Hukumonline.
Pendapat serupa disampaikan pengamat hukum tata negara, Irman Putra Sidin. Dia menilai norma yang telah dibatalkan MK tidak bisa dihidupkan kembali. Putusan itu sama saja sebagai perintah konsitusi karena norma yang bersangkutan (penghinaan presiden/pemerintah) sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
“Intinya, apapun yang telah dibatalkan MK tidak boleh dihidupkan kembali. Apa bedanya organisasi masyarakat tidak boleh melanggar konstitusi atau Pancasila? Tapi justru pemerintah melanggar konstitusi. Jadi, pemerintah harus konsisten dong,” sindir Irman.