Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP
Problematika RKUHP:

Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP

Alasan pemerintah pasal penghinaan presiden/pemerintah diatur KUHP berbagai negara. Di sisi lain, pembentuk UU ketika merumuskan norma dalam RKUHP seharusnya mengacu Putusan MK sesuai amanat Pasal 10 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang pasti, apabila pasal-pasal penghinaan presiden dan pemerintah ini disahkan berpotensi lagi digugat ke MK.

Aida Mardatillah/RFQ/NOV
Bacaan 2 Menit

 

Baca Juga: Jokowi Serahkan Pasal Penghinaan Presiden ke DPR

 

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik mengaku norma yang dibuat dalam RKUHP sudah mengikuti putusan MK. Bahkan, ia mengaku telah meminta masukan pada MK, MA, Kejaksaan, KPK, BNN, BNPT dan akademisi dalam pembuatan RKUHP. “Versi tim perumus saat ini, semua norma telah mengikuti putusan MK,” ujarnya kepada Hukumonline.

 

Anggota Komisi III DPR lain, yang juga anggota Panja RKUHP, Saiful Bahri Ruray mengaku pasal tindak pidana penghinaan presiden masuk lagi dalam RKUHP. Sebab, kepala negara merupakan simbol negara yang tidak mungkin dibiarkan untuk dimaki-maki. “Saat ini draft RKUHP masih terus diharmonisasi dengan putusan MK,” kata dia.

 

Potensi digugat

Kontras, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai apabila putusan MK sudah membatalkan norma pasal, lalu dihidupkan kembali akan menjadi persoalan (untuk digugat). “Disini pemerintah tidak konsisten,” ujar Erasmus di kantornya, Senin (18/12). 

 

Dia mengatakan dalam konteks demokrasi, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, presiden bisa/boleh dikritik, sehingga munculnya kembali delik penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai demokrasi. Namun, faktanya pemerintah tetap memaksakan norma ini masuk dalam RKUHP.

 

“Jelas pemerintah membangkang putusan MK. Seharusnya pemerintah menghormati putusan MK apapun bentuknya, suka atau tidak suka itu adalah putusan pengadilan,” saran dia.   

 

“Silakan saja pemerintah memasukkan kembali norma hukum yang telah dibatalkan atau diubah frasanya oleh MK. Yah, tinggal (nanti) kita judicial review kembali apabila tidak sesuai konstitusi dan tidak melindungi HAM."

 

Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Kemunduran Hukum Indonesia

 

Menurutnya, persoalan ini disebabkan MK tidak mempunyai kewenangan mengeksekusi putusannya sendiri. Problem implementasi putusan MK memang tidak hanya dialami Indonesia. Di negara lain pun mengalami kasus serupa, ketika MK telah menghapus norma yang diuji karena inkonstitusional. Lalu, sebagian elemen masyarakat resisten, bukan tidak mungkin norma tersebut dapat dihidupkan kembali.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait