Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP
Problematika RKUHP:

Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP

Alasan pemerintah pasal penghinaan presiden/pemerintah diatur KUHP berbagai negara. Di sisi lain, pembentuk UU ketika merumuskan norma dalam RKUHP seharusnya mengacu Putusan MK sesuai amanat Pasal 10 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang pasti, apabila pasal-pasal penghinaan presiden dan pemerintah ini disahkan berpotensi lagi digugat ke MK.

Aida Mardatillah/RFQ/NOV
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Jelang memasuki tahun 2018, pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bakal memasuki tahap pembahasan akhir. Sebab, sebagian besar pasal dalam Buku I dan Buku II RKUHP sudah rampung dibahas dan disepakati oleh Panitia Kerja (Panja) DPR dan pemerintah. Namun, hasil pembahasan RKUHP itu masih menyisakan sejumlah persoalan karena masih banyak pasal yang belum disepakati dan pending pembahasannya.     

 

Salah satu persoalan yang masih “mengganjal” yakni ada pasal yang sudah “mati” atau dinyatakan inkonstitusional (dihapus) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lewat pengujian KUHP, tetapi “hidup” kembali dalam RKUHP alias “Pasal Zombie”. Diantaranya, Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 135 KUHP terkait penghinaan terhadap presiden-wakil presiden (putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006); Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah (putusan MK No. 6/PUU-V/2007).      

 

(Baca Juga: Delik Penghinaan Presiden Ancaman Buat DPR)       

 

Intinya, alasan MK, ketiga pasal itu bertentangan hak kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan berekspresi yang dijamin konstitusi yang selalu digunakan aparat hukum saat unjuk rasa. Namun, rumusan pasal penghinaan presiden dan kebencian terhadap pemerintah yang sudah dinyatakan tidak berlaku itu (dekriminalisasi) diatur kembali oleh pembentuk UU melalui Pasal 262, 263, 264 dan Pasal 284, Pasal 285 RKUHP. Jika dibandingkan dan dicermati rumusan pasal-pasal tersebut tidak jauh berbeda.   

 

KUHP

(telah dicabut Mahkamah Konstitusi)

Draft RKUHP (24 Februari 2017)

Pasal 134

Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 262

Setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama  9 (sembilan) tahun.

Pasal 136 bis

Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk  juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya  yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka orang ketiga yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya.  

Pasal 263

(1) Setiap orang yang dimuka umum  menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan  untuk kepentingan umum demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Pasal 137

Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

Pasal 264

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan  rekaman, sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 154

Barangsiapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 284

Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

Pasal 155

(1) Barangsiapa menyebarluaskan, mempertunjukan, atau menempelkan secara terbuka tulisan atau gambar yang di dalamnya mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan  terhadap pemerintah Indonesia, dengan maksud agar tulisan  atau gambar tersebut isinya diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun dan enam bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika orang yang bersalah telah melakukan  kejahatan tersebut dalam pekerjaannya atau pada waktu melakukan kejahatan tersebut belum  lewat lima tahun sejak ia dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan  kejahatan yang serupa maka ia dapat dicabut haknya untuk melakukan pekerjaannya tersebut.

Pasal 285

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan  rekaman, sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah  dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Prof Enny Nurbaningsih mengakui pasal penghinaan martabat presiden dalam KUHP sudah dibatalkan melalui putusan MK dan dimasukkan kembali dalam RKUHP. Hanya saja, dalam menyusun RKUHP membuat RKUHP, pihaknya mengedepankan HAM dan perkembangan dunia global termasuk memperhatikan perbandingan KUHP berbagai negara yang mengatur pasal penghinaan presiden.

 

“Kita juga harus melihat KUHP, ketentuan penghinaan presiden negara lain, utusan atau dubes dilindungi hak hukumnya, tapi bagaimana dengan penghormatan simbol negara kita sendiri yaitu presiden? Maka, harus diperhatikan dan diperlakukan setara jika terjadi penghinaan terhadap kepala negara sendiri,” ujar Prof Enny saat berbincang dengan Hukumonline di ruang kerjanya, Gedung BPHN Jakarta, Rabu (13/12/2017).  

 

Dia menerangkan aturan ini menjadi salah satu isu (perdebatan) yang dibahas dalam rapat kerja, dan selesai di panitia kerja. Ketika aturan ini masuk ke tim perumus pun masih ada persoalan mengenai pasal penghinaan terhadap presiden ini. “Tapi, pada prinsipnya dalam menyusun RKUHP memperhatikan semua putusan MK, termasuk juga Peraturan Mahkamah Agung (PERMA),” kata dia.

 

Baca Juga: Jokowi Serahkan Pasal Penghinaan Presiden ke DPR

 

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik mengaku norma yang dibuat dalam RKUHP sudah mengikuti putusan MK. Bahkan, ia mengaku telah meminta masukan pada MK, MA, Kejaksaan, KPK, BNN, BNPT dan akademisi dalam pembuatan RKUHP. “Versi tim perumus saat ini, semua norma telah mengikuti putusan MK,” ujarnya kepada Hukumonline.

 

Anggota Komisi III DPR lain, yang juga anggota Panja RKUHP, Saiful Bahri Ruray mengaku pasal tindak pidana penghinaan presiden masuk lagi dalam RKUHP. Sebab, kepala negara merupakan simbol negara yang tidak mungkin dibiarkan untuk dimaki-maki. “Saat ini draft RKUHP masih terus diharmonisasi dengan putusan MK,” kata dia.

 

Potensi digugat

Kontras, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai apabila putusan MK sudah membatalkan norma pasal, lalu dihidupkan kembali akan menjadi persoalan (untuk digugat). “Disini pemerintah tidak konsisten,” ujar Erasmus di kantornya, Senin (18/12). 

 

Dia mengatakan dalam konteks demokrasi, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, presiden bisa/boleh dikritik, sehingga munculnya kembali delik penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai demokrasi. Namun, faktanya pemerintah tetap memaksakan norma ini masuk dalam RKUHP.

 

“Jelas pemerintah membangkang putusan MK. Seharusnya pemerintah menghormati putusan MK apapun bentuknya, suka atau tidak suka itu adalah putusan pengadilan,” saran dia.   

 

“Silakan saja pemerintah memasukkan kembali norma hukum yang telah dibatalkan atau diubah frasanya oleh MK. Yah, tinggal (nanti) kita judicial review kembali apabila tidak sesuai konstitusi dan tidak melindungi HAM."

 

Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Kemunduran Hukum Indonesia

 

Menurutnya, persoalan ini disebabkan MK tidak mempunyai kewenangan mengeksekusi putusannya sendiri. Problem implementasi putusan MK memang tidak hanya dialami Indonesia. Di negara lain pun mengalami kasus serupa, ketika MK telah menghapus norma yang diuji karena inkonstitusional. Lalu, sebagian elemen masyarakat resisten, bukan tidak mungkin norma tersebut dapat dihidupkan kembali.

 

Meski begitu, kata dia, dalam beberapa hal, pembentuk UU sudah mengikuti putusan MK dengan tidak mengadopsi pasal yang sudah dihapus atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Misalnya, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dihapus melalui putusan MK No.1/PUU-XI/2013 dan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang awalnya delik formil diubah menjadi delik materil oleh MK. “Pasal itu di RKUHP sudah tidak ada lagi, pemerintah mengikuti sesuai putusan MK,” tambahnya.  

 

Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut

 

Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso menerangkan UUD Tahun 1945 telah menempatkan MK sebagai penafsir tunggal atau penjaga konstitusi. Jadi, ketika sebuah norma sudah ditafsirkan MK melalui putusannya, pembuat UU seharusnya mengikuti tafsir MK. “Beberapa pasal dalam KUHP sudah ditafsirkan MK, mestinya pembuat UU tidak boleh menafsirkan lain selain yang sudah ditafsirkan MK,” kata Fajar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (19/12).

 

Dengan begitu, kata dia, apabila norma sudah ditafsirkan MK, lalu diakomodir lagi dengan membuat norma yang sama berpotensi dapat diuji kembali di MK. “Tentu akan berulang untuk diuji kembali. Pemohon nantinya akan meminta ketentuan ini tidak sesuai tafsir MK seperti putusan sebelumnya,” kata dia.

 

Menurut Fajar, apabila pasal-pasal penghinaan presiden/kepala negara itu disahkan menjadi UU akan menimbulkan problem konstitusionalitas. Tindakan pembuat UU ini bisa dianggap membangkang putusan MK. Hanya saja, pembangkangan terhadap putusan MK tidak ada sanksinya secara eksplisit. “Ada putusan MK menafsirkan begini, lalu pembentuk UU menafsirkan lain, dituangkan dalam UU, dan nanti akan diuji kembali. Seterusnya akan berputar-putar seperti itu,” tegasnya.

 

“Kalau struktur/budaya hukum Indonesia seperti ini, negara lain akan menyebut Indonesia adalah bangsa yang mudah lupa kalau dulu ada putusan MK, atau tidak tahu ada putusan MK. Persoalan sebenarnya hanya bersandar pada kesadaran hukum masyarakat. Kalau sadar berarti melaksanakan putusan MK, kalau tidak, tidak melaksanakan. Menurut saya ini soal rendahnya kultur kesadaran hukum dan berkonstitusi yang cenderung selalu memperdebatkan putusan.”

 

Diakui Fajar, MK memang tidak berwenang mengawal atau mengeksekusi putusannya. Semuanya, diserahkan kepada kesadaran hukum masyarakat yang respek terhadap putusan itu. “MK pun tidak boleh melakukan koordinasi atau memberi masukan atau pendapat atas putusannya. Sebab, semua RUU yang akan menjadi UU berpotensi untuk diuji ke MK,” katanya.

 

Baca Juga: “Haram” Menghidupkan Norma yang Dibatalkan MK

 

Dilarang dihidupkan kembali

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan mengatakan secara teori ketatanegaraan, MK sebagai lembaga penafsir konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. “Jadi, rumusan RKUHP seharusnya berdasarkan putusan MK, jika tidak maka akan menjadi persoalan ke depan (digugat kembali),” kata Jimmy saat dihubungi Hukumonline.

 

Menurutnya, pembentuk UU harus mengikuti putusan MK telah diatur Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu isi materi muatan penyusunan UU diperintahkan memperhatikan tindak lanjut putusan MK yang mengandung nilai-nilai konstitusi.

 

“Disinilah, MK mengejawantahkan konstitusi melalui putusannya. Tetapi, sayangnya, putusan MK tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Sehingga, hanya menjadi kesadaran pembuat UU untuk melaksanakan putusan MK atau tidak,” katanya.

 

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar berpendapat sebenarnya norma yang dibatalkan MK, dilarang dihidupkan kembali. Tentu, hal ini menimbulkan perdebatan oleh pembentuk UU. Sebab, sebagian dari mereka menilai boleh menghidupkan kembali norma dalam proses legislasi.

 

“Kalau saya sendiri, tergantung konteks ketentuan norma tersebut, jika berkaitan dengan hak asasi manusia menurut saya tidak bisa dihidupkan kembali pasalnya. Namun, jika aturan berkaitan dengan proses administratif dapat saja beralasan untuk dimuat kembali,” kata Zainal kepada Hukumonline.

 

Pendapat serupa disampaikan pengamat hukum tata negara, Irman Putra Sidin. Dia menilai norma yang telah dibatalkan MK tidak bisa dihidupkan kembali. Putusan itu sama saja sebagai perintah konsitusi karena norma yang bersangkutan (penghinaan presiden/pemerintah) sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

 

“Intinya, apapun yang telah dibatalkan MK tidak boleh dihidupkan kembali. Apa bedanya organisasi masyarakat tidak boleh melanggar konstitusi atau Pancasila? Tapi justru pemerintah melanggar konstitusi. Jadi, pemerintah harus konsisten dong,” sindir Irman.

Tags:

Berita Terkait